Euforia Pandemi dan ”Mesu Diri”
Euforia atas penurunan kasus harian Covid-19 berbahaya karena akan mengendurkan kewaspadaan. Agar tetap waspada, diperlukan ”mesu diri” atau menguasai diri sendiri di masa pandemi ini taat protokol kesehatan.
Malioboro di Yogyakarta pada 4-5 September 2021 dipadati pengunjung. Ini salah satu pertanda ada euforia atas penurunan kasus harian Covid-19 yang pada 6 September ”hanya” 4.413 positif.
Apa yang patut kita cemaskan dari turunnya angka kasus harian Covid-19? Kecemasan utama adalah euforia warga ”menyambut” penurunan tersebut. Padahal euforia menyebabkan hilangnya kewaspadaan dan membuat kemenumpulan alam perasa. Untuk mengendalikan euforia itu diperlukan mesu diri dari anggota masyarakat.
Presiden Joko Widodo pun mengingatkan masyarakat agar tidak terperangkap euforia. Hal itu disampaikan Presiden saat memimpin rapat terbatas evaluasi PPKM yang disiarkan kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin (6/9/2021). ”Statement ini penting sekali supaya tidak terjadi euforia yang berlebihan, senang-senang yang berlebihan,” ujar Presiden.
Saat Presiden mengingatkan hal itu, angka penambahan Covid-19 sebanyak 4.413 kasus dalam 24 jam terakhir. Angka ini dianggap ”kecil” dibandingkan dengan beberapa waktu lalu yang sempat menjadi terbanyak di dunia. Misalkan pada Sabtu (17/ 7/2021) pagi, angka kasus harian Covid-19 di Indonesia menjadi yang terbanyak di dunia dengan 54.000 kasus.
Baca juga : Kasus Covid-19 Turun, Waspadai Euforia
Memang selayaknya mensyukuri penurunan angka ini, tetapi bukan berarti kita terperangkap euforia, baik bertindak maupun berucap. Dalam hal euforia bertindak bisa dicontohkan ramainya Malioboro pada Sabtu (4/9/2021) dan Minggu (5/9/2021). Foto kerumunan wisatawan di Malioboro menjadi viral.
Dalam hal euforia berucap bisa kita dengar pernyataan seorang wakil menteri yang dengan yakinnya menyatakan, ”Indonesia sudah melewati puncak kasus Covid-19. Hal ini ditandai dengan telah menurunnya kasus terkonfirmasi positif, pasien yang menjalani perawatan, dan kematian Covid-19.”
Mengendurkan kewaspadaan
Euforia, dalam kacamata etika, merupakan perasaan nyaman berlebihan. Angka 4.413 dianggap sebagian warga aman sehingga membuat mereka nyaman saja bepergian ke Malioboro. Ditambah pula rasa aman karena sudah melaksanakan vaksinasi. Padahal, mara bahaya virus masih mengintai.
Pelajaran berharga bisa dipetik dari India. Euforia penurunan kasus Covid-19 membuat mereka lepas kontrol. Warga di sana tiba-tiba lepas kontrol karena rasa aman yang semu tersebut. Protokol kesehatan pun dilanggar dan kasus positif melonjak kembali.
Kita pun bisa mengalami hal serupa manakala lepas kontrol. Saat lepas kontrol, saat kewaspadaan mengendur. Bukankah kita diajarkan keutamaan waspada. Kata para pujangga, waspada adalah kesiapan tubuh, batin, dan rohani untuk menghindari mara bahaya. Kalau hidupnya tak mau dihampiri bahaya, kita harus terus-menerus waspada. Maka, ada orang bilang waspada itu tidak tidur. Tentu tidak tidur di sini merupakan pengandaian.
Baca juga : Vaksin Covid-19, antara Euforia dan Waswas
Sejauh yang orang mengetahui, tidur adalah kegiatan manusia yang mengistirahatkan fungsi indera. Tatkala tidur, seseorang seolah terputus dengan alam sekitarnya. Ia asyik dengan kesendirian sembari merajut mimpi yang bisa saja lebih indah dari realitas.
