Hari Radio Nasional dan Tantangan Bintang Radio
Dengan Bintang Radio, RRI bukan sekadar menyuguhkan hiburan, melainkan juga mengedukasi masyarakat dengan lagu dan penyanyi terpilih. Bintang Radio kini meredup yang gejalanya sudah dirasakan sejak lebih 25 tahun lalu.
Radio Republik Indonesia memberi sumbangan besar pada perkembangan musik di negeri ini. Salah satunya lewat ajang Bintang Radio yang digelar sejak 1951.
Dari acara lomba nyanyi ini muncul penyanyi-penyanyi legendaris Indonesia, seperti Sam Saimun, Bing Slamet, Pranajaya, sampai Titiek Puspa. Masa-masa Bintang Radio juga melahirkan bintang-bintang seperti Hetty Koes Endang, Eddy Silitonga, Harvey Malaiholo, Rafika Duri, Rita Effendy, dan Titi DJ.
Radio Republik Indonesia (RRI) adalah primadona. Dan Bintang Radio adalah bentuk nyata dari keprimadonaan RRI. Penyanyi pemenang kompetisi seni suara itu menjadi jaminan kemumpunian seorang penyanyi.
Aspek-aspek teknik olah vokal, kemerduan suara, dan segala tetek bengek terkait seni suara para pemenang dipastikan menenuhi standar kualitas.
Radio Republik Indonesia adalah primadona. Dan Bintang Radio adalah bentuk nyata dari keprimadonaan RRI.
Begitu pula lagu yang mereka bawakan, bisa dikatakan sebagai lagu bergizi yang layak dinikmati publik. Setidaknya menurut standar RRI, dan para seniman yang menilai penampilan para penyanyi.
Di belakang acara Bintang Radio ini bercokol seniman musik berkelas empu. Tersebutlah, antara lain, Binsar Sitompul, Iskandar, Amir Pasaribu, L Manik, Muchtar Embut, dan Akhirudin.
Kita mengenal mereka sebagai komponis, musisi, dan pemimpin orkes. Mereka adalah tokoh-tokoh penting musik negeri ini yang mengawal Bintang Radio pada masa mulai digelar.
Untuk lagu, dipilih komposisi yang memang teruji karya komponis mumpuni. Untuk lagu keroncong, ada nama Kelly Puspito, Sutedjo, dan Ucin. Kemudian untuk jenis lagu hiburan, ada komponis Iskandar, Muchtar Embut, dan Ibu Sud. Untuk jenis seriosa, terdapat nama RA Sudjasmin, Simanungkalit, Amir Pasaribu, Binsar Sitompul, dan FX Sutopo.
Begitulah, Bintang Radio bukan sekadar arena untuk mencari penyanyi unggul, melainkan juga lagu-lagu bermutu. Masyarakat pendengar mendapat suguhan karya berbobot dari penyanyi pilihan.
Dengan Bintang Radio, RRI bukan sekadar menyuguhkan hiburan, melainkan juga mengedukasi masyarakat dengan lagu dan penyanyi terpilih.
Baca juga : Hari Radio Nasional, Masa Depan Industri Penyiaran Radio
Pada rentang era 1950-1960-an, Bintang Radio menghadirkan penyanyi yang di kemudian hari menjadi standar penyanyi ideal. Tersebutlah, antara lain, untuk jenis hiburan, ada Sam Saimun, Bing Slamet, Ratna, Ade Ticoalu, Ivo Nilakrisna, Lies Sidik, Rudy Sunarto, dan Titiek Puspa.
Untuk jenis seriosa, muncul Silvia Then yang lebih dikenal sebagai Rose Pandanwangi, Pranawengrum, dan Pranajaya. Untuk jenis keroncong, ada Ping Astono, Ismanto, Waljinah, dan lainnya.
Begitu lulus sebagai juara Bintang Radio, suara mereka direkam oleh Lokananta, perusahaan rekaman milik pemerintah yang berlokasi di Solo. Suara-suara Bintang Radio itu pun akan tersiar lewat corong RRI yang ada di seluruh negeri.
Persebaran asal peserta cukup merata, yaitu dari Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Medan, Madura, Makassar, dan kota lain. Pada penyelenggaraan Bintang Radio tahun 1965, misalnya, muncul Erlangga Sahir dari Medan, Zainal Abidin asal Sumenep, Madura, dan Deddy Damhudi dari Bandung.
