BI Beli Surat Berharga Negara Rp 439 Triliun untuk Bantu Penanganan Dampak Covid-19
Bank Indonesia akan membeli Surat Berharga Negara dengan nilai total Rp 439 triliun sampai dengan 2022 untuk membantu pembiayaan anggaran penanganan Covid-19 dan meringankan tekanan fiskal APBN.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia akan membeli surat berharga negara atau SBN senilai Rp 439 triliun hingga tahun 2022. Langkah ini diambil untuk membantu pembiayaan anggaran penanganan pandemi Covid-19 dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
”Ini merupakan bentuk koordinasi antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia untuk ikut dalam pembiayaan anggaran penanganan Covid-19 dengan terjun ke pasar membeli SBN,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers tentang ”Pemerintah dan BI Perkuat Kerja Sama dalam Pembiayaan Sektor Kesehatan dan Kemanusiaan sebagai Dampak Pandemi Covid-19”, Selasa (24/8/2021).
Kesepakatan Kementerian Keuangan dengan BI tersebut dituangkan dalam Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI tentang Skema dan Mekanisme Koordinasi antara Pemerintah dan BI dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Covid-19 melalui pembelian di Pasar Perdana oleh BI atas SUN dan/atau surat berharga syariah negara yang diterbitkan pemerintah.
Kesepakatan ini bisa disebut Surat Keputusan Bersama (SKB) III. Adapun SKB III ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai 31 Desember 2022. Disebutkan bahwa BI akan membeli SBN sebesar Rp 439 triliun sampai 2022 nanti. Adapun rincian pembelian SBN itu terbagi menjadi dua, yakni Rp 215 triliun untuk APBN 2021 dan Rp 224 triliun untuk APBN 2022.
Kesepakatan ini bisa disebut Surat Keputusan Bersama (SKB) III. Adapun SKB III ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai 31 Desember 2022.
Sri Mulyani menjelaskan, pembelian SBN terbagi dalam dua kluster, yaitu kluster A dan kluster B. Kluster A adalah pendanaan penanganan kesehatan yang meliputi program vaksinasi dan penanganan kesehatan terkait dengan pandemi Covid-19 lainnya. Sementara kluster B adalah penanganan kesehatan terkait dengan pandemi Covid-19 di luar kluster A serta penanganan kemanusiaan dalam bentuk pendanaan program perlindungan masyarakat/usaha kecil terdampak.
Untuk pembelian SBN kluster A akan menggunakan Tingkat Suku Bunga Reverse Repo BI Tenor 3 Bulan dan ditanggung BI. Adapun pembelian SBN klaster B juga akan menggunakan Tingkat Suku Bunga Reverse Repo BI Tenor 3 Bulan, tetapi ditanggung oleh pemerintah.
Pembelian SBN BI pada 2021 yang senilai Rp 215 triliun dicapai dengan membeli SBN Rp 58 triliun dari kluster A dan sebesar Rp 157 triliun dari kluster B. Adapun pembelian SBN BI pada 2022 yang senilai Rp 224 triliun dicapai dengan membeli SBN sebesar Rp 40 triliun dari kluster A dan sebesar Rp 184 triliun dari kluster B.
Menurut Sri Mulyani, SBN akan dijual dalam mata uang rupiah dengan tenor 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun. Metode pembelian SUN dan/atau SBSN dilakukan dengan cara private placement atau penempatan saham secara pribadi.
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, penanganan pandemi dan kesehatan memberi tekanan fiskal sehingga kemampuan APBN untuk mendorong pemulihan ekonomi menjadi terbatas. Atas dasar tersebut, pihaknya berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengambil langkah yang bisa dilakukan BI.
Penanganan pandemi dan kesehatan memberi tekanan fiskal sehingga kemampuan APBN untuk mendorong pemulihan ekonomi menjadi terbatas.
”BI merasa terpanggil dan tentu saja berkomitmen penuh bersama pemerintah untuk memenuhi panggilan negara dalam penanganan kesehatan dan kemanusiaan,” ujar Perry.
Menurut Perry, pembelian SBN ini tentu akan berdampak pada kecukupan modal BI. Namun, ia menegaskan bahwa BI masih punya cukup modal untuk menjalankan perannya menjaga stabilitas keuangan dan nilai tukar rupiah.
Upaya membantu pembiayaan anggaran pemerintah dalam SKB III ini, lanjut Perry, bukan berarti menghapus atau menurunkan independensi BI sebagai bank sentral. Hal ini adalah bentuk burden sharing atau berbagai beban agar meringankan tekanan fiskal APBN.
Dari perhitungan Kemenkeu, dengan kerja sama ini, rasio belanja bunga terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa menurun. Pada 2021, rasio belanja bunga terhadap PDB bisa turun menjadi 2,21 persen dari sebelumnya 2,40. Selanjutnya, pada 2022 turun menjadi 2,19 persen dari sebelumnya 2,43 persen. Perhitungan untuk tahun 2023 turun menjadi 2,25 persen dari sebelumnya 2,49 persen. Adapun pada 2024 menjadi 2,22 persen dari sebelumnya 2,44 persen. Pada 2025 menjadi 2,22 persen dari sebelumnya 2,42 persen.
”Ini juga merupakan salah satu upaya agar menjaga defisit APBN terhadap PDB maksimal 3 persen pada 2023. Adapun tahun ini defisit diperkirakan 5,82 persen dan akan menurun menjadi 4,85 persen pada 2022,” ucap Sri Mulyani.