Mewaspadai Covid-19 yang Menerobos Jauh ke Pedalaman
Ada kemajuan dalam penanganan kasus Covid-19, tetapi di sisi lain Covid-19 semakin merambah ke daerah pedalaman. Ada kebutuhan mendesak akan sistem kesehatan yang lebih kuat termasuk di pedalaman.
Oleh
SUDIRMAN NASIR
·5 menit baca
Saat ini kita melihat beberapa tanda kemajuan dalam mengurangi penyebaran dan kematian terkait Covid-19 di kota-kota besar di Jawa dan Bali. Namun, kita juga menyaksikan indikator-indikator yang mengkhawatirkan bahwa pandemi semakin merambah ke pedalaman Indonesia.
Beberapa minggu terakhir, media massa dan media sosial memberitakan meningkatnya jumlah orang, termasuk kalangan masyarakat adat, di daerah-daerah terpencil di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua yang sakit atau meninggal dengan gejala-gejala terkait Covid-19. Keberadaan virus korona varian Delta membuat daya penularan kuman ini dan juga fatalitas Covid-19 semakin tinggi.
Otoritas kesehatan dan pejabat pemerintah daerah di daerah-daerah tersebut mengakui bahwa wilayah mereka tidak lagi kebal atau aman dari pandemi Covid-19. Mereka cemas bahwa potensi kematian lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan karena kapasitas/fasilitas lokal yang lebih lemah.
Sistem kesehatan di daerah-daerah pedalaman tersebut lebih terbatas kemampuannya, termasuk puskesmas atau rumah sakit kabupaten dalam melakukan pengujian, penelusuran dan pengobatan bagi mereka yang memiliki gejala yang lebih parah. Mereka sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi untuk mendukung mereka mengatasi Covid-19.
Rasio hunian tempat tidur di beberapa rumah sakit kabupaten di daerah terpencil atau pulau-pulau kecil mengkhawatirkan dan dengan terbatasnya ketersediaan sumber daya penting seperti vaksin, uji PCR (reaksi rantai polimerase), obat-obatan, oksigen, ventilator, serta sumber daya manusia termasuk dokter, perawat dan tenaga kesehatan dengan keterampilan laboratorium dan kemampuan pelacakan yang memadai. Harus diingat pula bahwa laporan kasus Covid-19 saat ini dari daerah-daerah terpencil ini hanyalah puncak gunung es karena pengujian dan penelusuran yang terbatas.
Ironisnya, kenyataan suram ini dalam banyak hal mirip dengan apa yang terjadi 100-an tahun lalu ketika flu Spanyol juga merambah pedalaman Nusantara. Beberapa literatur dan surat kabar melaporkan bahwa flu Spanyol tidak hanya melanda kota-kota besar di Jawa, seperti Batavia (Jakarta), Bandung, Surabaya; atau Medan (kota terbesar di Sumatera) atau Makassar (kota terpadat di bagian timur Nusantara), tetapi juga memakan banyak korban jiwa di daerah-daerah pedalaman.
Contoh daerah Toraja di pedalaman Sulawesi Selatan. Beberapa sejarawan mencatat bahwa ratusan bahkan mungkin ribuan orang Toraja meninggal karena flu Spanyol meskipun Toraja terletak di utara, cukup jauh dari Makassar. Sampai hari ini, berkat sejarah lisan yang kuat, banyak orang Toraja masih mengingat nama lokal bencana tersebut, yaitu ra’ba biang.
Ra’ba biang adalah kata lokal Toraja untuk epidemi flu Spanyol yang menggambarkan kecepatan penularan dan dampak parahnya, terutama kematian. Ra’ba bianmeg secara tekstual menggambarkan tanaman atau rumput yang hancur karena topan atau kekuatan eksternal yang sebanding.
