Subordinasi Negara terhadap Bisnis
Sub-ordinasi negara terhadap bisnis dapat akan berimplikasi sangat signifikan terhadap pelapukan fungsi lembaga negara dan ketidakpastian keberlanjutan perekonomian bangsa karena berorientasi kepentingan jangka pendek.
Dalam hitung-hitungan waktu, sampai 2021, usia reformasi di Tanah Air telah melampaui dua dasawarsa, dan segera memasuki fase awal dasawarsa ketiga. Beragam nuansa penilaian pun telah dikemukakan oleh para pengamat dan akademisi dalam mengartikulasi capaian kinerja reformasi, khususnya terkait dengan relasi bisnis dan politik di Indonesia.
Para akademisi yang berpandangan positivis, cenderung menyebut bahwa pada periode reformasi telah banyak tercipta perbaikan iklim bisnis dibandingkan dengan kondisi sebelumnya (periode Orde Baru).
Namun demikian, di sisi lain, juga tak sedikit akademisi yang berpandangan kritis, dan berpendapat bahwa pada periode Pasca-Orde Baru, para pemilik modal (baca: kapitalis) mendapat ruang lebih besar dalam politik. Mereka tidak saja berperan sebagai donatur parpol, tetapi juga sebagai pemilik parpol.
Implikasinya, bisa dimengerti bila kemudian para kapitalis dapat mengendalikan para elite parpol yang menduduki jabatan strategis pada lembaga negara untuk mendapatkan kepentingannya.
Dalam narasi matematika dapat dianalogikan bahwa sektor bisnis diposisikan sebagai himpunan-bagian dari negara.
Relasi bisnis dan politik Orde Baru
Dalam artikelnya yang berjudul "Authoritarian State, Capital Owning Class, and The Politics of Newly Industrialising Countries", Ricard Robison (1988), menyebutkan bahwa di antara persoalan mendasar dari mengapa Indonesia pada periode Orde Baru tidak dapat membangun fundamental ekonomi yang kokoh adalah, karena rezim Soeharto cenderung memosisikan sektor bisnis sebagai subordinasi dari negara.
Dalam perspektif Robison (1988) yang dimaksud dengan subordinasi sektor bisnis (swasta) terhadap negara adalah, Orde Baru cenderung memosisikan sektor bisnis tergantung terhadap negara.
Dalam narasi matematika dapat dianalogikan bahwa sektor bisnis diposisikan sebagai himpunan-bagian dari negara. Kondisi ini kemudian semakin diperburuk oleh hadirnya apa yang disebut oleh Robison (1998) sebagai politico-bureaucrat entrepreneurs, yaitu para pengusaha yang berstatus sebagai putra-putri pejabat, atau mereka yang memiliki pertalian kerabat, maupun relasi kroni dengan para pejabat negara.
Kesemuanya itu, telah berimplikasi sangat signifikan terhadap pelapukan fundamental dan ketidakpastian keberlanjutan perekonomian Indonesia. Hal ini karena, dalam model subordinasi sektor bisnis terhadap negara itu, dapat dipastikan bahwa hidup, berkembang, atau matinya sektor bisnis sangat tergantung pada negara. Ketika negara mampu memberikan asupan maka sektor bisnis akan hidup dan berkembang. Begitu pula sebaliknya.
Dengan demikian, model relasi negara dan sektor bisnis seperti itu tak akan mampu membangun fundamental ekonomi bangsa yang kuat, karena tak mendorong lahir dan tumbuhnya pelaku-pelaku sektor swasta yang mandiri, unggul, dan tangguh dalam menghadapi tantangan. Sementara, keberadaan para pelaku swasta yang mandiri dan tangguh diperlukan, karena mereka bagian dari komponen penting dalam menopang kekuatan fundamental ekonomi bangsa.
Relasi bisnis dan politik pasca-Orde Baru
Karakteristik relasi bisnis dan politik pada periode pasca-Orde Baru mengalami banyak perubahan, dan cenderung bertransformasi dari pola koorporasi yang bersifat eksklusif menuju koorporasi inklusif. Namun, secara esensial arena bisnis dan politik di Indonesia masih tetap diwarnai oleh keberlanjutan dari dominasi penguasaan sumber daya politik dan ekonomi oleh segelintir elite, atau apa yang kemudian dikenal dengan terminologi oligarki (Hadiz 2010; Robison dan Hadiz 2004; Winters 2011).
Di antara ekses dari bias reformasi sistem kepartaian (multi partai) dan pemilu (pilpres dan pilkada langsung) adalah lahirnya praktik politik transaksional yang mengakibatkan pemilu biaya tinggi. Kondisi ini, sulit dimungkiri, telah membuka peluang lebih besar bagi oligarki parpol dan kapitalis untuk mengambil peran lebih besar dalam mengontrol reformasi pasca-Orde Baru, dan membangun kolaborasi yang solid.
Maraknya praktik politik transaksional dideskripsikan cukup detail oleh Aspinall dan Berenschot (2019) dalam buku Democracy for Sale. Antara lain disebutkan, praktik demokratisasi di Indonesia pasca-Orde Baru, sangat berkarakterkan klientelisme.
