Mewaspadai Kerikil Pemulihan Ekonomi
Selain pandemi, perekonomian Indonesia pada tahun 2022 juga harus berhadapan dengan risiko eksernal, yaitu kebijakan pengurangan dosis pembeliaan obligasi atau tapering off oleh Bank Sentral AS.
Dalam RAPBN 2022, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 berada di level 5 persen-5,5 persen (year on year). Ini merupakan level pertumbuhan ekonomi yang dicapai sebelum pandemi terjadi.
Dengan kata lain, pemerintah melihat bahwa tahun 2022, perekonomian Indonesia sudah berada di jalur yang normal dan pulih. Namun, benarkah situasi sudah normal dan pulih tahun 2022?
Harus diakui bahwa pandemi ibarat sebuah martil raksasa yang menghantam keras bangunan ekonomi Indonesia. Sepanjang tahun 2020, perekonomian terkontraksi sebesar 2,07 persen (y-o-y). Ini merupakan capaian pertumbuhan ekonomi terburuk setelah krisis moneter dan perbankan tahun 1997.
Kontraksi pertumbuhan ekonomi ini telah membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan. Kemiskinan meningkat. Daya beli merosot. Aliran investasi mengerut. Aktivitas dunia usaha limbung. Ongkos pemulihan begitu besar. Kohesi sosial masyarakat terganggu. Indonesia pun turun tahta menjadi negara berpendapatan menengah bawah (low middle income country).
Baca Juga: Gejolak Ekonomi di Tikungan Kedua Pandemi
Meski pandemi telah berlangsung lebih dari 18 bulan, putaran roda ekonomi masih saja menderit. Berbagai sektor belum bisa berjalan secara normal. Hanya sektor-sektor yang berani bertranformasi ke platform digital yang bisa bertahan. Bahkan, tak sedikit yang justru menikmati berkah yang besar dari tranformasi itu.
Segala upaya telah dilakukan pemerintah dan otoritas di sektor keuangan. Stimulus fiskal, moneter, dan keuangan disuntikan dalam skala yang sangat masif. Dalam dua tahun terakhir, pemerintah sudah mengeluarkan stimulus lebih dari Rp 1.200 triliun melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Bank Indonesia telah memangkas suku bunga hingga ke level terendah dalam sejarah. Kebijakan makroprudensial turut dilonggarkan.
Bahkan, Bank Indonesia ikut membiayai pemulihan ekonomi melalui skema berbagi beban (burden sharing) dengan membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut merelaksasi berbagai kebijakan di sektor keuangan. Salah satunya restrukturisasi kredit.
Serangan varian delta
Seluruh kombinasi kebijakan tersebut memang mampu membuat kaki-kaki perekonomian mulai bisa kembali mendaki. Hal ini tecermin dari jalur (path) perekonomian yang mulai menajak sejak kuartal II-2020. Harapan bahwa perekonomian akan puliih pada 2021 sangat membuncah.
Namun, apa daya, serangan varian delta memupuskan harapan itu. Serangan varian delta membuat kasus positif meledak dengan skala yang lebih besar sepanjang Juni-Juli 2021. Pengetatan mobilitas pun harus kembali dilakukan melalui kebijakan PPKM darurat/level 4.
Dan, seperti sebelumnya, setiap terjadi pengetatan mobilitas, denyut pertumbuhan pun akan kembali melambat. Pemerintah pun kembali harus memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 menjadi direntang 3,7-4,5 persen (yoy) dari sebelumnya direntang 4,5-5,5 persen (yoy). Bukan itu saja, pemerintah pun harus menambah ongkos senilai Rp 45 triliun ke dalam anggaran PEN 2021 yang sebelumnya bernilai Rp 669,43 triliun.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Menjelang Berakhirnya Pandemi Covid-19
Oleh sebab itulah pertumbuhan ekonomi dan pemulihannya harus tetap didudukkan dalam nuansa pandemi yang belum tentu akan beres pada 2022. Sejumlah kajian pun telah mengonfirmasi bahwa pandemi ini berpeluang bersalin rupa menjadi endemik. Berlangsung dalam durasi yang cukup panjang.
Apakah karena vaksinasi yang sedang berjalan saat ini menjadi alasan utama yang membuat pertumbuhan ekonomi ditargetkan seperti level sebelum pandemi?
Hal ini pun belum bisa dijadikan panduan. Amerika Serikat (AS) yang cakupan vaksinasinya saat ini sudah lebih dari 50 persen dari populasi dan ditambah dengan stimulus fiskal yang sangat besar, kinerja perekonomiannya pun berpotensi kembali tertekan akibat serangan varian delta.
Bandingkan dengan Indonesia yang cakupan vaksinasinya baru sekitar 12 persen dari populasi dengan stimulus fiskal yang cukup terbatas.
Oleh sebab itu, pengendalian pandemi harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Vaksinasi harus terus digenjot dan dipercepat. Kebijakan 3T dan 5M harus dijalankan dengan disiplin, konsisten, dan berkesinambungan. Soliditas semua kalangan amat dibutuhkan.
Risiko ”tapering off”
Selain pandemi, perekonomian Indonesia pada 2022 juga harus berhadapan dengan risiko eksternal yang juga tidak bisa dianggap enteng, yaitu kebijakan pengurangan dosis pembeliaan obligasi (tapering off) oleh Bank Sentral AS.
Dalam simposium Jakcson Hole pada 26-28 Agustus 2021, Gubernur The Fed Jerome Powell telah menyatakan bahwa tapering off akan dimulai pada akhir 2021.
Harus diakui bahwa perekonomian Indonesia pernah mengalami guncangan ketika The Fed pada 2013 melakukan kebijakan yang sama. Kala itu, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang sangat hebat dan diikuti dengan volatilitas yang tinggi. Terjadi pembalikan arus modal keluar yang sangat besar dari pasar keuangan Indonesia.
Pemerintah dan otoritas di sektor keuangan harus berjibaku meramu berbagai kebijakan untuk memitigasi dampak yang lebih buruk terhadap perekonomian dari kebijakan tapering off ini. Memang, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo telah menyatakan bahwa dampak tapering off kali ini tidak akan sehebat tahun 2013 (Kompas.com, 28/8/2021).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo telah menyatakan bahwa dampak tapering off kali ini tidak akan sehebat tahun 2013.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kinerja indikator makro ekonomi Indonesia saat ini yang jauh lebih sehat dibandingkan dengan tahun 2013. Salah satunya defisit neraca transaksi berjalan (current account defisit/CAD). Tahun ini CAD diperkirakan hanya di level 1,2-2 persen.
Bandingkan dengan 2013 yang berada di level 3 persen. Selain itu, porsi kepemilikan investor asing di pasar saham dan pasar Surat Berharga Negara (SBN) saat ini juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan porsi kepemilikan pada 2013.
Baca Juga: Ancaman dari Negeri ”Paman Sam”
Meski begitu, kebijakan tapering off harus tetap diwaspadai. Mitigasi risiko harus disiapkan dengan baik. Sebab, segala sesuatu bisa terjadi di pasar keuangan. Risiko bisa berubah dengan cepat, khususnya terkait dengan psikologi pelaku pasar.
Intinya, pandemi dan tapering off ini sangat berpotensi menjadi kerikil yang menghambat roda pemulihan dan pertumbuhan ekonomi jika tidak ditangani dengan baik. Namun, kita semua berharap, kerikil itu bisa dilewati dengan baik. Pemulihan terus berlangsung untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Semoga.
(Desmon Silitonga, Riset Analis PT Capital Asset Management dan Alumnus Pascasarjana FE UI)