Soekarno dan Afghanistan
Ketika Bung Karno berkunjung ke Afghanistan pada 1961, Afghanistan adalah negara yang damai dan penduduknya ramah. Kunjungan ini mengawali kerja sama bilateral RI-Afghanistan dan peran RI di negara-negara Islam.
Seperti diberitakan media massa, kelompok Taliban untuk kedua kalinya kembali berhasil menguasai Afghanistan dengan menduduki Istana Kepresidenan Delkussa, Kabul, pada 15 Agustus 2021. Setelah Kandahar dan Jalalabad jatuh, dan kemudian ibu kota Kabul, genaplah sudah kelompok Taliban mengendalikan negeri yang disebut-sebut kaya dengan sumber daya alam tambang dan situs sejarah kerajaan Islam. Kini, kelompok Taliban tengah membentuk pemerintahan baru di Afghanistan, yang diberi nama sama dengan saat mereka berkuasa pada 26 September 1996, yaitu Emirat Islam Afghanistan.
Jatuhnya Kabul ke tangan kelompok Taliban mengingatkan cerita Bung Karno waktu berkunjung ke Afghanistan pada 18 Mei 1961. Juga penuturan mantan Komandan Desatemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo, sepulang menyertai kunjungan Presiden Soekarno.
Waktu itu, Afghanistan diceritakan dan digambarkan sebagai sebuah negeri yang damai, aman, dan nyaman. Kota-kotanya tertata rapi. Udaranya sejuk, taman kota dan istananya indah, bersih, dan terawat baik. Banyak peninggalan dan situs sejarah kerajaan Islam yang berdiri megah di berbagai wilayahnya. Penduduknya juga ramah, penuh senyum dan tawa serta riang gembira.
Penduduk Kabul waktu itu, para laki-laki mengenakan jas, kemeja, dan topi khas Afghanistan dengan wajah ramah dan penuh senyum. Kaum perempuan juga sama, penuh senyum dan keramahtamahan. Selain ikut beraktivtas dan bekerja di segala bidang, mereka mengenakan kerudung dan bukan hijab. Para pemimpinnya saat itu, mulai dari raja, perdana menteri, hingga menteri dan pejabat militer lainnya tampak kompak dan bersatu. Tujuannya sama, yaitu mengejar kesejahteraan warga Afghanistan dan kemasyhuran Islam.
Penduduk Kabul waktu itu, para laki-laki mengenakan jas, kemeja, dan topi khas Afghanistan dengan wajah ramah dan penuh senyum.
Afghanistan yang indah dan ramah
Lalu untuk apa Bung Karno ke Afghanistan? Jawabannya, untuk mengajak bangsa-bangsa di Asia dan Afrika membangun negara-negara dengan kekuatan baru (the new emerging forces) untuk menghadapi negara-negara kekuatan lama (the old established forces), seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Perancis, dan Belanda.
Presiden Soekarno memang aktif menggalang kekuatan baru yang bisa menandingi negara-negara adikuasa tersebut sehingga dapat membebaskan diri dari imperialisme dan kolonialisme. Tanpa kekuatan bersama, the new emerging force tersebut, menurut Bung Karno, tak mungkin negara-negara kecil di Asia Tengah mampu melawan negara-negara besar yang menguasai dunia dengan politik hegemoninya. Tujuan lainnya adalah mempererat hubungan kedua negara dan ukhuwah islamiah antarnegara yang masyoritas penduduknya beragama Islam.
Baca juga: Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan
Sebelum mendarat di Bandara Kabul, ibu kota Afghanistan, upacara penyambutan besar-besaran disiapkan oleh Raja Afghanistan saat itu, Mohammed Zahir Shah. Setelah turun dari tangga pesawat Kepresidenan RI, yang dicarter dari Pan Am, Bung Karno disambut dan disalami oleh Raja Zahir yang memimpin Afghanistan sejak 1933. Selain dikenalkan dengan permaisurinya, Humaira Begum Shah, yang tak menggunakan kerudung, Bung Karno juga dipertemukan dengan Perdana Menteri Afghanistan Mohammed Daoud Khan dan para menteri kabinetnya.
Sebelum bersama Raja Zahir memeriksa pasukan kehormatan kerajaan yang berbaris tak jauh dari kaki pesawat kepresidenan, Bung Karno dikalungi untaian bunga oleh bocah-bocah lucu Afghanistan yang penuh keceriaan. Senyum mengembang, kehormatan dan kebanggaan Presiden Soekarno tampak terlihat dari video yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi Afghanistan, tak lama setelah kunjungan Presiden Soekarno.
