Seiring perkembangan teknologi, buku turut berkembang. Meski toko fisik sepi, bisnis buku tetap bertahan. ”E-book” pun kian populer, tapi bukan pembunuh buku konvensional, hanya transformasi menyesuaikan kebutuhan zaman.
Oleh
PANDU WIJAYA SAPUTRA
·4 menit baca
Tahun 1894, penulis ternama Perancis, Octave Uzanne, menulis artikel berjudul ”The End of Books”. Di dalamnya, dia memprediksi takdir buku yang akan berakhir semenjak ditemukan fonograf oleh Thomas Edison. Kejayaan teks akan segera tergantikan suara (audio). Tapi dia salah, hingga lebih dari seabad kemudian orang lebih suka menggunakan temuan Edison itu untuk mendengarkan lagu.
Ketika televisi mulai melakukan penetrasi ke setiap rumah hingga ke pelosok desa, buku sekali lagi diprediksi akan menuju senjakalanya. Belum lagi merebaknya bioskop dan teknologi pemutar video yang daya tariknya tak mungkin ditolak.
Tak heran, pada 1982 sastrawan Goenawan Mohamad dalam tulisannya bertanya, ”Jika Anda punya pilihan, apakah yang akan Anda lakukan, membaca sebuah novel atau menonton video?” Sebuah pertanyaan retoris yang mengafirmasi bahwa tayangan hiburan audio visual lebih disukai daripada buku.
Namun, seiring perkembangan berbagai temuan teknologi tersebut, buku pun turut berkembang. Tahun 1970-an pemerintah melakukan pengadaan buku besar-besaran yang turut pula menggairahkan industri tersebut. Selanjutnya tahun 1980-an menjadi awal masa kreatif industri perbukuan Indonesia dengan munculnya banyak penerbit. Pascareformasi, sastra Indonesia mengalami kebangkitan dan muncul gairah baru dalam industri perbukuan (IKAPI, 2015).
Kini, meski tak lagi menjadi pilihan utama karena ada internet, website, blog, atau e-paper, buku belum habis. Meski toko fisik sepi, bisnis buku tetap bertahan. Perubahan hanya pada pilihan cara pembelian, toko fisik ke toko daring. Riset yang dilakukan picodi.com tahun 2019 menunjukkan, pembelian buku cetak oleh masyarakat secara daring pun sangat tinggi, khususnya setiap akhir tahun ketika ada banyak potongan harga.
E-book pun kian populer, apalagi bagi generasi Z yang sejak kecil lebih akrab dengan layer gawai daripada aroma kertas. Namun, e-book bukanlah pembunuh buku konvensional, dia hanya transformasi menyesuaikan kebutuhan zaman.
Buku masih membuktikan kemapanannya. Bahkan, kita punya hari peringatan yang berkaitan dengan buku. Setiap tanggal 17 Mei kita merayakan Hari Buku Nasional, tanggal 23 April adalah Hari Buku Internasional, dan tanggal 8 September kita memperingati hari literasi. Tak ada peringatan yang berkali-kali seperti itu. Belum lagi berbagai eksibisi buku yang kerap diadakan di berbagai darah. Kita masih merayakan buku.
Media komunikasi
Buku berusia sangat tua. Jika kita mengaitkan dengan medianya, kertas atau kain, diperkirakan cikal bakal buku sudah ada sejak 4.000 tahun Sebelum Masehi berbentuk lembaran papirus, tentu masih berupa tulisan tangan. Namun, jika kita melihat buku sebagai sebuah media komunikasi menggunakan simbol bahasa, usianya jauh lebih tua.
Simbol tertua yang digunakan manusia berusia 45.500 tahun. Simbol itu berupa gambar yang dipahat pada dinding goa di Sulawesi Selatan. Ia hanya berbentuk cap tangan, gambar, dan garis. Dalam laman Direktorat Perlindungan Kemendikbudristek disebutkan bahwa gambar-gambar tersebut adalah simbol komunikasi dan ekspresi. Ia merupakan catatan dan media pemberi pesan. Maka, ini bisa disebut sebagai cikal bakal buku.
Sejak manusia mulai menggoreskan tanda yang mengandung makna pada apa pun baik batu, lontar, pelepah, atau kulit binatang, dari sanalah buku sejatinya berawal. Ia telah melalui ribuan tahun proses berkembang, berubah, dan bertumbuh. Selama masih ada bahasa dan aksara, akan selalu ada tulisan. Selama ada tulisan, kita bisa yakin buku akan bertahan.
Pengaruh buku pada kebudayaan manusia sangat signifikan. Orang berpandangan, setengah beriman, bahwa buku menentukan nasib seseorang. Kita punya kredo ”Buku adalah jendela dunia”, di Arab ada nasihat ”Sebaik-baik teman duduk adalah buku”, dan pepatah China mengatakan, ”Sebuah buku berisi rumah emas”.
Membaca adalah salah satu cara untuk belajar. Kita bisa belajar dari pengalaman dan gagasan orang lain yang tertuang dalam buku. Buku pun adalah penemuan yang unik. Semua teknologi temuan manusia adalah perpanjangan badan fisik: transportasi adalah perpanjangan kaki, mesin industri adalah perpanjangan dari tangan, telepon adalah perpanjangan dari telinga, teleskop adalah perpanjangan mata, dan buku adalah perpanjangan dari memori dan jiwa penulisnya. Karena itu, membaca buku adalah menghubungkan diri dengan pikiran orang-orang lintas batas geografis dan waktu.
Internet pun memiliki karakter yang sama, menghubungkan lintas ruang dan waktu. Tapi, satu hal yang yang membedakan adalah seberapa dalam kita mampu menembus pikiran penulis dan memahami suatu topik. Nicholas Carr dalam bukunya menganalogikan, ”Internet mengajak kita berselancar menggunakan speedboat, tapi buku membawa kita menyelam di kedalaman.”
Meski demikian, pada akhirnya buku juga bukan satu-satunya sumber. Ia hanyalah salah satu cara kita belajar. Dalam perjalanan hidup, sering kali kita memahami bahwa ada banyak cara dan obyek untuk dibaca. Kita bisa ”membaca” apa yang terjadi di sekitar kita, dari yang kita alami, dari obrolan dengan orang, bahkan dari film yang kita tonton.
Tapi buku, sebagai buah pikiran yang dibakukan, diejawantahkan dalam bentuk fisik teks, dalam kenyataannya memiliki potensi untuk mengabadi. Ia mampu melintasi abad demi abad dan terus diwariskan. Kita harus bersyukur memiliki kesempatan mencercap buah-buah pikiran peradaban itu.
Pandu Wijaya Saputra, Peminat Kajian Sosial dan Budaya; Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek