Utang Kemerdekaan
Saat ini Indonesia menghadapi krisis terberat sejak kemerdekaan. Krisis 1997 dan 2008 berawal dari sektor ekonomi dan keuangan. Kecepatan dan ketepatan penanganan krisis sangat krusial untuk menekan biaya krisis.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, digambarkan kondisi kas negara di awal kemerdekaan yang berisi uang dari zaman Jepang.
Dr Soeharto selaku bendahara tak punya waktu untuk menghitung uang yang kian merosot nilainya. Ia memakai kiloan untuk membagi-bagi uang untuk operasional pemerintahan. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana republik baru ini bisa bertahan?
Nasib republik di ujung tanduk. Jakarta sebagai ibukota sudah tak aman. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta, Januari 1946. Menurut Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1945), kepindahan ini mengakibatkan pemerintah hampir kehabisan uang tunai.
Menteri Keuangan Soerachman Tjokroadisoerjo menetapkan berbagai langkah strategis. Salah satunya menarik dana dari masyarakat. Program Pinjaman Nasional diterbitkan 29 April melalui UU No 4 Tahun 1946, dengan jangka waktu pinjaman 40 tahun. Program ini jadi ujian bagi kepercayaan rakyat kepada pemerintah yang baru seumur jagung. Di luar dugaan, masyarakat menyambut antusias berbekal semangat kemerdekaan.
Kurang dari satu tahun, terkumpul Rp 500 juta, 80 persennya terkumpul dalam 45 hari pertama. Sejarah mencatat, tak semua pahlawan mengangkat senjata di medan tempur.
Ujian kembali mengadang ketika konflik dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa terjadi. Tanggal 23 Agustus-2 November 1949 dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Perjuangan di meja diplomasi demi dapat pengakuan kemerdekaan.
Pengakuan diberikan dengan syarat Indonesia bersedia menanggung utang Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanja.
Pengakuan diberikan dengan syarat Indonesia bersedia menanggung utang Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanja. Menurut Prof Dr Boediono dalam Ekonomi Indonesia (2017), nilainya 4,3 miliar gulden atau setara 1,13 miliar dollar AS. Tambahan utang ini adalah harga yang harus dibayar demi pengakuan kemerdekaan RI.
Ancaman atas keutuhan NKRI kembali muncul tahun 1997. Krisis keuangan di Asia merembet menjadi krisis ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia. Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun tumbang pada Mei 1998. Tak sedikit ilmuwan politik yang meramalkan kekacauan saat itu akan menyeret Indonesia pada proses balkanisasi. Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil seperti di wilayah Balkan.
Indonesia berhasil mematahkan ramalan ini. Krisis dijadikan kesempatan melakukan reformasi struktural. Antara lain dengan reformasi tatanan politik yang lebih demokratis, otonomi daerah, kebebasan pers, serta penataan kelembagaan dan tata kelola di sektor keuangan.
Tentu ada biaya yang harus ditanggung, terutama biaya pemulihan ekonomi dan penyelamatan industri perbankan. Tak mungkin ekonomi bisa pulih jika fungsi intermediasi dan sistem pembayaran masih lumpuh. Untuk itu, pemerintah meluncurkan program restrukturisasi perbankan dengan biaya sekitar Rp 600 triliun melalui penerbitan obligasi.
Blessing in disguise atas penerbitan obligasi itu adalah lahirnya pasar Surat Berharga Negara (SBN). Ditandai dengan terbitnya UU tentang Surat Utang Negara (SUN) 2002 dan UU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) 2008.
Di era Orde Baru, pemerintah bernegosiasi dengan negara dan lembaga donor yang tergabung di konsorsium IGGI untuk dapat pinjaman luar negeri. Tentu ada persyaratan yang harus dipenuhi. Dengan adanya pasar SBN, pemerintah bisa lebih independen dan mengembangkan potensi investor domestik, baik individu maupun institusional. Peningkatan kontribusi investor domestik membuat kita kian mandiri dalam pembiayaan pembangunan.
Krisis terberat
Saat ini Indonesia menghadapi krisis terberat sejak kemerdekaan. Krisis 1997 dan 2008 berawal dari sektor ekonomi dan keuangan. Kecepatan dan ketepatan penanganan krisis sangat krusial untuk menekan biaya krisis. Krisis kali ini bersumber dari sektor kesehatan. Kecepatan dan ketepatan juga berpengaruh pada keselamatan nyawa manusia.
Vitor Gaspar dari IMF menegaskan dalam kondisi pandemi, kebijakan fiskal merupakan kunci. Pemerintah harus melakukan apapun, whatever it takes, untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya. Seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, menerapkan berbagai kebijakan extraordinary yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak pandemi.
Pemerintah dengan persetujuan DPR memutuskan pelebaran defisit APBN untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional. Akibatnya, kebutuhan pembiayaan lewat penerbitan SBN dan utang meningkat.
Sekali lagi, keberlangsungan republik diuji dengan penambahan utang yang signifikan.
Mengacu Guidelines for Public Debt Management (IMF, 2014), pengelolaan utang publik adalah proses menyusun dan mengeksekusi strategi pembiayaan agar mendapatkan jumlah yang dibutuhkan, dengan biaya rendah dalam jangka waktu menengah-panjang, diiringi pengelolaan risiko secara prudent. Sejarah republik ini mencatat berbagai tantangan berat pengelolaan utang publik.
Sejarah republik ini mencatat berbagai tantangan berat pengelolaan utang publik.
Pertama, kondisi darurat yang membuat kebutuhan pembiayaan meningkat tajam. Pelebaran defisit APBN membuat rasio utang terhadap PDB meningkat dari 30,56 persen (Desember 2019) ke 41,35 persen (Juli 2021). Rasio ini lebih rendah dibanding saat krisis 1997 yang 72,49 persen. Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 sebesar 7,07 persen bisa jadi momentum untuk percepatan pemulihan ekonomi, dan dalam jangka menengah menurunkan kembali rasio utang.
Kedua, peningkatan kebutuhan pembiayaan umumnya berbanding lurus dengan kenaikan biaya bunga/imbal hasil. Untuk itu, pemerintah melakukan sinergi kebijakan dengan BI agar biaya penerbitan SBN untuk mengatasi pandemi terjaga pada level yang wajar.
Baca juga : BI Beli Surat Berharga Negara Rp 439 Triliun untuk Bantu Penanganan Dampak Covid-19
Fenomena menarik di tengah peningkatan penerbitan SBN adalah peningkatan kontribusi investor domestik. Per Juli 2021, proporsi kepemilikan investor lokal di pasar SBN domestik 77,44 persen. Kepemilikan investor individu juga meningkat. Selain pada SBN ritel yang didominasi generasi milenial, peningkatan juga terjadi pada SBN nonritel yang jangka waktunya lebih panjang. Seperti 1946, masyarakat turut berkontribusi membiayai defisit APBN.
Ketiga, pengelolaan berbagai faktor risiko dalam kondisi krisis sangatlah sulit. Kondisi pandemi meningkatkan ketidakpastian mengenai berapa besar dan berapa lama APBN harus bekerja keras menangani dampak pandemi. Oleh karena itu, perlu partisipasi segenap elemen masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan dan vaksinasi agar penyebaran virus Covid-19 segera terkendali.
Deni Ridwan Plt Direktur Surat Utang Negara, Kementerian Keuangan