Vaksin Covid-19, antara Euforia dan Waswas
Masyarakat harus sadar bahwa efek maksimal vaksin baru akan tercapai apabila 70-80 persen populasi mengikuti program vaksinasi. Bila belum mencapai tahapan ini, pandemi masih akan berlangsung dan menggerogoti kehidupan.
Bulan Desember-Januari lalu benar-benar menjadi ”bulan vaksin”. Hanya kurang dari dua bulan, sepuluh jenis vaksin Covid-19 telah mendapat persetujuan penggunaan dan mulai digunakan di masyarakat.
Belum pernah terjadi sebelumnya, untuk satu jenis penyakit, berbagai jenis vaksin disetujui penggunaannya dalam waktu singkat. Ini sebuah tonggak sejarah (milestone).
Baca juga: Efektivitas Vaksin dan Integritas Ilmiah
Masyarakat dihadapkan pada dikotomi. Sebagian menyambut antusias keadaan ini. Bagi mereka, maraknya produksi dan distribusi vaksin adalah isyarat bahwa pandemi akan segera berakhir dan kehidupan akan segera normal kembali. Mereka antusias untuk segera mendapat vaksinasi.
Sebagian lagi bersifat apriori. Menganggap vaksin hanyalah bagian dari sebuah mega-bisnis dan konspirasi sambil menggembar-gemborkan isu efek buruk vaksin. Mereka enggan untuk divaksin.
Perkembangan vaksin Covid-19 memang berlangsung sangat cepat.
Euforia masyarakat
Perkembangan vaksin Covid-19 memang berlangsung sangat cepat. Bukan hanya produksinya, tetapi juga distribusi dan penggunaannya. Hanya setahun setelah pandemi, vaksin Covid-19 telah berhasil diproduksi. Padahal, vaksin-vaksin sebelumnya membutuhkan waktu belasan atau puluhan tahun. Vaksin ebola dan polio, misalnya, masing-masing membutuhkan periode 15 dan 60 tahun untuk produksinya.
Berbeda dengan vaksin-vaksin sebelumnya yang dibuat dari kuman yang dilemahkan atau dimatikan, sejumlah vaksin Covid-19 yang tersedia saat ini dibuat dengan teknologi baru. Di antaranya, menggunakan mRNA, viral vector dan peptide sebagai bahan vaksin. Artinya, variabilitasnya lebih luas.
Baca juga: Problematika Vaksin Covid-19
Hanya dalam waktu sebulan, hampir 50 juta orang dari lebih 50 negara telah mendapatkan vaksin Covid-19. Setiap hari, dua jutaan orang divaksinasi. Dan, jumlah ini akan meningkat tajam sejalan dengan bertambahnya produksi dan penyebaran vaksin.
Perkembangan vaksin yang demikian cepat menimbulkan euforia di masyarakat. Media massa dipenuhi oleh berita keampuhan (efficacy) dan manfaat vaksin. Seolah vaksin merupakan peluru ajaib (magic bullet) tanpa cacat.
Baca juga: Memahami Efikasi, Imunogenisitas, dan Efektivitas Vaksin
Tidak sedikit masyarakat percaya bahwa setelah menerima vaksin mereka akan kebal total terhadap Covid-19 dan tidak perlu lagi menjaga jarak, mencuci tangan, atau menggunakan masker. Dan, perilaku ini telah dipertontonkan sejumlah tokoh publik (public figure). Sesaat setelah divaksin, tanpa sungkan mereka beraktivitas tanpa masker.
Kecemasan produsen
Bila saat ini sebagian masyarakat mengalami euforia, produsen vaksin justru mengalami ”masa ketegangan”.
Setelah vaksinnya diproduksi dan digunakan di masyarakat, tahap krusial yang harus mereka lewati adalah menunggu bukti lanjut bahwa vaksin mereka benar-benar efektif, aman, dan memiliki masa proteksi (durability) yang panjang. Ketiga aspek ini menentukan prospek bisnis mereka, termasuk apakah vaksin mereka akan digunakan selanjutnya atau justru akan ditinggalkan.
Baca juga: Vaksin dan Vaksinasi Covid-19
Vaksin Covid-19 yang ada saat ini memang terbukti memiliki tingkat keampuhan yang baik, yaitu 50-95 persen. Hasil ini terbukti dalam berbagai uji vaksin standar. Namun, saat digunakan di lapangan, keampuhan ini bisa sangat berubah. Banyak faktor memengaruhi.