Dari bandara internasional ke Istana Kepresidenan di Delkussa, kota Kabul, Bung Karno yang mengenakan setelan jas, kacamata hitam, peci, dan mengapit tongkat komando diarak dalam mobil yang didahului oleh sepasukan prajurit kerajaan berikut voorijders-nya. Sambutan dari pemerintah dan rakyat Afghanistan terlihat sangat luar biasa dan penuh gegap gempita. Warga kota Kabul tampak antusias menyambut dan mengelu-elukan Bung Karno di pinggir jalan. Saat itu, Presiden Soekarno antara lain didampingi Menteri Luar Negeri Subandrio.
Kaum perempuan dan anak-anak yang menyambut Bung Karno, di video itu, terlihat ditempatkan paling depan di barisan penyambut yang berjubelan. Baru di belakangnya kaum laki-laki. Mereka melambai-lambaikan bendera kecil Merah Putih. Polisi Kabul tampak kewalahan meminta dan mendorong warga agar mundur ke belakang agar tak tertabrak mobil rangkaian Raja Zahir dan rombongan Presiden RI. Sayangnya, karena menghadapi ujian akhir SMA, saya tidak ikut saat ditawarkan Bung Karno mengikuti kunjungan kerja ke negara-negara Asia Tengah.
Bung Karno dan rombongan kemudian menginap di Hotel Chilstron yang saat itu merupakan hotel kelas wahid di kota Kabul. Selama kunjungannya pada 18-20 Mei 1961, Bung Karno juga berkunjung ke makam Raja Afghanistan dan menyaksikan pertunjukan Angkatan Udara Afghanistan di Pangkalan Udara Bagram. Kunjungan tersebut juga menjadi istmewa karena Presiden Soekarno dan Menlu Subandrio menerima anugerah tanda jasa dari Pemerintah Afghanistan. Hasil pertemuan bilateral kedua negara di antaranya membahas situasi dunia dan hubungan kedua negara.
Usai kunjungannya di kota Bagram, selatan Kabul, agenda Bung Karno adalah berpidato di hadapan ribuan warga Afghanistan. Mereka datang berbondong-bondong dari berbagai tempat di kota Kabul. Pidatonya disampaikan Bung Karno dari atas podium di halaman Istana Kepresidenan di luar Kabul.
Popularitas di Asia dan Afrika
Beralasan jika Bung Karno disambut meriah dan terhormat oleh rakyat dan pemimpin Afghanistan dan beberapa negara lainnya yang dikunjunginya sebelum dan setelah Afghanistan. Pertama, karena Bung Karno dianggap pelopor gerakan anti-kolonialisme dan imperialisme di dunia terutama di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kepemimpinan dan kerja keras Bung Karno bisa menyatukan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam KTT Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang juga dihadiri perwakilan Pemerintah Afghanistan.
Nama Bung Karno juga dikenal di kawasan Asia dan Afrika sebagai penyambung lidah rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaannya bersama-sama tokoh nasional lainnya hingga masuk penjara dan dibuang berkali-kali ke sejumlah daerah.
Rakyat Afghanistan juga mengetahui Bung Karno sangat mengagumi dan terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran pemimpin Islam kelahiran As’adabad.
Selain itu, rakyat Afghanistan juga mengetahui Bung Karno sangat mengagumi dan terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran pemimpin Islam kelahiran As’adabad, sebuah daerah di dekat wilayah Kabul, Afghanistan. Salah satunya Jamaluddin al-Afghani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husaini atau lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afghani yang bermukim di Kairo, Mesir (Noorthaibah, Pemikiran Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani; Studi Pemikiran Kalam tentang Takdir, 2015).
Jamaluddin al-Afghani dikenal sebagai pemimpin yang berwibawa dan hebat. Di dadanya selalu berkobar-kobar api Islam dan revolusioner untuk memperjuangkan umat dan negaranya dari kolonialisme Inggris. Pada 1864, Jamaluddin al-Afghani menjadi penasihat Raja Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat oleh Raja Muhammad Azam Khan menjadi Perdana Menteri Afghanistan. Saat pergolakan melawan Inggris, Jamaluddin al-Afghani memilih melawan pendudukan Inggris.
Karena terdesak, Jamaluddin al-Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat kelahirannya dan pergi ke India pada 1869 (Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, 2018). Dari India ia pindah ke Kairo. Namun, ia kembali diusir lagi oleh Inggris, yang menguasai Mesir. Jamaluddin al-Afghani akhirnya hidup mengembara. Itulah sebagian catatan dan kekaguman Bung Karno terhadap Jamaluddin al-Afghani dalam pidatonya saat menerima doctor honoris causa dari IAIN, Ciputat, dalam bidang Ilmu Ushuluddin bidang Dakwah.