Pada setiap tingkatan, institusi politik formal selalu dibayangi oleh politik informal.
Pada setiap tingkatan, institusi politik formal selalu dibayangi oleh politik informal. Kemudian melalui personalisasi jaringan, berbagai keuntungan material dialirkan. Politisi dapat dana yang mereka butuhkan untuk berkampanye dan memenangi pemilu dengan memperdagangkan kontrak dan lisensi dengan pengusaha.
Terkait dengan modus kolaborasi antara oligarki parpol dan kapitalis, Arya Fernandes (Kontan.co.id, 22/2/2020) menyebutkan setidaknya ada tiga pola pebisnis bercokol dibalik parpol, yakni: pebisnis menjadi donatur satu partai tunggal; pebisnis menjadi donatur beberapa partai sekaligus; dan pebisnis menciptakan partai sendiri.
Melalui kolaborasi dengan parpol itu, Ubedillah Badrun mensinyalir sedikitnya ada tiga keuntungan besar yang diperoleh pebisnis (kapitalis). Pertama, benefit berupa akses terhadap kekuasaan. Kedua, terakomodasinya kepentingan bisnis dalam regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif. Ketiga, keuntungan kemudahan akses dan kepastian dijalankannya regulasi yang menguntungkan oknum (Kontan.co.id, 22/2/2020).
Sub-ordinasi negara terhadap bisnis.
Di antara poin penting yang dapat digarisbawahi dari ulasan tentang relasi bisnis dan politik pasca-Orde Baru adalah kecenderungan yang mengindikasikan dengan kuat bahwa pada periode pasca-Orde Baru, para pemilik modal (kapitalis) mendapat ruang lebih besar dalam politik, terutama melalui parpol.
Para kapitalis tak saja dapat berperan sebagai donatur parpol, tetapi juga sebagai pemilik parpol. Implikasinya, dapat dimengerti bila kemudian para kapitalis dapat mengendalikan para elite parpol yang menduduki jabatan strategis pada lembaga negara untuk mendapatkan kepentingannya, antara lain: akses terhadap kekuasaan; terakomodasinya kepentingan bisnis dalam regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif; dan keuntungan kemudahan akses dan kepastian dijalankannya regulasi yang menguntungkan kapitalis.
Proposisi di atas secara implisit mengisyaratkan bahwa transisi demokrasi pasca-Soeharto memang telah berhasil melepaskan Indonesia dari otoritarianisme Orde Baru, tetapi kemudian masuk ke dalam pelukan oligarki parpol dan kapitalis, yang selanjutnya berperan sebagai shadow state (Hidayat, 2007). Dengan demikian, sejatinya, keberadaan shadow state tak lain merupakan pertemuan/perjumpaan dari dua arus kekuatan itu.
Baca juga : Oligarki sebagai Musuh dari Bangsa Sendiri
Di satu sisi, para elite parpol butuh dana untuk menjamin keberlangsungan hidup parpolnya dan untuk mendapatkan akses ke sumber daya kekuasaan. Pada sisi lain, para kapitalis berperan sebagai “donatur” bagi oligarki parpol, dengan komitmen mendapatkan kemudahan dalam mengakses sumber daya ekonomi yang diinginkan.
Persekongkolan antara para elite parpol dan kapitalis ini ditengarai telah berperan sebagai faktor determinan bagi terjadinya transformasi struktur dan aktor (Durkheim, 1933; dan Weber, 1947) pada konteks relasi bisnis dan politik pasca-Orde Baru.
Transformasi dimaksud adalah, adanya kecenderungan perubahan model relasi bisnis dan politik dari sub-ordinasi bisnis terhadap negara sebagaimana terjadi pada periode Orde Baru (Robison, 1988), mengarah ke model sebaliknya, yaitu subordinasi negara terhadap bisnis, pada pasca-Orde Baru.
Atau dalam formula matematika, dapat dianalogikan bahwa negara cenderung diposisikan sebagai himpunan-bagian dari sektor bisnis. Oleh karena itu, tak mengherankan jika kemudian para pengusaha dapat dengan leluasa mengontrol para penguasa melalui para kader parpol yang menduduki jabatan strategis pada struktur lembaga negara.
Baca juga : Waspadai Kebijakan Politik yang Bias Kepentingan Pemilik Modal
Model relasi subordinasi negara terhadap bisnis tersebut, sama buruknya dengan model relasi subordinasi bisnis terhadap negara pada periode Orde Baru. Dikatakan demikian, karena relasi bisnis dan politik pada kedua model itu sama-sama lebih didasarkan pada pertalian keluarga, kerabat, dan kroni. Atau, apa yang disebut Robison (1988) sebagai politico-bureaucrat entrepreneurs.
Kondisi seperti ini, sulit untuk mendorong lahir dan tumbuhnya pelaku-pelaku sektor swasta yang mandiri, unggul, dan tangguh dalam menghadapi tantangan. Lebih jauh dari itu, model subordinasi negara terhadap bisnis seperti itu dapat dipastikan akan berimplikasi sangat signifikan terhadap pelapukan fungsi lembaga negara dan ketidakpastian keberlanjutan perekonomian bangsa, karena lebih berorientasi pada pencapaian kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek.
Syarif Hidayat Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)