Salah satunya adalah perbedaan antara populasi dan tempat uji coba vaksin dengan populasi dan tempat vaksin digunakan. Ketika diuji coba di Amerika, vaksin Pfizer dan Moderna memang memiliki keampuhan di atas 90 persen. Namun, ketika vaksin ini digunakan di Indonesia, keampuhannya bisa menjadi sangat berubah.
Namun, ketika vaksin ini digunakan di Indonesia, keampuhannya bisa menjadi sangat berubah.
Ini menjadi alasan mengapa keampuhan vaksin Sinovac berbeda di Turki, Brasil, dan Indonesia. Rentang keampuhannya pun amat lebar. Di Brasil 50 persen, di Indonesia 65 persen, dan di Turki 91 persen. Padahal, vaksin yang digunakan sama.
Ini mengisyaratkan, tidak ada jaminan bahwa keampuhan vaksin bersifat universal dan konstan. Apalagi, bila sistem penyimpanan, distribusi, transportasi, dan penggunaan vaksin tidak dilakukan secara standar. Keampuhannya di lapangan (effectiveness) dapat menjadi sangat berkurang.
Baca juga: Imunitas Setelah Vaksinasi Tidak Instan
Ketegangan lain terkait dengan efek samping atau keamanan. Vaksin-vaksin Covid-19 yang ada saat ini telah disetujui karena telah melewati fase 3. Artinya, setiap vaksin telah diujicobakan selama setahun terhadap paling banyak 40.000 orang. Di luar periode dan jumlah populasi tersebut belum ada datanya.
Misalnya, apa efek vaksin setelah 2-3 tahun atau bagaimana efek samping bila diberikan pada populasi yang jumlahnya jutaan orang. Aspek-aspek inilah yang akan dipantau pada masa tindak lanjut (follow-up) pasca-vaksinasi. Bila pada tahap ini ditemukan bahwa vaksin memiliki efek samping serius, izin penggunaan vaksin dapat dicabut.
Bisa dibayangkan betapa besar kekuatiran psikologis produsen vaksin atas risiko ini. Pencabutan izin vaksin berimbas pada aspek ekonomi dan kredibilitas perusahaan.
Hingga kini juga belum diketahui masa proteksi (durability) vaksin-vaksin Covid-19 yang ada. Setelah seseorang disuntik vaksin, belum diketahui berapa lama kadar antibodi yang terbentuk dapat bertahan. Apakah bertahan bulanan, tahunan, atau bahkan puluhan tahun.
Bila hanya bertahan beberapa bulan, vaksin menjadi tidak efisien. Ini berarti orang harus divaksin setiap beberapa bulan. Masa proteksi paling minimal yang diharapkan adalah satu tahun agar vaksinasi hanya diulang setiap tahun. Isu masa proteksi menjadi lebih kompleks bila mempertimbangkan fenomena mutasi virus. Hingga saat ini, vaksin yang ada, terutama yang terbuat dari mRNA, dilaporkan tetap efektif mengatasi virus yang bermutasi.
Baca juga: Vaksinasi dan Ancaman Mutasi Virus
Namun, tidak tertutup kemungkinan, bila mutasi virus menjadi lebih cepat dan bervariasi, vaksin yang tersedia tidak lagi kapabel untuk menanggulangi. Artinya, pembaruan vaksin harus terjadi secara periodik.
Isu penting lain terkait kompetisi bisnis. Esensi vaksin adalah produk kesehatan masyarakat. Namun, produsen vaksin tentu memiliki kepentingan (interest) lain yang tidak kalah penting, yaitu profit bisnis. Dengan makin banyaknya vaksin yang beredar, produsen vaksin akan saling berkompetisi. Mereka ingin produknya lebih laku dan digunakan.
Maka, jangan heran kalau media Barat getol mempersoalkan isu keampuhan vaksin Sinovac yang dianggap rendah.
Maka, terjadilah fenomena saling klaim dan serang antara produsen vaksin, baik tersirat maupun tersurat. Jangan heran kalau media Barat getol mempersoalkan isu keampuhan vaksin Sinovac yang dianggap rendah.
Sementara media China juga terus mengangkat isu tentang efek samping vaksin Pfizer dan Moderna yang terjadi pada beberapa penerima vaksin ini.
