DPR dan Presiden dituntut untuk memfungsikan kembali daulat rakyat dalam bentuk kebijakan publik yang dipandu oleh konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa. Bukan justru alergi dengan mural dan kritik rakyat.
Oleh
AHMAD THOLABI KHARLIE
·5 menit baca
Dalam beberapa pekan terakhir, perbincangan mengenai mural menyeruak ke publik. Sejumlah kreativitas seni itu disoal oleh aparat dan sejumlah pihak. Ada yang menganggap kreativitas itu melanggar ketertiban umum (tibum) yang telah diatur melalui perda.
Namun, tak sedikit yang menganggap penyoalan terhadap lukisan di atas dinding lantaran materi dianggap bernada kritik. Bahkan, lebih ekstrem menyinggung simbol negara, presiden. Tulisan “404 Not Found” yang berlatar wajah diasosiasikan publik mirip wajah Presiden Jokowi. Ada juga tulisan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Lukisan dengan pesan kritik itu kini telah dihapus.
Bahkan, para pelukis di media dinding itu sempat dicari aparat keamanan, meski belakangan aparat memastikan tak lagi mencari pelukis di dinding itu.
Percakapan warga
Polemik mural yang ramai dibincangkan publik ini dibaca beragam oleh publik khususnya warga internet (internet citizen). Satu poin menarik untuk dibaca dari peristiwa ini tak lain terkait ruang percakapan warga negara.
Dinding menjadi medium penyampaian percakapan warga negara. Di sisi yang lain, secara yuridis-normatif, ruang percakapan warga negara dalam persoalan publik tak lain berada di ruang parlemen. Parlemen yang diisi oleh para wakil rakyat, di tataran ideal sebagai rumah rakyat untuk mendialektikakan semua gagasan, tak terkecuali aspirasi yang berisi kritik.
Dinding menjadi medium penyampaian percakapan warga negara.
Bukan sebuah kebetulan bila polemik mural ini berdekatan dengan momentum peringatan ulang tahun ke-76 DPR, 29 Agustus lalu. Mural telah memberi pesan gugatan atas peran dan fungsi DPR yang telah berusia dua tahun untuk periode masa jabatan 2019-2024 ini.
Rakyat atau warga negara, dalam kajian teori ilmu negara di era modern ini, jadi salah satu unsur konstitutif yang bersifat absolut. Tak ada rakyat maka tak ada negara. Derajat dan kedudukan rakyat sama dengan wilayah termasuk pemerintah yang berdaulat dalam konteks lahirnya sebuah negara.
Rakyat dalam sejarah demokrasi juga memiliki posisi penting. Di era Yunani kuno, yang banyak disebut sebagai embrio lahirnya sistem demokrasi, posisi rakyat tak kalah terhormat. Di periode ini dibentuk Ecclesia, alun-alun yang difungsikan sebagai ruang berkumpul, berembuk atas masalah yang terjadi di masyarakat. Rakyat menempati posisi sangat suprematif.
Dalam praktik politik di Indonesia di era modern ini, rakyat yang lebih dikerucutkan lagi dengan sebutan pemilih, juga tak kalah terhormat. Setidaknya setiap lima tahun sekali, pemilih (rakyat) diburu oleh para calon pengisi jabatan publik melalui pemilihan. Ada percakapan di sana. Ada visi-misi yang diedarkan. Namun, hal itu tidak dominan. Justru nomer piro wani piro yang lebih mengemuka dan di percakapkan. Dalam istilah Edward Aspinal & Ward Berenschot (2019) praktik ini sebagai politik klientelisme.
Buruknya praktik pemilihan berjalin kelindan dengan performa parlemen yang tak bisa diandalkan. Sejumlah persoalan yang mengemuka di tengah masyarakat tak dapat ditangkap dengan baik oleh parlemen. Bila pun muncul tanggapan, sifatnya seremoni yang tak banyak memberi dampak dalam bentuk kebijakan publik yang ajek.
Bisa kita lihat betapa tebalnya tembok parlemen saat publik menyoroti sejumlah RUU yang dibahas DPR dan pemerintah, seperti RUU KPK, RUU Cipta Kerja, dan sejumlah RUU lain. Ujungnya, setelah disahkan, UU digugat di MK.
