Waspadai Kebijakan Politik yang Bias Kepentingan Pemilik Modal
Keberadaan politik sejatinya untuk menghadirkan kemaslahatan umat. Namun ketika politik sudah bias pada kepentingan bisnis pemilik modal, kepentingan rakyat bisa terabaikan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan politik sejatinya untuk menghadirkan kemaslahatan umat, mulai dari kebebasan, keadilan, hingga kesetaraan. Namun ketika politik sudah bias pada kepentingan bisnis pemilik modal, maka politik akan kehilangan fungsinya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, menyampaikan, ketika politik sudah dipengaruhi kepentingan pemilik modal, institusi politik tidak akan bisa lagi memikirkan dan memproduksi yang terbaik bagi masyarakat. Sebaliknya, institusi politik akan memproduksi apa yang terbaik bagi pengusaha.
Ia mencontohkan, sebagai produk politik, UU Cipta Kerja seharusnya berada dalam logika hukum. Kehadiran UU tersebut semestinya deliberatif, rasional, dan dalam kerangka menentukan tujuan yang terbaik untuk masyarakat secara keseluruhan.
”Tapi bobot dalam UU Cipta Kerja lebih dimaksudkan untuk tujuan res privata dan ini menunjukkan republik kita semakin lemah karena diinvasi oleh kepentingan ekonomi. Politik kemudian menjadi kurang bermakna karena tidak bisa lagi bekerja di bawah dalil-dalil kepublikan tetapi di bawah dalil oikos (ekonomi),” ujar Robertus, dalam kelas intensif Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi, Selasa (6/10/2020).
Robertus menjelaskan, dalam tradisi Yunani kuno, sebenarnya telah diajarkan untuk memisahkan antara pelaku politik dan ekonomi. Sebab, penggabungan keduanya hanya akan menciptakan oligarki, kartel politik, dan klientalisme.
Persoalan ini erat kaitannya dengan korupsi. Pada dasarnya, korupsi selalu berakibat merusak common good karena merusak prinsip hidup bersama sebagai suatu bangsa.
Wartawan Kompas 1984-2015, Maria Hartiningsih, juga menyoroti, oligarki telah mencederai integritas suatu bangsa yang berujung pada terjadinya perilaku koruptif, yang merupakan hambatan utama keberlanjutan pembangunan.
Selain itu, korupsi juga membahayakan demokrasi yang mensyaratkan kesetaraan relasi kuasa, supremasi hukum, nilai-nilai etika, moral, dan keadilan. Maka, perlu ada reformasi sistem kepartaian agar sistemnya menjadi lebih bersih, transparan, bebas nepotisme, dan tanpa politik uang mulai dari proses perekrutan.
”Integritas pribadi dan politik, baik di ruang domestik maupun publik, harus dibangun bersama oleh perempuan dan laki-laki. Hanya dengan itulah, korupsi bisa dihambat, atau bahkan mungkin bisa dihapus dari sejarah,” ujar Maria.
Seruan publik
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia for Global justice (IGJ) Rachmi Hertanti menyampaikan, DPR dan pemerintah sengaja membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja secara tertutup. Terjadi pula pembungkaman suara rakyat dengan menggunakan aparat keamanan yang siap berhadapan langsung dengan rakyat saat melakukan protes.
Negara, kata Rachmi, telah abai melindungi hak buruh serta melanggengkan model investasi yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. ”Omnibus Law Cipta Kerja disusun dengan lebih merujuk pada isi perjanjian perdagangan bebas ketimbang amanat konstitusi”, ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman mengatakan, pengesahan RUU Cipta Kerja tidak hanya mencederai demokrasi dan kepercayaan masyarakat. Namun, DPR dan pemerintah secara sengaja mengabaikan suara-suara masyarakat yang menolak dan ingin menghentikan pembahasan RUU tersebut.
Untuk itu, Wahyu menegaskan, DPR dan Presiden Joko Widodo harus mendengarkan dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Indonesia dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan untuk menganulir proses dan hasil pembahasan RUU Cipta Kerja. Presiden juga diminta mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang menunda dan atau menghapuskan keberlakuan UU Cipta Kerja.
Lapangan kerja
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengharapkan UU Cipta Kerja diharapkan bisa mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan serta perluasan lapangan kerja. (Kompas, 6/10/2020).
RUU itu dinilainya mampu menjawab permasalahan yang selama ini menjadi kendala masuknya investasi, yakni tumpang tindih aturan dan perizinan. RUU ini diharapkan akan mendorong peningkatan investasi 6,6 persen hingga 7 persen untuk membangun usaha baru dan mengembangkan usaha yang sudah ada. Dengan begitu, konsumsi rumah tangga pun akan meningkat di kisaran 5,4 persen sampai 5,6 persen.
”Jika tak ada RUU Cipta Kerja, daya saing pencari kerja kita relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif dan penduduk kita yang tak bekerja akan semakin tinggi,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, salah satu alasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dibuat ialah memprioritaskan program penanganan pandemi Covid-19.
Terkait masukansoal hak buruh, Airlangga mengatakan, hal itu telah terlindungi dalam UU yang baru tersebut. ”Justru dengan UU ini negara hadir dalam hubungan industrial. Pancasila hadir dalam hubungan tripartit antara pemerintah, buruh, dan pengusaha, yakni dengan dikeluarkannya JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan),” ujarnya.