Baca juga: Ratapan untuk Afghanistan
Refleksi sejarah
Tentu, saat Bung Karno berkunjung di Afghanistan, tokoh-tokoh kelompok Taliban dan para pemimpin pemerintahan di Afghanistan, yang kini terusir itu, masih sangat remaja bahkan mungkin belum lahir. Namun, bagi sebagian warga Afghanistan, nama Bung Karno dan Indonesia pada 40 tahun silam itu telah terukir dalam sejarah Afghanistan. Solidaritas Bung Karno terhadap perjuangan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, termasuk Afghanistan, telah memberikan catatan tersendiri bagi warga dan Pemerintah Afghanistan.
Tak heran jika tawaran Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo kepada bangsa Afghanistan untuk menjajaki perdamaian di Afghanistan disambut tangan terbuka. Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang kemudian ditugasi Presiden Jokowi, juga ikut andil dalam proses mewujudkan perdamaiaan tersebut. Setelah Presiden Jokowi, Wapres JK juga berkunjung ke Afghanistan selang satu bulan pada 2018. Niat mulia Jokowi-JK tentu sesuai amanat Konstitusi 1945 bahwa Indonesia ikut aktif dan terlibat dalam perdamaian dunia dan ikut menjaga perdamaian di berbagai belahan dunia.
Bung Karno memang tak tinggal diam jika melihat negeri-negeri Muslim, seperti Afghanistan, Pakistan, dan Aljazair, berada di bawah kekuasaan kolonialisme. Wajar jika kemudian Bung Karno berada di depan membela dan mendukung martabat bangsa-bangsa tersebut dalam berbagai kiprah dan pidatonya di Indonesia dan di luar negeri. Bung Karno tanpa sembunyi-sembunyi berada di garda depan membantu perjuangan rakyat negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang ditindas.
Misalnya, kepada pejuang-pejuang kemerdekaan Aljazair yang melawan kolonialisme Perancis dan kemudian bergabung dalam Front Nasional Pembebasan Aljazair (FNPA), Bung Karno secara terbuka membantu mereka. Bung Karno mengirim senjata-senjata sebagai bantuan kepada FNPA. Senjata-senjata itu dikirim menggunakan dua kapal selam. Sejarah memang mencatat, pejuang-pejuang FNPA yang mula-mula bermarkas di kawasan Kasbah di Maroko akhirnya berhasil membebaskan seluruh Aljazair dari koloni Perancis.
Bantuan kepada Pakistan diberikan juga oleh Bung Karno ketika Pakistan berperang melawan India terkait klaim wilayah Kashmir. Bung Karno mengirim kapal-kapal perang dan kapal selam, yang digunakan untuk mencegah invasi India yang dibantu oleh Inggris ke Pakistan. Upaya mencegah invasi India ke Pakistan berhasil atas bantuan kapal-kapal perang dan kapal selam Pemerintah Indonesia.
Bung Karno memang tak tinggal diam jika melihat negeri-negri Muslim, seperti Afghanistan, Pakistan, dan Aljazair, berada di bawah kekuasaan kolonialisme.
Namun, di sisi lain, Pemerintah Indonesia atas instruksi Bung Karno sebelumnya juga mengirim bantuan beras ke India saat negeri tersebut dilanda kelaparan akibat bencana. Relasi Bung Karno dengan pemimpin India saat itu dinilai cukup baik. Itulah sikap politik dan solidaritas Bung Karno terhadap negara-negara berpenduduk Islam yang terus dijajah tanpa mengorbankan persahabatannya dengan negara lainnya.
Sayangnya, Bung Karno tak bisa berbuat apa-apa saat Raja Zahir yang tengah berobat di Italia dikudeta oleh mantan perdana menterinya, Mohammad Daoud Khan, pada 1973 karena Bung Karno telah tiada sejak 21 Juni 1970. Pascakudeta oleh Daoud Khan, Pemerintahan Afghanistan sebagaimana diketahui jatuh bangun dan berganti-ganti rezim. Perebutan kekuasan, baik dari bangsa Afghanistan sendiri maupun asing, menjadi sejarah kelam Afghanistan.