Tersumbatnya ruang percakapan antara warga negara dengan negara (DPR dan presiden) melalui ruang formal seperti di parlemen ini tentu praktik yang tidak dibenarkan. Ruang percakapan itu harusnya senantiasa dirayakan, digelar, dan dikontestasikan untuk melahirkan kebijakan publik yang mencerminkan kebutuhan masyarakat.
Mural yang belakangan mencuat merupakan ruang artikulasi warga negara terhadap obyek persoalan yang kini tengah dihadapi. Hal ini muncul lantaran ruang percakapan formal yang tersedia tak difungsikan dengan baik. Fungsi konstitusional parlemen seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran hanya berfungsi as usual bussiness saja. Padahal, situasi dan keadaan yang dialami masyarakat saat ini, sedang tidak biasa-biasa saja.
Mural yang belakangan mencuat merupakan ruang artikulasi warga negara terhadap obyek persoalan yang kini tengah dihadapi.
Momentum
Peringatan HUTke-76 DPR mestinya dijadikan titik balik bagi lembaga parlemen untuk mengoperasionalkan fungsi-fungsi yang melekat. Tak hanya memfungsikan, parlemen harus lebih proaktif terhadap masalah yang tengah dihadapi masyarakat. Kuncinya, parlemen kembali memfungsikan sebagai ruang bagi percakapan warga negara dengan negara.
Aspirasi, kritik, dan pelbagai persoalan yang disuarakan rakyat harus ditangkap dengan baik oleh parlemen, tak boleh luput sedikit pun. Apalagi, ruang-ruang publik saat ini kian bermetamorfosis dengan cepat melalui saluran digital. Suara publik yang termanifestasikan melalui ragam platform medsos harus ditangkap sebagai aspirasi yang muncul dari publik.
Percakapan dan perdebatan warga negara harus dijadikan bahan materiil dalam menjalankan fungsi parlemen. Parlemen sebagai representasi rakyat harus mengembalikan esensi kedaulatan rakyat yang selama ini disimplifikasi melalui bilik suara tak kurang dari lima menit itu melalui pemilu. Rakyat berdaulat sepanjang masa, sepanjang republik ini tegak.
Parlemen harus mengambil momentum untuk memperbaiki kinerja dengan baik. Situasi pandemi Covid-19 yang dampak turunannya dirasakan oleh kebanyakan warga ini, semestinya menjadi pemantik untuk memfungsikan peran parlemen yang berdaya jangkau lebih luas dan sistemik melalui produk peraturan perundang-undangan.
Belakangan kerja parlemen dan parpol direduksi dengan kerja-kerja teknis-birokratis yang lebih dominan sisi panggungnya ketimbang kerja substantif parlemen. Seperti pembukaan layanan sentra vaksin, pembagian sembako, hingga mengikuti jejak konten kreator dengan mengontenkan persoalan rakyat melalui saluran medsos. Bukan tak baik, tapi ada pekerjaan yang jauh lebih substansial yang bisa dikerjakan lembaga parlemen dan parpol.
Peringatan HUT parlemen harus dijadikan momentum mengembalikan daulat rakyat secara utuh dan esensial, dengan cara menghangatkan percakapan warga negara dengan negara melalui parlemen. Rakyat benar-benar difungsikan sebagai pemilik kedaulatan.
Setali tiga uang dengan itu, Presiden sebagai kepala pemerintahan yang mengendalikan kekuasaan pemerintahan, juga dituntut untuk menghangatkan kembali percakapan warga negara dengan penyelenggara negara melalui penerbitan kebijakan yang pro publik. Mural yang belakangan muncul ini adalah ekspresi rakyat merindukan percakapan antara warga negara dengan negara agar terjalin setara, hangat, dialektik, dan dua arah. Menghidupkan percakapan warga negara dengan negara sama juga memfungsikan daulat rakyat.
DPR dan Presiden dituntut untuk memfungsikan kembali daulat rakyat dalam bentuk kebijakan publik yang dipandu oleh konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa. Bukan justru alergi dengan mural dan kritik yang sejatinya ekspresi rakyat untuk memfungsikan dirinya sebagai unsur penting dalam entitas sebuah negara.
Ahmad Tholabi KharlieDekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta