Berinvestasi adalah hal yang sangat pribadi dan subyektif. Mengambil keputusan investasi sebaiknya berasal dari pertimbangan pribadi, bukan apa kata orang lain.
Oleh
Joice Tauris Santi
·2 menit baca
Kebiasaan ikut-ikutan sepertinya sudah menjadi kecenderungan dalam berbagai bidang. Tidak hanya di dunia mode orang ikut-ikutan gaya busana atau gaya rambut yang sedang tren, dalam hal berinvestasi juga demikian. Ada teman membeli aset kripto, kita ikut beli. Ada influencer di Instagram beli saham ABCD, kita tidak mau ketinggalan.
Padahal, kondisi yang dialami setiap orang berbeda-beda. Bisa saja teman yang sudah membeli aset kripto itu sudah memiliki pengetahuan, pengalaman, dan fondasi keuangan yang bagus. Dia sudah mempunyai cukup dana darurat, memiliki investasi jangka pendek, dan mencatatkan arus kas sangat positif sehingga mampu menanggung kerugian ketika aset kriptonya anjlok dalam.
Demikian pula dengan teman lain yang sudah siap dengan modal analisis fundamental dan teknikal ketika memutuskan membeli saham tertentu. Kita tentu tidak bisa serta-merta mengikuti teman dalam membeli atau menjual suatu saham. Bisa jadi saat tiba-tiba dia menjual, dia sudah untung banyak atau bisa jadi sedang merealisasikan kerugiannya karena takut rugi lebih dalam.
Kita tidak bisa begitu saja mengikuti langkah investasi orang lain, bahkan mengikuti saran yang diberikan seorang analis sekalipun.
Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan seseorang dalam jual beli bisa jadi sangat berbeda antara satu dan lainnya, baik pengetahuan, profil risiko, rencana investasi, maupun modal. Dengan demikian, kita tidak bisa begitu saja mengikuti langkah-langkah investasi orang lain, bahkan saran yang diberikan seorang analis sekalipun.
Bisa saja, analis memberi rekomendasi untuk membeli saham XYZ, tetapi saham itu tidak masuk dalam universe investasi kita. Tentu rekomendasi itu tidak harus dijalankan.
Seperti ketika ada analis yang merekomendasikan membeli saham perbankan yang saat ini sedang menanjak harganya karena dipandang berpotensi naik lebih tinggi, kita tidak dapat mengikuti begitu saja karena merupakan investor dengan prinsip syariah, misalnya.
Berinvestasi adalah hal yang sangat pribadi dan subyektif. Untuk itu, mengambil keputusan investasi sebaiknya berasal dari pertimbangan pribadi, bukan asal ikut apa kata orang lain. Karena, jika ada kerugian, kita sendiri yang akan menanggungnya, bukan orang lain.
Agar mampu mengambil keputusan secara mandiri, banyak hal perlu dipelajari. Misalnya, perencanaan keuangan pribadi, siklus bisnis, dan harga komoditas, laporan kinerja keuangan emiten, dan pergerakan saham secara teknis.
Dengan bekal keterampilan tersebut, keputusan-keputusan investasi pun dapat diambil dengan percaya diri berdasarkan kebutuhan dan situasi yang sedang dihadapi. Kemampuan menganalisis akan membuat kita menjadi investor yang mandiri, tidak mudah ikut-ikutan arus yang belum tentu cocok dengan tujuan investasi kita.
Cara mengasah kemampuan ini tentu dengan berlatih terus-menerus agar terbiasa dengan cara kerja seorang investor. Banyak kelas-kelas berbiaya murah, bahkan gratis, yang bisa dimanfaatkan untuk mempelajari seluk-beluk investasi. Seperti pisau, keterampilan berinvestasi pun akan semakin tajam dan mumpuni jika sering-sering diasah.