Pandangan dunia terhadap Islam cenderung tak seimbang karena terbawa arus subyektif dalam menggeneralisasi Islam radikal. Jika ada gerombolan teroris Islam bertindak radikal, bukan berarti umat Islam lainnya pun begitu.
Oleh
FAUZUL IMAN
·5 menit baca
Tulisan ini lahir karena Islam tak pernah henti diperbincangkan dan disiarkan. Berita mengenai Islam hingga kini menghiasi seluruh layar bola dunia, seakan mengalahkan berita lain yang terbilang paling menggemparkan.
Graham E Fuler, Wakil Dewan Nasional Intelgen CIA dan Guru Besar Simon Fraser University, dalam bukunya yang berjudul A World Without Islam, mengulas komentar mencengangkan tentang Islam yang selalu menjadi sorotan di aneka layar berita, terutama, setelah tragedi peledakan bom di gedung World Trade Center Amerika yang menelan korban paling menyakitkan warga Amerika.
Peledakan bom yang diduga dilakukan gerombolan teroris Islam, menurut Graham, membuat dunia geram pada tindakan bengis itu sehingga membuat Presiden Bush mendirikan sebuah lonceng besar bersama dunia untuk membalas memerangi Islam teroris. Bukan main, memang, implikasi dari tragedi mengerikan ini.
Peristiwa tersebut membuat tidak hanya Muslim radikal menjadi biangnya yang harus bertanggung jawab dan dienyahkan secepatnya dari muka bumi, tetapi juga membuat Muslim Amerika mainstream kalang kabut karena kerap menjadi sasaran tuduhan dan balasan teror yang tidak kalah sadisnya dengan teroris itu sendiri. Tidak sedikit setelah tragedi ini, umat Islam Amerika menjadi sasaran teror jalanan yang amat mengenaskan.
Menyaksikan keadaan tidak imbang ini, Graham lalu membuat garis nalar sehat dengan melontarkan sebuah pertanyaan: apabila Nabi Muhammad SAW tidak dimunculkan Tuhan dari tanah gurun pasir Arabia (the Deserts of Arabia), dan tidak menyebarkan sayapnya di Asia, Afrika, dan Barat, apakah akan sedahsyat pertumbuhan konflik terjadi antara Islam dan Amerika melebihi hari ini. Dengan kata lain, apakah dunia tanpa Islam akan menjamin terjadinya kedamaian yang paling menenangkan. Masih kata Graham, lewat bahasa simpatiknya, jauh sebelum kehadiran Islam dalam wujudnya di zaman ini, konflik dan perang paling menegangkan dan menelan banyak korban anak manusia justru terjadi antara timur dan barat yang diwakili dua negara adikuasa bukan Muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Gelombang besar berita tentang Islam kini terpicu kembali setelah kaum Taliban yang ditinggal Amerika berhasil menduduki Afghanistan tanpa pertumpahan darah. Dunia termasuk Indonesia dikagetkan dengan kemenangan Taliban yang tak terduga ini.
Pandangan terbelah
Indonesia lagi-lagi terbelah dalam merespons dan menyikapi fenomena baru Taliban. Sebagian bersikap nyinyir dan ketakutan pada Taliban dengan watak Islam radikalismenya akan menumbuhsuburkan ideologi radikalisme di Indonesia. Bahkan mereka lebih memilih sikap menyerukan kepada umat untuk mengurusi problem kompleks internal Indonesia daripada mengurusi negeri orang lain. Sementara yang berpandangan positif meyakini Taliban tidak ingin terkucil dan akan berkomitmen melakukan pembaruan untuk membangun dunia baru dan bersedia berkolobrasi dengan dunia internasional.
Pandangan terbelah terjadi karena dari beberapa elemen bangsa masih traumatik dan terbawa arus subyektif dalam menggeneralisasi Islam radikal Indonesia seakan tumbuh di ruang fakum tanpa sejarah. Azyumardi Azra dalam sebuah tulisannya menyoroti sejarah radikalisme Taliban bukan oleh satu faktor dominan tunggal, melainkan karena kombinasi dari banyak faktor. Peperangan sebagai makanan harian Taliban yang kerap terjadi antara banyak suku (land of war lord) dan tidak mudah dibuldoser oleh kekuatan apa pun, kata Azyumardi, sangat sukar diintervensi asing (Uni Soviet dan Amerika) dengan cara melakukan kekerasan apa lagi kekerasan dibalas dengan kekerasan senjata.
