Hubungan baik Indonesia-Afghanistan dan dialog dengan Taliban yang pernah dilakukan menjadi modal untuk membantu perempuan Afghanistan mendapatkan hak sipilnya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hampir satu bulan Taliban mengambil alih Afghanistan, banyak yang masih meragukan janji pemerintah akan memenuhi hak-hak sipil perempuan.
Dunia ingin mengetahui apakah pemerintahan Taliban yang mengambil alih Afghanistan, Minggu (15/8/2021), akan memenuhi janji tidak melakukan balas dendam, tidak memberi tempat kepada terorisme, serta tetap membolehkan perempuan bekerja di luar rumah dan mengikuti pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
Sejauh ini sebagian janji tampak dipenuhi. Perempuan dokter dan tenaga kesehatan diminta kembali bekerja di tengah memburuknya layanan kesehatan. Sebelumnya, perempuan dilarang bekerja di luar rumah dengan alasan pasukan bersenjata Taliban belum dilatih menghargai perempuan. Muncul laporan perwakilan United Nation (UN) Women, organisasi untuk pemajuan perempuan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di Afghanistan, di banyak tempat perempuan dihalangi bekerja.
Meskipun tampak tanda-tanda pemerintahan Taliban menyadari peran penting perempuan dalam membangun negara, banyak hal belum pasti. Pemerintahan Taliban membolehkan perempuan melanjutkan bersekolah ke perguruan tinggi dengan syarat mengikuti aturan hukum Islam yang interpretasinya ditentukan pemerintahan yang konservatif dan tidak menyertakan perwakilan perempuan.
Kita menginginkan Afghanistan damai di bawah pemerintahan baru. Sejak merdeka dari Inggris tahun 1921, negeri itu selalu berkonflik berebut kekuasaan. Dalam konflik berkepanjangan, perempuan dan anak paling menderita. Apalagi kekeringan panjang pernah menimpa pada 1995-1999, menyebabkan 1 juta orang mengungsi ke Pakistan.
Dalam sejarah Afghanistan, perempuan pernah bebas bekerja di ruang publik dan mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun, di bawah kekuasaan Taliban pada periode 1996-2001, perempuan dan anak perempuan berusia di atas 10 tahun tak boleh keluar rumah sendiri. Taliban beralasan pembatasan aktivitas perempuan adalah mengikuti ajaran agama Islam. Namun, mayoritas ulama menyebut Islam menjamin kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki serta perempuan.
Di bawah kekuasaan Taliban pada periode 1996-2001, perempuan dan anak perempuan berusia di atas 10 tahun tak boleh keluar rumah sendiri.
Sejarah peradaban manusia memperlihatkan pentingnya peran perempuan dalam membangun bangsa. Perempuan berpendidikan cukup akan mengenal dirinya dan membawa pengetahuannya kepada anak-anak yang dilahirkannya dan disusui. Apabila ada yang mengatakan perempuan merupakan tiang negara, tiang tersebut harus kuat dan dirawat baik agar negara kuat dan masyarakat sejahtera.
Indonesia sebagai negara dengan sistem pemerintahan demokratis, jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, dan terdiri atas beragam suku dapat berperan lebih jauh. Bersama organisasi masyarakat sipil, pemerintah bisa berdialog dengan pemerintahan Taliban untuk memajukan kesetaraan perempuan. Hubungan baik Indonesia-Afghanistan dan dialog dengan Taliban yang pernah dilakukan menjadi modal membantu perempuan Afghanistan mendapatkan hak sipilnya.