Bank Tanah Mengelola Tanah Siapa
Secara filosofis, BT mengemban misi yang tidak ringan karena harus mampu “meniti buih” untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dalam pengalokasian tanah, yang pada awalnya hanya ditujukan untuk kepentingan umum.
Sejatinya tanah dan sumber daya alam lainnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah milik bangsa di Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Negara menguasai sumber daya alam dalam kedudukannya sebagai wakil seluruh rakyat untuk menjamin bahwa pemanfaatannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagai pemegang mandat dari rakyat, negara wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) kepada rakyat, sesuai amanat Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (UUPA). UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) mengatur tentang Bank Tanah dalam Pasal 125-135. Pengaturan lebih lanjut dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (PP BBT).
Sejalan dengan semangat UUPA yang menekankan fungsi regulasi sebagai rekayasa sosial untuk mencapai keadilan sosial, mengawal keberadaan Bank Tanah (BT) dalam rangka mencegah operasionalisasi BT yang tidak tepat sasaran itu merupakan keniscayaan.
Gagasan awal pembentukan BT diinisiasi oleh Bappenas. Dalam Kertas Kebijakan tahun 2013, kendala penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum mendorong perlunya dibentuk lembaga BT dalam bentuk badan hukum yang secara khusus mewakili negara untuk melakukan pencadangan tanah. Ditekankan juga bahwa BT harus dapat menjadi sarana untuk mencapai keadilan sosial sesuai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
Gagasan awal pembentukan BT diinisiasi oleh Bappenas.
Secara filosofis, BT mengemban misi yang tidak ringan karena harus mampu “meniti buih” untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dalam pengalokasian tanah, yang pada awalnya hanya ditujukan untuk kepentingan umum.
Gagasan Bappenas itu ditindaklanjuti dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019 yang salah satu isu strategisnya terkait ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Transparansi dan akuntabilitas
RPJMN 2020-2024 menyebutkan perlunya pembentukan BT untuk mengatasi masalah penyediaan tanah untuk kepentingan umum. Perpres No 61 Tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020 mendorong pembentukan PP tentang BT dan Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Perpres No 86 Tahun 2020 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2021 menyebutkan terwujudnya operasionalisasi lembaga BT salah satu sasaran pembangunan di bidang pertanahan.
UUCK mengatur tentang BT dalam Pasal 125-135. PP BBT yang terbit 29 April 2021 merumuskan BBT sebagai badan hukum Indonesia yang dibentuk pemerintah pusat dengan kewenangan khusus untuk mengelola tanah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dengan ini jelas bahwa bentuk lembaga BT bukan BLU seperti gagasan awal. Jika semula tujuan BT adalah untuk menyediakan tanah bagi kepentingan umum, maka dalam Pasal 2 juncto Pasal 16 PP BBT, ketersediaan tanah ditujukan untuk kepentingan umum dan lima kepentingan lain, yakni kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria (RA).
Sebagai catatan, 19 jenis kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dalam UU No 2 Tahun 2012 (UU Pengadaan Tanah), diperluas menjadi 25 jenis kegiatan oleh UUCK, terkait dengan pembangunan kawasan.
Perlu keseimbangan antara penyediaan tanah untuk kepentingan umum antara kegiatan pembangunan yang langsung berhubungan dengan pelayanan publik dan yang tak langsung. Demikian juga, proporsi antara ketersediaan tanah untuk “pembangunan nasional” yang difokuskan pada peningkatan ekonomi dan investasi, tak boleh mengalahkan tercapainya tujuan yang lain.
Di antara tujuh fungsi BT (Pasal 3 PP), pemanfaatan tanah perlu catatan khusus karena terkait langsung dengan operasionalisasi BBT. Pengaturan tentang pemanfaatan tanah paling rinci dibandingkan dengan pengaturan enam fungsi lainnya (Pasal 14 juncto Pasal 40).
RPJMN 2020-2024 menyebutkan perlunya pembentukan BT untuk mengatasi masalah penyediaan tanah untuk kepentingan umum.
Pemanfaatan tanah dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk jual beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar-menukar, dan bentuk lain sesuai kesepakatan. BBT memperoleh pengistimewaan dibandingkan dengan kewenangan pemegang Hak Pengelolaan (HPL) pada umumnya (Pasal 137 Ayat (2) UUCK). BBT diberi kewenangan untuk: (a) menyusun rencana induk; (b) membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha/persetujuan; (c) melakukan pengadaan tanah; dan (d) menentukan tarif pelayanan.
Pemanfaatan bidang tanah HPL atas nama BBT oleh pihak ketiga itu diberikan daya tarik berupa perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah (HGU, HGB, HP) di atas HPL “sekaligus” setelah dimanfaatkan dan diperjanjikan.
Sangat disayangkan bahwa dalam PP BBT tidak diberikan penjelasan bahwa pemenuhan syarat “dimanfaatkan” itu harus dilakukan oleh Petugas Konstatasi Kantor Pertanahan, dan bahwa pendaftaran perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanahnya dilakukan secara bertahap. Kealpaan mengatur hal ini berpotensi melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007.