Saran orang bijak, tidurlah pada saat yang tepat, pada siklusnya. Artinya, kita tak bisa sembarangan tidur. Saat mencium tanda-tanda akan kedatangan mara bahaya, sudah barang tentu kita tak boleh tidur. Mata lebih dibelalakkan, telinga dibuka lebar-lebar, dan segenap indera dioptimalkan untuk merasakan akan mara bahaya itu. Inilah hakikat waspada. Jadi, waspada adalah tatkala indra berfungsi sebagaimana mestinya.
Ada juga yang menganalogikan waspada sebagai hawas. Kearifan Jawa menempatkan hawas ini satu paket dengan hening (kejernihan berpikir), heneng (senantiasa penuh pertimbangan), wicaksana (bijaksana), dan eling. Paket ini merupakan ajaran Patih Rajasakapa kepada Raja Cingkaradewa.
Kemenumpulkan alam perasa ini membuat seseorang cenderung mengabaikan urusan orang banyak.
Selain mengendurkan kewaspadaan, euforia juga menyebabkan kemenumpulan alam perasaan (Emil Kraepelin,1919). Kemenumpulkan alam perasa ini membuat seseorang cenderung mengabaikan urusan orang banyak. Perhatian akan lebih tertuju pada dirinya sendiri. Seolah memakai kacamata kuda, sekitarnya diabaikan saja. Ia hanya lurus ke depan mencapai tujuan dirinya. Celakanya jika tujuan dirinya itu adalah kesenangan belaka, ia pun lengah menerapkan prokes. Ia lupa ada orang-orang di sekitarnya yang perlu dilindungi dari paparan Covid 19. Wujud perlindungan ini adalah saling jaga prokes.
Menguasai diri
Kunci mengendalikan euforia pernah disampaikan oleh Sultan Hamengku Buwono X tatkala mengingatkan pedagang di Malioboro. Boleh berdagang asal mau bersama-sama melakukan introspeksi dan evaluasi, mêsu-diri. Meski diberikan kelonggaran untuk mencari nafkah, tetap diingatkan Sultan: mesu diri.
Mesu diri itu sejatinya menguasai diri sendiri. Dibaca dari perspektif filsafat Jawa, mesu diri itu terbangun dari eling lan waspada. Falsafah yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa ini mengajarkan manusia untuk selalu ingat dan hati-hati dalam menjalani hidup.
Mesu diri itu sejatinya menguasai diri sendiri. Dibaca dari perspektif filsafat Jawa, mesu diri itu terbangun dari eling lan waspada.
Sementara dari perspektif filsafat Barat, mesu diri terbentuk manakala masyarakat mau ”berpikir secara dialektika” yang berarti ”berpikir dalam totalitas”. Maksudnya dalam berpikir itu secara total dengan melibatkan unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan akhirnya saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).
Mesu diri akan mengerahkan seluruh potensi diri untuk menerapkan secara tekun dan tulus apa yang dianjurkan pemerintah untuk menangkal virus korona. Menerapkan prokes juga bagian dari mesu diri. Menggalang kesediaan bersama berperan serta memutus mata rantai penyebaran virus adalah konkret mesu diri. Pada akhirnya mesu diri akan meninggalkan kepentingan pribadi, ego sektoral, demi kesehatan nasional.
Tinggal kini bagaimana menyebarkan wacana ini kepada masyarakat. Sultan (sebagai Raja Ngayogyakarta) telah memberi contoh. Lewat sapa aruh, Sultan tak pernah berhenti mengajak rakyat Yogyakarta senantiasa mesu diri.
Baca juga : Perkuat Protokol Kesehatan di Tengah Krisis Pandemi Covid-19
Muhammadiyah juga mengajak umatnya untuk waspada dengan taat prokes. Di tengah situasi sulit akibat pandemi Covid-19, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meminta supaya setiap warga bangsa menaati protokol kesehatan supaya pandemi ini bisa berakhir dengan baik. Warga Muhammadiyah harus menjadi uswah hasanah dalam penanggulangan Covid-19.
Tampaknya ajakan dari pemimpin organisasi massa, pemuka agama, pemuka adat, dan kelompok-kelompok lain lebih gencar digaungkan mengingat ajakan mereka lebih didengar umatnya. Lebih baik ”bawel” ketimbang euforia menjadi bumerang.
Toto TIS Suparto, Penulis Filsafat Moral