Kesadaran tunggal ika atau kesatuan menjadi kunci untuk merawat toleransi. Makna tunggal ika ini selaras seutuhnya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan, dimensi ketunggal-ikaan ini ada di kitab suci agama-agama.
Oleh
HALIM M KHOIRI
·6 menit baca
Adalah Mohammad Yamin, pahlawan yang mengusulkan frasa Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan NKRI yang kemudian diresmikan pada 17 Oktober 1951. Mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim, sangat unik bahwa negara ini menggunakan semboyan kenegaraan yang justru disarikan dari kitab Sutasoma, warisan tradisi Hindu-Buddha Nusantara.
Di satu sisi, kebanggaan kita akan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini terwujud di beberapa kota di Indonesia yang memiliki indeks toleransi tinggi, seperti Salatiga, Singkawang, Manado, dan beberapa kota lain, sebagaimana dipaparkan dalam hasil penelitian Setara Institute tahun lalu. Kota-kota tersebut memiliki kebijakan pembangunan yang kondusif untuk praktik dan promosi toleransi. Namun, di sisi lain, idealisme semboyan ini masih belum sepenuhnya terwujud seiring masih banyak ditemukannya praktik intoleransi di negara kita.
Di dunia pendidikan, misalnya. Berdasarkan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UNDP di 100 perguruan tinggi di 34 provinsi di Indonesia pada tahun 2021, dari total 3.503 responden, 30,16 persen mahasiswa dan 39,11 persen dosen tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang rendah. Hasil penelitian nasional terakhir dari lembaga yang sama tentang intoleransi di kalangan generasi Z juga menunjukkan bahwa 33,34 persen dari mereka setuju bahwa tindakan intoleran terhadap minoritas adalah tidak masalah.
Perasaan bangga atas semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus selalu diimbangi dengan perasaan mawas karena sebagian dari kita masih dijajah oleh intoleransi, entah dalam kesadarannya ataupun sikapnya. Jika intoleransi adalah penyakit, sebenarnya ia bisa diobati dengan ramuan ”Bhinneka Tunggal Ika” yang sudah kita miliki.
Namun, ramuan ini akan ampuh hanya ketika semboyan tersebut direnungkan seperti yang dimaksudkan oleh Hindu dan Buddha Nusantara dahulu. Apa yang kita pahami dengan makna ”berbeda-beda tetapi tetap satu jua” merupakan evolusi dari makna yang sebenarnya sangat mendalam.
Warisan tradisi Siwa-Buddha
Bait ”Bhinneka Tunggal Ika” termuat dalam kitab Sutasoma, karya Mpu Tantular, seorang pujangga mistik Buddha pada abad ke-14. Pada saat itu, kerajaan Majapahit berada di bawah Raja Hayam Wuruk yang beragama Hindu.
Kesadaran yang ada di masyarakat tentang agama Hindu dan Buddha pada saat itu bisa disimpulkan dengan istilah Siwa-Buddha, yaitu bahwa Hindu dan Buddha adalah dua agama yang benar. Penganut Hindu tidak menganggap tradisi Buddha sebagai agama yang salah, demikian juga sebaliknya. Seorang penganut Buddha menerapkan praktik Buddha dalam kerangka tradisinya secara total tanpa mencampurnya dengan praktik Hindu, demikian juga sebaliknya.
Jadi, Siwa-Buddha bukanlah sinkretisme. Pada waktu itu, adalah lumrah ditemukan adanya pemeluk Buddha dan Hindu dalam satu masyarakat atau bahkan satu keluarga. Tidak ada perasaan eksklusif bahwa agama satu lebih benar daripada agama lainnya.
Kala itu, masyarakat Nusantara menyadari bahwa baik Hindu maupun Buddha mengajarkan bahwa Dharma (Sang Kebenaran) adalah tujuan tertinggi dari keduanya. Inilah makna yang terkandung dalam kata Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam bahasa Jawa Kawi, ungkapan ini sebenarnya memiliki arti ’Keterpecahan Dua itu hakikatnya adalah Satu itu’. ”Keterpecahan dua” dalam uraian ini merujuk kepada Dewa Siwa dalam agama Hindu dan Buddha Gautama dalam agama Buddha sebagai manusia ilahi yang tercerahkan.
Pemeluk dua tradisi ini percaya bahwa walau Hindu dan Buddha adalah berbeda, keduanya menuju titik yang sama. Titik ini diisyaratkan dengan istilah ”tunggal ika” yang berarti ’Satu Itu’. Kata ”Satu Itu” merujuk pada zat yang Mahatinggi, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini diperkuat dengan frasa lanjutan dari bait tersebut, yakni Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya ”tidak ada Dharma yang mendua”.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, ”Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” menekankan kesatuan transenden dari dua agama yang berbeda. Prinsip kesatuan transenden inilah yang seharusnya kita sadari dalam memahami fenomena keragaman agama sehingga intoleransi tidak menemukan celah untuk masuk dan memengaruhi.