Bintang radio memang berjasa menggali bakat-bakat dari sejumlah daerah untuk tampil bernyanyi di tingkat nasional. Deddy Damhudy kemudian populer sebagai penyanyi hingga era 1970-an, di antarnya dengan lagu ”Gubahanku” ciptaan Gatot Sunyoto.
Bintang-bintang pendahulu mereka juga terbukti menjadi tokoh penting di jagat seni suara, seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, Ismanto, Ping Astono, Waljinah, Pranawengrum, dan Pranajaya.
Radio perjuangan
RRI lahir pada 11 September 1945, hanya berselisih 25 hari dari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Itu mengapa RRI sering disebut sebagai anak kandung revolusi, dengan semangat perjuangan yang sama. Jika para pejuang berteriak ”Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”, tidak kalah patriotiknya, para angkasawan RRI berseru ”Sekali di Udara, Tetap di Udara!”
Masih dengan semangat perjuangan, enam tahun setelah berdirinya, RRI menggelar pemilihan Bintang Radio, sebuah kompetisi untuk mencari penyanyi mumpuni. Bintang Radio digagas oleh Direktur Jenderal RRI pada masa itu, yaitu R Maladi, seorang pejuang, seniman musik, dan tokoh olahraga.
Baca juga : Lambaian Bunga untuk Koes Hendratmo
Dari Maladi lahir lagu-lagu terkenal dan abadi, antara lain ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama”, ”Solo di Waktu Malam”, dan lagu heroisme pejuang muda ”Di Sela-sela Rumput Hijau”.
Pada awalnya, Bintang Radio berfokus pada lagu-lagu keroncong. Akan tetapi, sejak 1955 mulai dibuka untuk jenis lagu seriosa dan hiburan. Istilah lagu jenis hiburan digunakan untuk menyebut lagu populer atau lagu pop. Pada masa itu istilah lagu pop belum lazim digunakan.
Bintang Radio cukup dinamis merespons perkembangan di sekitarnya. Pada 1974, ketika siaran TVRI semakin luas jangkauannya, Bintang Radio diselenggarakan bekerja sama dengan TVRI. Nama acara pun berubah menjadi Bintang Radio dan Televisi (BRTV).
Baca juga : Bintang Radio, Olah Suara dan Popularitas
Perlu dicatat, TVRI mulai mengudara pada tahun 1962 seturut penyelenggaraan Asian Games di Jakarta. Pada masa itu, siaran TVRI masih terbatas jangkauannya. Pada pertengahan 1960-an, siaran TVRI semakin meluas. Pertandingan bulu tangkis, seperti Thomas Cup, sudah disiarkan ke seluruh negeri. Akan tetapi, pemilik pesawat televisi masih terbatas pada kalangan atas.
Pada awal 1970-an, TVRI semakin luas menjangkau publik. TVRI pun merespons perkembangan musik di negeri ini dengan memberi ruang untuk acara hiburan musik. Yang populer pada awal 1970-an, di antaranya, ”Kamera Ria” yang memunculkan band dan penyanyi terkenal.
Belakangan, muncul pula ”Aneka Ria Safari”. Kemudian untuk band atau penyanyi yang belum terlalu populer atau penyanyi baru, disediakan ruang dalam siaran ”Hiburan Lepas Senja” dan lainnya. Maka, masyarakat semakin mendapat pilihan hiburan dari berbagai lini.
Baca juga : ”Tul Jaenak”, ”Kolam Susu”, dan Yok Koeswoyo
Muncul pula fenomena radio swasta pada paruh kedua 1960-an. Radio siaran swasta mulai bermunculan di sejumlah kota. Pada masa itu, mereka disebut sebagai radio amatir. Kemudian dalam perkembangannya disebut radio swasta niaga, terutama setelah radio tersebut menyiarkan iklan produk komersial.
Keberadaan radio swasta ini di satu sisi bisa disebut sebagai mitra RRI. Akan tetapi, pada aspek lain bisa juga dikatakan sebagai ”pesaing” RRI. Setidaknya, dengan adanya radio swasta, masyarakat mempunyai alternatif sumber hiburan di luar RRI.
Sebelum paruh kedua 1960-an, RRI praktis menjadi satu-satunya radio yang menjadi rujukan dengaran, baik untuk hiburan maupun sumber informasi bagi masyarakat luas. Memang, ada pula siaran radio dari luar negeri yang mempunyai program siaran Indonesia, seperti Radio Australia dan radio Nederland.
Meriahnya industri musik
Muncul perkembangan lain dalam industri musik di negeri ini pada awal 1970-an. Ketika itu bermunculan band-band dan penyanyi-penyanyi muda.