Ini merupakan perang bisnis (bussiness war). Isu ini diperparah oleh pertarungan kepentingan pro-vaksin dan anti-vaksin, pro-pemerintah dan oposisi pemerintah serta penganut status quo dan non-status quo.
Bukan peluru ajaib
Maraknya produksi vaksin dan mulainya pelaksanaan vaksinasi merupakan sinyal baik penanggulangan pandemi. Para ahli sepakat bahwa vaksin menjadi tumpuan harapan penanggulangan pandemi. Maka, wajar bila isu vaksin menjadi trending topic di mana-mana, apalagi di tengah kondisi pandemi yang masih belum terkontrol.
Hingga kini, Covid-19 telah menyerang 223 negara, menginfeksi 103 juta orang, dan menimbulkan kematian lebih dari 2,23 juta orang. Vaksin hadir di tengah kondisi kritis ini. Maka wajar bila ia menjadi tumpuan harapan.
Baca juga: Berpacu dengan Kecepatan Mutasi Virus
Namun, kehadiran vaksin tidak serta-merta menjadi kartu garansi terkontrolnya pandemi. Vaksin-vaksin Covid-19 yang ada saat ini merupakan vaksin baru. Bukan vaksin yang sudah established, seperti vaksin polio atau hepatitis.
Keampuhan dan keamanan vaksin Covid-19 memang telah terkonfirmasi pada sejumlah uji vaksin terkontrol dan terbatas. Namun, pada populasi lebih luas atau jangka waktu lebih lama, keampuhan dan keamananannya belum terkonfirmasi. Aspek ini yang akan ditelisik dalam proses follow-up pascavaksinasi, termasuk di dalamnya proses post-marketing surveillance.
Tahap follow-up ini berlangsung tahunan atau bahkan puluhan tahun. Bila pada tahap ini ditemukan efek yang tidak dikehendaki (unfavourable) dari vaksin, badan otoritas vaksin dapat melakukan revisi kebijakan, termasuk mencabut izin vaksin. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menegaskan bahwa bila dalam periode follow-up ini ditemukan dampak serius vaksin, izin penggunaan vaksin dapat dicabut. Hal yang sama juga berlaku di negara lain.
Selain itu, mata rantai penularan Covid-19 baru akan terputus apabila kekebalan komunitas (herd immunity) telah tercapai. Kekebalan komunitas mengharuskan 70-80 persen populasi memiliki antibodi kekebalan, baik akibat vaksinasi maupun akibat pernah terinfeksi dan kemudian sembuh.
Tanpa kekebalan komunitas, pandemi Covid-19 belum berakhir dan penularan masih dapat terus berlangsung. Ini isyarat bahwa partisipasi luas masyarakat amat dibutuhkan untuk suksesnya program vaksinasi.
Tanpa kekebalan komunitas, pandemi Covid-19 belum berakhir dan penularan masih dapat terus berlangsung.
Awal dari akhir pandemi
Meski vaksin bukan jaminan terkontrolnya pandemi, vaksin menjadi pintu masuk penanganan pandemi. Ia menjadi titik awal penghentian pandemi. Semua vaksin Covid-19 yang beredar saat ini telah terbukti efektif pada uji vaksin, dengan tingkat keampuhan 50-95 persen.
Artinya, orang yang melakukan vaksinasi akan terlindungi dua hingga 19 kali lipat dibanding orang yang tidak melakukan vaksinasi. Nilai perlindungan ini sangat besar, apalagi kalau diekstrapolasi dengan target vaksin yang jumlahnya ratusan juta di Indonesia dan miliaran di seluruh dunia.
Untuk memaksimalkan efek vaksin dalam penghentian pandemi, masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa vaksin bukanlah segalanya. Bukan magic bullet. Artinya, jangan setelah mendapat vaksin masyarakat lantas merasa dirinya menjadi super-human, yang tidak akan terinfeksi Covid-19 dalam keadaan apa pun.
Apalagi, dengan mengabaikan protokol kesehatan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan 3T (tracing, testing, treatment). Mereka juga harus sadar bahwa efek maksimal vaksin baru akan tercapai apabila 70-80 persen populasi mengikuti program vaksinasi. Bila belum mencapai tahapan ini, pandemi masih akan berlangsung dan terus menggerogoti setiap aspek kehidupan.
Iqbal Mochtar, Dokter dan Pengamat Masalah Kesehatan