Tunggal Ika dalam agama-agama
Salah satu ajaran universal yang bisa ditemukan hampir di semua agama adalah bahwa bineka (keragaman) adalah dimensi duniawi tempat kita berada dan tunggal ika (kesatuan) adalah dimensi langit tempat kita menuju dan kembali. Karena dimensi ”Tunggal Ika” lebih tinggi daripada dimensi ”Bhinneka”, seharusnya bukan hanya kata ”kebinekaan” atau”pluralitas” yang ada dalam kamus keseharian kita, melainkan juga kata ”ketunggal-ikaan” atau ”kesatuan transenden”.
Sayangnya, kata tersebut jarang digunakan oleh masyarakat, bahkan mungkin belum pernah. Dalam KBBI, misalnya, kita bisa menemukan kata ”kebinekaan” dan ”bineka”, tetapi belum ada kata ”ketunggal-ikaan” dan ”tunggal ika”.
Penekanan tunggal ika ini bukan hanya termuat dalam kitab suci Hindu dan Buddha, melainkan dalam kitab-kitab suci agama lain, yang tentu dengan ekspresi yang berbeda. Dalam Islam, misalnya, ia termaktub dalam QS 03:64 (dengan istilah kalimah sawa atau ’prinsip yang sama’). Dalam tradisi Kristiani, ia termuat dalam Yohanes 14:2.
Penekanan tunggal-ika ini bukan hanya termuat dalam kitab suci Hindu dan Buddha, melainkan dalam kitab-kitab suci agama lain, yang tentu dengan ekspresi yang berbeda.
Sayangnya, dimensi ketunggal-ikaan dalam kitab-kitab suci ini kurang banyak disuarakan oleh ulama dan para tokoh agama. Akibatnya, kesadaran yang umum kita temui di masyarakat adalah ”agamaku adalah yang paling benar untuk semua orang” dan bukannya ”agamaku adalah yang paling benar untukku namun belum tentu ia cocok untuk orang lain”.
Dengan kesadaran tunggal ika, seseorang akan merangkul temannya yang berbeda agama dengan kesadaran ”walaupun agama yang aku anut berbeda dengan agama temanku, sebenarnya kami menuju titik yang sama, titik Tunggal Ika. Karena tujuan kami sama, aku harus merangkul saudaraku yang berbeda agama.”
Peran ulama dan tokoh agama
Makna tunggal ika ini selaras seutuhnya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya sila yang bersifat teologis. Sila pertama ini tentu dipahami oleh para pendiri bangsa sebagai prinsip yang menyatukan semua agama dan kepercayaan. Yang mereka pahami bukanlah bahwa masing-masing agama mempunyai Tuhan Esa-nya sendiri-sendiri, melainkan semua agama dan kepercayaan memiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan berbagai nama yang mulia.
Meskipun intoleransi tampak sebagai isu sosial, pada hakikatnya akar masalahnya berada pada ranah teologis. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk edukasi sila pertama atau kesadaran tunggal ika sesungguhnya ada di tangan para ulama dan tokoh agama. Mereka mengemban tanggung jawab besar dalam menggunakan ramuan tunggal ika, sesuai dengan bahasa agama dan kitab sucinya masing-masing, untuk memerdekakan Indonesia dari penyakit intoleransi.
Penafsiran agama memang beragam, tetapi setiap ulama sudah semestinya menyuarakan kembali, misalnya, mengapa Al Quran tidak pernah menyalahkan agama-agama sebelum Islam dan justru malah membenarkan (mushaddiq) kitab-kitab sebelumnya. Selain itu, bukankah Nabi Muhammad menyatakan bahwa ada 124.000 nabi yang telah diutus dan tidak semua nama dari jumlah tersebut dirincikan dalam Islam? Argumen-argumen mendasar dari sumber utama keagamaan yang menyingkap dimensi tunggal ika ini perlu dikaji dan disuarakan, terutama oleh dan di bawah bimbingan para ulama di sekitar kita.
Dengan digerakkan oleh para ulama dan tokoh agama, sudah saatnya kesadaran tunggal ika terpatri dalam jiwa dan raga kita, memerdekakan kita dari intoleransi dan menyatukan kita sebagai satu bangsa, satu manusia. Tunggal Ika adalah Sang Dharma yang tidak mendua. Tunggal Ika tidak lain adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sudah saatnya menyatukan kita semua dengan tetap setia pada kerangka agama yang kita anut masing-masing.