Karawitan dan Polemik Nama Musik Tradisi Indonesia
Ada anggapan, nama karawitan sebentuk glorifikasi kebudayaan (musik) Jawa sehingga ada penolakan ketika nama itu diusulkan digunakan untuk mewakili seluruh musik tradisi di Indonesia.
Oleh
ARIS SETIAWAN
·5 menit baca
Ada persoalan menarik dari diskusi di Pra Kongres Musik Tradisi Nusantara pada 20-21 Agustus 2021. Pra kongres itu digelar untuk menuju pembentukan Lembaga Managemen Kolektif (LMK) bagi musik tradisi di Indonesia. LMK dianggap solusi ideal, sebagai wadah advokasi dan perlindungan terhadap karya cipta musisi tradisi di Indonesia.
Untuk membentuk LMK tersebut, masalah-masalah yang berkaitan dengan definisi-definisi (musik) sudah harus selesai. Merumuskan nama yang mampu mewakili wajah musik-musik tradisi di Indonesia misalnya, perdebatan berlangsung cukup seru.
Satu sisi peserta menghendaki nama ”karawitan”, tetapi usulan itu ditolak sebagian peserta lain, dianggap terlalu Jawa sentris sehingga membunuh nama muatan lokal (musikal) yang ada di tiap daerah di luar Jawa. Jika harus diakui, upaya Jawa untuk tampil terdepan dalam konteks kebudayaan, terutama seni musik tradisi, sejatinya telah berlangsung lama.
Perdebatan itu mengingatkan kisah serupa pada dekade tahun 1930-an, saat Ki Hadjar Dewantara dengan sangat antusias mengusulkan gamelan sebagai identitas musikal musik Indonesia. Dungga lewat tulisannya, Musik di Indonesia (1952), menjelaskan bahwa gagasan Ki Hadjar itu mematik gerakan agar lagu ”Indonesia Raya” harusnya dimainkan dengan gamelan, bukan musik Barat. Usulan itu bukannya tanpa alasan, mengingat upaya untuk memerdekakan diri dari penjajah Belanda terus disulut, termasuk memerdekakan diri agar tak menggunakan idiom-idiom musikal musik Barat (kelak ide ini dipertegas oleh Soekarno, dengan menyebut musik Barat ngak-ngik-ngok, merusak kemurnian budaya ketimuran).
Gamelan mencoba dihadapkan (kata lain ditarungkan) dengan musik klasik Eropa. Musik klasik Eropa adalah puncak penemuan estetika musik Barat dan oleh karena itu posisi serupa harus dihuni oleh gamelan.
Pandangan tersebut mengubah konstruksi teknis memainkan gamelan. Rahayu Supanggah (2002) mengisahkan dengan cukup detail bahwa pengrawit (musisi gamelan) dilarang meletakkan instrumen gamelan di lantai, tetapi harus di atas panggung. Posisi pemain gamelan kemudian setara (atau sama tingginya) dengan tamu dan penonton yang duduk di kursi. Apabila itu adalah pertunjukan tari, posisi gamelan tidak boleh lebih rendah dari panggung untuk penari.
Ki Hadjar bahkan menyarankan agar gamelan dibuat lebih tinggi, pemainnya tidak lagi duduk bersila, tetapi menggunakan kursi selayaknya musik klasik Barat lengkap dengan music stand (tempat menaruh partitur). Tidak tanggung-tanggung, kostum atau pakaian pemain gamelan yang selama ini identik dengan beskap dan belangkon harus diganti dengan jas, dasi, rambut klimis, dan bersepatu kinclong. Semua dilakukan demi mengangkat derajat gamelan agar mampu menjadi kodratnya yang ”adi luhung” (terjemahan dari kata klasik, Barat).
Bagi Ki Hadjar, kebudayaan Indonesia adalah segala puncak-puncak kebudayaan daerah dan tentu saja gamelan menjadi contoh yang cukup bagus untuk diusulkan sebagai musik nasional. Sontak pandangan tersebut mendapat pertentangan dan penolakan kuat, dengan pertanyaan sederhana; apakah musik Jawa (gamelan) mampu mewakili musik tradisi lainnya di Indonesia?