Pemerintah kolonial Belanda juga mencatat cukup rinci dampak flu Spanyol di daerah-daerah pedalaman. Prayitno Wibowo dan kawan-kawan dari Universitas Indonesia merekam wabah flu Spanyol dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza di Hindia Belanda (2009), termasuk ketika wabah ini melanda pedalaman seperti Toraja. Sejumlah sejawaran asing, seperti Roxana Waterson, dalam Paths and Rivers: Sa’dan and Toraja Society in Transition (2009) serta Colin Brown (sejarawan Australia) dalam The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia (1987) turut pula menyumbang catatan penting mengenai wabah besar yang menerobos hingga ke Toraja.
Sama halnya dengan orang-orang Toraja, orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan juga memiliki nama atau konsep lokal yang sebanding untuk epidemi, yaitu sai, sedangkan orang Makassar (kelompok etnis besar lainnya di wilayah ini) menyebutnya garring pua. Kedua nama lokal tersebut seperti juga ra’ba biang menggambarkan risiko besar kuman dan penyakit yang dapat merenggut banyak nyawa dalam waktu singkat.
Koordinasi pemerintah pusat
Dampak parah flu Spanyol juga terkait lambat dan tidak terkoordinasinya respons pemerintah kolonial Belanda saat itu serta lemahnya sistem kesehatan. Salah satu bapak bangsa kita yang terlupakan yaitu Dr Abdul Rivai, dokter perintis di Nusantara yang paling cemerlang, yang juga merupakan anggota Volskraad (parlemen) saat itu mengecam keras daya tanggap pemerintah kolonial yang tidak memadai. Ia adalah salah satu dokter medis pertama yang kemudian menyelesaikan PhD-nya di sebuah universitas utama di Eropa. Rivai merupakan lulusan pertama Sekolah Dokter Djawa (nama sekolah kedokteran dari tahun 1851-1902), dan ia pula salah satu yang paling awal menerima pendidikan medis lanjutan di Belanda bahkan meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universitas Ghent, Belgia.
Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi penyebaran Covid-19 dan kematian di pedalaman?
Yang paling penting adalah memfasilitasi kerja sama yang lebih efektif dan terkoordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten untuk membantu dan memberdayakan sistem kesehatan daerah, khususnya puskesmas dan rumah sakit kabupaten. Ini demi meningkatkan kapasitas melakukan pengujian, penelusuran, atau pelacakan serta program untuk memperkuat kemampuan masyarakat untuk melakukan perilaku protektif, seperti penggunaan masker, cuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Dukungan sosial dan ekonomi atau keuangan untuk memungkinkan masyarakat setempat menerapkan perilaku protektif ini harus segera diberikan.
Selain itu, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten harus berkolaborasi memberdayakan rumah sakit kabupaten dengan alat, fasilitas, dan sumber daya penting untuk membantu pasien dengan gejala berat. Ketersediaan sumber daya manusia mumpuni seperti dokter dan perawat, alat-alat/logistik penting, seperti vaksin, obat-obatan, oksigen, ventilator, fasilitas laboratorium dengan sumber daya manusia terlatih untuk menjalankan peralatan tersebut sangat diperlukan.
Peran puskesmas dan rumah sakit kabupaten sangat penting dalam mengatasi Covid-19, termasuk dan khususnya dalam konteks pedalaman. Karena itu, mereka layak mendapatkan dukungan yang memadai dan konsisten dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten.
Semoga pemerintah kita mendapat pelajaran terpenting dari Covid-19, yaitu kebutuhan mendesak akan sistem kesehatan yang lebih kuat, termasuk di pedalaman Indonesia. Dukungan dari sektor swasta dan masyarakat sipil juga sangat berharga mengingat keterbatasan sumber daya pemerintah.
Kita semestinya mendengar peringatan banyak ilmuwan bahwa ada kemungkinan cukup besar Covid-19 bukanlah pandemi terakhir dalam rentang hidup kita dan oleh karena itu kita harus lebih siap. Kita telah melihat bahwa negara-negara yang lebih efektif menangani pandemi Covid-19 adalah negara-negara yang memiliki sistem kesehatan, ekosistem sains, dan kepemimpinan yang lebih kuat.
Sudirman Nasir, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; Senior Fellow di Partnership for Australia-Indonesia Research