Udara di Tanah Air semakin riuh dengan lagu-lagu berbagai genre dan rasa. Tersebutlah band seperti Koes Plus, Panbers, The Mercy’s, The Rollies, D’Lloyd, Trio Bimbo, Favorites Group, dan Orkes Soneta.
Seiring maraknya band-band dan penyanyi baru, perusahaan rekaman pun ramai memproduksi piringan hitam, termasuk kaset yang cukup terjangkau oleh daya beli masyarakat. Lagi-lagi masyarakat mempunyai pilihan hiburan selain RRI dan Radio swasta. Mereka bebas memilih lagu sesuai selera.
Baca juga : Merdeka Bernyanyi, Indah Bersimfoni
Dinamika belantika musik dan semakin luasnya akses sumber hiburan masyarakat terefleksikan dalam Bintang Radio. Kita tengok para finalis BRTV rentang masa 1975-1986.
Tersebutlah nama Andi Meriem Mattalatta, Hetty Koes Endang, Zwesty Wirabuana, Rafika Duri, Eddy Silitonga, Mungki Pusponegoro, Harvey Malaiholo, Sandro Tobing, Trio Libels, Lex’s Trio, Tetty Manurung, dan Sundari Sukoco.
Dari bangku juri muncul tokoh-tokoh dari industri rekaman, seperti Ariyanto, Ahmad Albar, Widyawati, Broery Pesulima, dan Guruh Soekarnoputra. Pada era 1980-an hingga 1990-an muncul nama peserta seperti Titi Dwijayati alias Titi DJ, Ruth Sahanaya, dan Trio Libels.
Akhir era 1980-an muncul pula Christopher Abimanyu dan Ratna Kusumaningrum alias Aning Katamsi untuk jenis seriosa. Pada masa tersebut, Bintang Radio dan Televisi semakin sejajar dengan belantika musik pop. Perkembangan dunia hiburan audio visual tersebut banyak berpengaruh pada posisi RRI.
Dinamika belantika musik dan semakin luasnya akses sumber hiburan masyarakat terefleksikan dalam Bintang Radio.
Pada masa itu, RRI tidak lagi menjadi sumber tunggal untuk hiburan masyarakat. Standar karya lagu, suara penyanyi, dan penggarapan musik yang begitu terjaga oleh RRI juga tidak menjadi satu-satunya referensi atau rujukan masyarakat.
Orang bisa menikmati lagu apa saja sesuka selera. Jika pendengar tidak menyukai suguhan musik suatu pemancar radio, mereka dengan mudah mengalihkan gelombang ke radio lain.
Pada gilirannya, perkembangan yang terjadi tersebut berimbas pada Bintang Radio. Bintang-bintang dari industri musik lebih ”cemerlang” di pentas musik dibandingkan dengan Bintang Radio dan Televisi.
Berpacu
Bintang-bintang pun lahir dari beragam kontes nyanyi di televisi. Perkembangan industri musik kian hari juga kian cepat berlari. Kini, orang bisa menikmati musik dari berbagai kanal, termasuk lewat platform digital. Selera menjadi sangat personal sekaligus mengglobal.
Orang tak lagi tergantung pada lembaga mana pun untuk memilih musik yang mereka mau. Begitu pula penyanyi, bisa muncul dari mana saja, lewat cara apa saja.
Dari rumah, orang bisa mengunggah suara dan keesokan harinya nyanyian mereka sudah menyebar ke mana-mana. Sosoknya bahkan dikenal sampai ke berbagai negara.
Baca juga : Sejarah Radio Penyambung Lidah Rakyat
Bintang Radio, kini berada di tengah bintang-bintang yang datang dan pergi di mana-mana. Gejala meredupnya Bintang Radio sudah dirasakan sejak lebih dari 25 tahun lalu.
Tjang Abbas, seorang angkasawan RRI, dalam buku RRI 55 Tahun (2000) menulis, BRTV telah kehilangan resonansinya. Ia mengibaratkan Bintang Radio ”Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar”.
Pada 11 September, RRI genap berusia 76 tahun. RRI mempunyai sejarah panjang yang berakar pada perjuangan. Bahkan di sekitar masa kemerdekaan, RRI pernah ikut bergerilya demi tetap mengudara.
Itu mengapa angkasawan RRI bersemboyan ”sekali di udara tetap di udara”. Dan pada setiap pembukaan siaran selalu dipekikkan ”Tetap Merdeka”. Kiranya pekik dan semboyan para angkasawan RRI itu akan terus menjadi semangat etos kerja RRI, dan semoga radio tetap menjadi bintang....