Setelah Daoud Khan mengudeta Raja Zahir, Daoud Khan pun dikudeta kembali, bahkan seluruh keluarganya dibunuh saat Partai Rakyat Demokratik yang didukung Rusia pada 1978 berkuasa. Selanjutnya pada 1992, terjungkal kembali oleh kelompok Mujahiddin yang didukung Amerika Serikat. Namun, pada 1996, kelompok Taliban berhasil merebut kembali Afghanistan dan berkuasa.
Pasca-serangan teroris 9 September 2001, dengan dukungan AS, pemerintahan yang dipimpin kelompok Taliban terguling. Kaum intelektual Afghanistan yang dipimpin Hamid Karzai kemudian diangkat menjadi Presiden Afghanistan pada 2004 dan Asraf Ghani menggantikannya pada 2014.
Baca juga: Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia
Kini, setelah kelompok Taliban benar-benar menguasai Afghanistan, banyak pertanyaan yang dapat diajukan. Para pengamat politik, sosial, dan kalangan pemerintahan di Indonesia dan dunia khawatir akan masa depan Afghanistan. Selain dikhawatirkan bakal terjadi konflik berdarah lagi, juga pengaruhnya di Indonesia, terutama dengan bangkitnya kembali kelompok Islam garis keras, seperti ISIS dan Jamaah Islamiyah, yang beberapa tahun yang lalu marak di Indonesia.
Mengapa muncul kekhawatiran? Pasalnya, sejauh yang diamati, kelompok Taliban adalah kelompok yang menganut Islam garis keras bahkan bertindak kejam terhadap musuhnya meskipun mereka satu bangsa Afghanistan tetapi berbeda suku. Terbukti dengan eksodus ratusan ribu rakyat Afghanistan yang ingin keluar dari negerinya untuk menyelamatkan diri. Mereka kebanyakan kaum wanita dan anak-anak.
Pemerintahan yang akan terbentuk versi kelompok Taliban dikhawatirkan fundamentalis/berideologi Islam ekstrem yang kaku dan keras, terutama terhadap kalangan kaum perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Hukum syariah yang keras dan tidak ada ampun bagi kelompok perempuan dikhawatirkan akan diterapkan meskipun mereka berjanji akan meghormati hak asasi manusia. Demikian pula sepak terjang bala tentaranya yang bersifat anarko sindikalisme serta insureksi atau pemberontakan yang jika terlaksana akan berujung berdarah-darah dan chaos (Soekarno: Di Bawah Bendera Revolusi I).
Pertanyaan lain, apakah mereka akan mengingat kembali dan meningkatkan relasi dan kerja samanya dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam seperti Indonesia? Begitu pula terhadap Presiden Soekarno, yang pernah dihormatinya pada 40 tahun silam? Dengan Presiden Jokowi dan Wapres JK yang telah mencoba menjajaki perdamaian di Afghanistan pada tiga tahun lalu?
Sebaliknya, bagaimana juga sikap kaum patriotik Soekarnois menghadapi perkembangan di Afghanistan? Tentu, sikapnya akan sangat bergantung pada dan bagaimana realisasi serta sikap kelompok Taliban dan pemerintahan baru dari Afghanistan dapat lebih baik lagi, demokratis, terbuka, menghormati HAM, serta tak melupakan kejayaan masa lalunya. Sejarah hubungan dan kerja sama Afghanistan-RI tak hanya sekarang, tetapi juga 40 tahun silam yang telah diawali oleh kunjungan Bung Karno.
Baca juga: Suramnya Harapan Masa Depan Generasi Z Afghanistan
Menghadapi situasi baru di Afghanistan, sikap Pemerintah RI hingga kini belum jelas. Belum ada sinyal apakah akan mengakui atau tidak pemerintahan baru tersebut. Presiden Jokowi juga belum mengeluarkan pernyataan apa-apa terkait Afghanistan. Presiden Jokowi baru mengisahkan bagaimana eratnya hubungan RI dan Afghanistan saat berkunjung enam jam di Afghanistan.
Wapres JK, yang diberitakan beberapa kali ke kota Kabul dan pernah berhubungan dengan sejumlah petinggi kelompok Taliban, tentu memiliki bahan referensi dan pendapat penting untuk membaca arah pemerintahan baru di bawah kendali kelompok Taliban. Sementara pernyataan-pernyataan beberapa tokoh lainnya juga masih wait and see.
Kini, sesuai ajaran Bung Karno, ”asas, asas perjuangan dan taktik”, maka di tangan merekalah sikap kita akan ditentukan. ”Rawe-rawe rantas malang-malang putung!”
Guntur Soekarnoputra, Putra Sulung Presiden Pertama RI dan Pemerhati Sosial