Peninggalan benda purbakala di Sumatera selama masa Hindu-Buddha menunjukkan bahwa toleransi keberagaman sudah terjadi sejak dulu kala.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jejak peninggalan purbakala dalam memperkuat toleransi dan keberagaman sudah hidup turun-temurun di Nusantara. Sikap ini perlu terus-menerus dijaga.
Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bambang Budi Utomo, dalam diskusi daring ”Budaya Hindu Buddha di Pulau Sumatera”, Rabu (28/4/2021), di Jakarta, mengatakan, sebelum masa Kerajaan Sriwijaya muncul sekitar abad ke-7 Masehi, penduduk Melayu di Sumatera telah memeluk agama Buddha dengan ajaran Hinayana. Pada masa yang sama, ajaran Buddha Mahayana juga bertumbuh pesat di Sumatera.
Setiap ajaran membentuk kelompok permukiman yang di dalamnya dibangun pusat-pusat peribadatan. Sriwijaya sendiri menetapkan Bukit Siguntang sebagai pusat upacara pada abad ke-7 hingga ke-11 Masehi.
Seiring dengan ramainya perdagangan dari sejumlah bangsa, masuk pula agama Samawi dari Timur Tengah dan Persia. Salah seorang maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman (702-728 Masehi), bahkan mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang isinya permohonan untuk dikirimkan mubalig ke Sriwijaya.
Sriwijaya tidak menghalang-halangi berkembangnya ajaran kepercayaan atau agama Hindu di wilayahnya. Ini terbukti dengan penemuan arca Awalokiteswara di Desa Bunginjungut, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Pada arca yang berasal dari abad ke-8 hingga ke-9 Masehi ini terpahat sebuah tulisan dalam aksara Jawa Kuno berbunyi ”Dang Acaryya Syuta”, yang berarti pendeta Hindu bernama Syuta.
Di situs Bumiayu, di tepi Sungai Lematang, ditemukan beberapa arca yang dibuat kelompok masyarakat Hindu, Buddha, dan Bhairawa. Berdasarkan gaya seni, diketahui bahwa peninggalan purbakala tersebut berasal dari sekitar abad ke-9 sampai ke-11 Masehi.
Bambang menyampaikan, di Sumatera terdapat kota pelabuhan Barus yang dikenal sebagai kota multikultur dengan berbagai bangsa yang tinggal di situ. Ketika awal perdagangan dengan Persia, di kota itu berkembang agama Kristen Nestorian sekitar abad ke-7 Masehi meski kemudian tidak menyebar luas.
”Saya tidak pernah menemukan ataupun membaca bukti sejarah di Sumatera mengenai perang karena ajaran agama dan kepercayaan tertentu. Prasasti Kedukan Bukit mengisahkan tentang perang karena politik. Era Adityawarman dari Kerajaan Dharmasraya pun menangkal ajaran Islam dengan budaya, bukan dengan kekerasan,” kata Bambang.
Arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Utara, Ery Soedewo, mengatakan, temuan benda-benda purbakala di Sumatera menguatkan bahwa Indonesia sejak awal sudah beragam dan terbuka terhadap keberagaman. Di bagian utara Sumatera, misalnya. Tahun 2019, peneliti menemukan potongan arca Buddha di wilayah Kantor Dinas Kebudayaan Aceh.
Di wilayah Sumatera Utara terdapat beberapa situs purbakala peninggalan agama Buddha. Sebagai contoh, di situs Buluh China, kecamatan Hamparan Perak, Deli Serdang, terdapat beberapa arca Buddha dari abad ke-7 sampai ke-9 Masehi. Sementara di situs Kota Cina, Medan, juga ditemukan arca Buddha.
Terkait dengan manik-manik kaca yang ditemukan di Sumatera, dia menjelaskan, itu sebagian besar buatan Gujarat dan Teluk Benggala. Sementara manik-manik kaca polikrom atau lebih dari satu warna berasal dari Timur Tengah.
Ery mengatakan, berdasarkan hasil kajian etnografis, manik-manik kaca tersebut mulanya diimpor. Namun, seiring waktu, masyarakat di Sumatera membuat sendiri.
Kemudian, bata berenkripsi di kompleks Muara Takus memakai aksara Batak. Artinya, sesama daerah di Nusantara pun sudah saling toleransi. Bahkan, dalam transaksi perdagangan juga dipergunakan berbagai macam mata uang.
Menurut Ery, secara genetis, bangsa Indonesia sudah tersusun heterogen. Jadi, semestinya tidak ada individu yang saling menonjolkan budayanya.