Untuk menjaga keseimbangan dalam penyediaan tanah sesuai tujuannya, hendaknya fungsi pemanfaatan tanah yang merupakan “bidang usaha” dari BBT, tidak mendominasi fungsi lainnya. Dalam kaitan dengan pemanfaatan tanah melalui jual beli, sewa, kerja sama usaha, dan lain-lain itu perlu kejelasan tentang karakter BBT yang “nonprofit”.
Bappenas (2013) memberikan opsi nonprofit melalui dua alternatif, yakni BT tidak mengambil selisih harga, artinya melepas bidang tanah sesuai harga pembeliannya, biaya operasional berasal dari APBN; atau, BT menetapkan selisih harga tertentu, dibatasi maksimal lima persen dan keuntungan itu sepenuhnya untuk membiayai operasional BBT.
Dalam PP BBT disebutkan bahwa pelaporan dan pertanggungjawaban kewenangan BT meliputi laporan keuangan. Demikian juga, dalam rumusan tentang fungsi BT (Pasal 3 PP BT) tidak dicantumkan tentang evaluasi sebagai suatu kebulatan dalam proses tata kelola lembaga yang baik, terlebih jika obyek yang dikelola itu adalah tanah yang merupakan hajat hidup setiap orang. Untuk memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas, laporan kegiatan dan evaluasi merupakan keniscayaan.
Pekerjaan rumah
PP BBT mengatur tentang struktur BT secara umum, pengaturan yang lebih rinci dimuat dalam perpres yang masih berproses. Hal ini berbeda dengan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang sudah sangat siap.
Sama-sama dibentuk melalui UUCK, PP No 74 Tahun 2020 tentang LPI terbit tanggal 14 Desember 2020, berselang satu bulan setelah terbitnya UUCK. Anggota dewan pengawas dan dewan direksi LPI diumumkan Presiden tanggal 16 Februari 2021. LPI merupakan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Walaupun serupa tapi tak sama, hal-hal positif tentang pengaturan struktur organisasi LPI dapat dijadikan bahan pertimbangan. Sama-sama mendasarkan kegiatan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945, obyek pengelolaan LPI tidak langsung berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia.
Bagi BBT, aspek keadilan dalam pencadangan tanah untuk berbagai kepentingan menjadi hal yang krusial. Sumber daya manusia (SDM) yang bagaimana yang diharapkan duduk dalam kepengurusan BBT? Dewan pengawas LPI yang terdiri dari Menteri Keuangan dan Menteri BUMN dilengkapi dengan lima orang anggota berdasarkan profesionalitas. Lima orang anggota dewan direktur berasal dari unsur profesional.
Baca juga : ”Quo Vadis” Bank Tanah
PP LPI juga mengatur tentang pencegahan konflik kepentingan. Pengaturan tentang struktur organisasi LPI yang komprehensif sehingga dapat segera diimplementasikan itu meliputi: keanggotaan, tugas dan wewenang (dan kode etik untuk dewan pengawas), seleksi anggota dewan pengawas dari unsur profesional, pembidangan dan komite dewan direktur, dan tata cara pengambilan keputusan. Ketika diperlukan keberadaan dewan penasihat, pengaturan tentang persyaratan keanggotaannya sudah dirumuskan dalam PP LPI.
Sesuai tugas dan fungsinya, evaluasi dicantumkan dalam tata kelola LPI yang “baik, akuntabel, dan transparan”, dan pelaporannya meliputi laporan kegiatan dan laporan keuangan.
Ke depan beberapa hal perlu mendapat perhatian. Pertama, untuk memperoleh SDM profesional dalam kepengurusan BBT, pengaturan rinci tentang syarat keanggotaan dan seleksi yang transparan merupakan hal krusial.
Kedua, mengingat misi, tujuan, dan fungsi BBT dalam mengelola tanah yang sejatinya milik seluruh rakyat, perlu disadari bahwa BBT merupakan wakil negara untuk mengelola tanah secara adil dalam penyediaan dan pendistribusian tanah di antara berbagai kepentingan.
Bagi BBT, aspek keadilan dalam pencadangan tanah untuk berbagai kepentingan menjadi hal yang krusial.
Pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan menjadi bukti bahwa BBT sanggup melaksanakan tanggung jawab mengelola tanah secara adil dan berkelanjutan selaras dengan pembangunan ekonomi, sosial, dan ekologi.
Ketiga, sebagai bukti bahwa pemerintah berkomitmen mengakselerasi pelaksanaan RA, penyerahan kepada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) seluruh tanah negara yang ditetapkan sebagai aset BBT (Pasal 7 PP BBT) yang tumpang tindih dengan tanah-tanah obyek reforma agraria (TORA) dalam Pasal 7 Perpres No 86 Tahun 2017 tentang RA dalam status tanah negara, merupakan batu ujian. Alokasi tanah BBT untuk RA 30 persen direalisasikan dari tanah yang berasal dari pihak lain (Pasal 8 PP BBT).
Tujuan BT yang tak spesifik, ketersediaan data pertanahan yang akurat dan up to date, ketersediaan dan ketaatan pada rencana tata ruang itu merupakan tantangan tersendiri. Jika semua pekerjaan rumah dan tantangan dapat diselesaikan dan pengelolaan tanah dilakukan secara profesional, transparan dan akuntabel, BT dapat melangkah ke depan tanpa keragu-raguan. Hanya waktu yang akan membuktikan.
Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.