Pemikiran Azyumardi ini, hemat penulis, teramat tepat apabila Indonesia mengambil peran memediasi konflik Taliban melalui prinsip atau anutan politik bebas aktifnya. Selain itu, dengan penganut Muslim terbesar yang terkenal moderat, Indonesaia telah memiliki pengalaman di masa Soeharto terlibat menyelesaikan konflik antara Muslim Moro dan Pemerintah Pilipina. Di masa Jokowi, Menlu Retno Marsudi juga turut terlibat dalam rangka upaya mendamaikan konflik Muslim Rohingya dengan pemerintahan Myanmar.
Pengalaman berharga para tokoh bangsa ini sejatinya dipertahankan menjadi legacy kearifan generasi hari ini. Sungguh sangat ironis, apabila akhir-akhir ini dari segelintir bangsa Indonesia mencinderai legacy tokoh bangsa di atas dengan cara mengampanyekan tidak perlunya turut campur mengurusi negara orang lain. Sikap ini tentu sangat berlebihan seakan menyimpan imaginasi buruk untuk bertakut/pobi secara berlebihan pada umat Islam Indonesia. Terminologi ”Islam kadrun” terus digoreng oleh mereka (para buzer) secara gebyah-uyah seakan ”Islam kadrun” inilah yang akan berkesempatan besar mengobarkan dan menumbuhsuburkan ajaran Islam Taliban/radikal di Indonesia.
Sikap yang sama juga terjadi saat mereka memprovokasi agar tidak mengurusi tragedi penindasan/penjajahan Israel terhadap Palestina. Padahal Palestina terhitung negara paling tampil mendukung kemerdekaan Indonesia.
Baik kepada Taliban maupun Palestina, Indonesia tidak akan pernah abai terhadap tragedi kemanusiaan apa pun alasannya, apalagi kepada negara yang sudah bertahun-tahun jatuh miskin dan di ambang kehancuran. Terhadap Taliban yang telah berkomitmen melakukan pembaruan dan tidak ingin terkucil dari pergaulan internasioal, tentu bangsa Indonesia tidak etis secara dini menaruh pandangan negatif dan sikap curiga berlebihan.
Tuduhan dan pandangan subyektif yang selalu dilontarkan segelintir bangsa terhadap umat Islam kadrun atau Islam radikal sebagai biang radikal merupakan tindakan konyol dan menjadi preseden buruk yang berdampak fatal bagi keutuhan bangsa. Muslim Indonesia yang terkenal moderat tidak mungkin bertimbun Islam kadrun yang digebyah-uyah akan bertindak brutal dan kasar. Tidak sedikit Muslim yang telah berjasa dalam sejarah menorehkan tinta kepahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan gigih dan pengabdiannya pada umat/bangsa hingga kini.
Memprovokasi Muslim dengan terminologi kadrun berkonotasi radikal secara terus-menerus justru akan menjadi bom waktu tumbuhnya ketersinggungan umat Islam mainstream yang sejak lahirnya berkomitmen dan secara kontinyu menggalakkan moderasi beragama. Seakan yang menyudutkan umat dengan terminologi kadrun itu merasa paling bersih dan paling moderat dengan umat Islam yang menjadi obyek harian perundungan dan hinaannya itu.
Sindiran Graham E Fuler di atas lewat imajinasi sehatnya membayangkan dan mempertanyakan apakah seandainya dunia tanpa Islam akan menjamin terwujudnya sebuah perdamaian yang diharapkan umat dunia. Pertanyaan yang sama kita lontarkan apakah negara Indonesia yang kita cintai ini akan terwujud sebuah kedamaian dan kemerdekaan yang didambakan semua umat tanpa kehadiran umat Islam.
Fauzul Iman
Guru Besar/Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Periode 2017-2021