Jawaban dari pertanyaan itu tentulah tak mudah disuarakan karena pasti akan jatuh pada satu kesimpulan bahwa musik Jawa lebih baik daripada musik tradisi lainnya di Indonesia. Memang tidak ada klaim tersurat mengamini jawaban tersebut, tetapi semangat menjadikan gamelan tidak semata dimainkan, tetapi juga dipelajari semakin deras menggebu. Apabila di Eropa terdapat pendidikan seni (musik) yang disebut conservatorium, maka para nasionalis-intelektual kebudayaan Jawa turut melakukan gerakan serupa dengan mendirikan Konservatori Karawitan (KOKAR) Indonesia.
Karawitan
KOKAR didirikan pada tahun 1950 di Surakarta. Nama karawitan pada dasarnya tidak secara spesifik menyebut gamelan, tetapi juga tari, bahkan pedalangan. Begitu juga saat Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) lahir pada tahun 1960 di kota yang sama, lulusan seni tari dan pedalangan menyandang gelar SKar yang berarti Sarjana Karawitan.
Penggunaan nama karawitan memang tergolong baru kala itu kendatipun di beberapa referensi lama sempat sesekali menyebutnya. Tondhakusuma, misalnya, dalam tulisannya berjudul Serat Gulang Rarya (1870) telah menggunakan istilah karawitan. Begitu juga dengan Sumanegara dalam bukunya, Serat Karawitan (1935), dan Wirawiyaga dalam Serat Lagu Jawi (1935).
Nama karawitan telah ada, tetapi tidak menjadi perhatian lebih. Ada indikasi kuat bahwa nama karawitan cenderung diidentikkan dengan gamelan karena tidak terlepas dari pengaruh politis, dalam upaya mengangkat citra gamelan menjadi lebih ”modern”.
Ada indikasi kuat bahwa nama karawitan cenderung diidentikkan dengan gamelan karena tidak terlepas dari pengaruh politis.
Sumarsam (2003) menjelaskan, untuk meraih posisi keklasikan musik gamelan, sivitas KOKAR berusaha menghilangkan istilah-istilah tradisional, diganti dengan istilah baru. Kata niyaga (musisi), pesindhen (vokalis perempuan), penggerong (vokalis pria) dianggap membawa imajinasi status rendahan. Kata pangrawit diajukan untuk menggantikan niyaga, swara wati untuk menggantikan pesindhen, dan wira swara untuk menggantikan penggerong.
Pangrawit berarti orang-orang yang memainkan (musik) karawitan. Panggilan itu lebih berwibawa dibandingkan niyaga, sebuah kata yang sering kali dipelesetkan menjadi niyeg-niyeg nggawa sega (terseok-seok membawa nasi). Dalam pandangan Sumarsam, hal itu tidak terlepas dari imajinasi seorang musisi desa yang membawa nasi pemberian penanggap seusai pertunjukan. Lahir pula anekdot disegani, yakni pementasan yang hanya mendapat upah nasi (sega).
Sebutan pangrawit dan karawitan menjadi lebih populer. Uniknya kata karawitan juga digunakan sebagai nama jurusan pada KOKAR atau sekolah musik di luar Jawa yang lahir berikutnya, sebutlah misal di Makassar dan Padang Panjang. Walaupun musik yang diajarkan bukan gamelan, penggunaan nama karawitan masih dipertahankan hingga kini.
Muncul anggapan bahwa nama karawitan sebentuk glorifikasi kebudayaan (musik) Jawa, melanggengkan tentang ”yang dominan” dan ”yang subordinat”, ”yang menguasai” dan ”yang dikuasai”. Oleh karena itu pula, Aris Tofani (peserta kongres asal Makassar) dengan lantang menolak usulan nama karawitan digunakan untuk mewakili seluruh musik tradisi di Indonesia. Ia menyuarakan: ”menggunakan istilah karawitan berarti mengulang luka lama”. Karawitan berasal dari kata rawit (Jawa) yang berarti halus, kompleks, dan indah.
Seberapa pun kata itu mencoba untuk ditarik jauh melampaui kultur asalnya, tetapi tetap saja, kata tentu tidak bisa dilepaskan dari beban-beban sejarah yang mengikatnya? Beban itu bukan semata urusan linguistik atau ilmu bahasa, melainkan juga ingatan-ingatan tentang politik, superioritas, bahkan kepongahan.
Aris Setiawan, Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta