Budi Darma selama hidupnya menjadi guru yang tidak pernah menggurui terbukti ketika penulis menerbitkan terjemahan bahasa Inggris cerpen ”The Barber” yang terbit di laman penerbitan yang berpusat di San Mateo,California.
Oleh
NOVITA DEWI
·4 menit baca
Jika ditanya tentang Budi Darma, akan dengan cepat kita menyebutkan Olenka atau Orang-orang Bloomington.
Selain kedua mahakarya tersebut dan buku-buku kumpulan cerpennya yang kerap memenangi penghargaan, Budi Darma telah dengan setia dan konsisten menemani pembaca pelbagai surat kabar nasional dengan cerpen-cerpen yang menarik dan bermutu.
Jumlah sastrawan sekaligus guru besar di bidang sastra di Indonesia terhitung langka. Jumlah itu makin menurun dengan berpulangnya Soebakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono, dan Toeti Heraty, untuk menyebut tiga saja.
Guru besar yang terus-menerus berkarya secara akademik dan sastrawi hingga maut menjemput barangkali hanya Budi Darma seorang.
Salah satu cerpen yang melekat di hati penulis adalah ”Tukang Cukur”. Cerpen yang dimuat di harian Kompas edisi 11 September 2016 ini berkisah tentang rivalitas seorang tukang cukur yang mengepalai pembantaian penduduk setiap kali terjadi pergantian kekuasaan.
Darah membangkitkan hasrat tukang cukur ketika tokoh utama cerpen ini melukai kepala pelanggannya sambil berdalih ”melakukan kesalahan kecil”.
Pada September 1948, tukang cukur bersama tentara PKI melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketika pasukan Siliwangi masuk ke kota Kudus, tukang cukur menyamar sebagai preman yang membantu tentara dari Jawa Barat itu menghabisi orang-orang PKI.
Ketika diketahui ia membuat daftar orang-orang yang tak disukai untuk ditembak mati, pasukan Siliwangi menghajarnya habis-habisan dan tukung cukur pun menghilang begitu saja. Sepeninggal tentara Siliwangi, militer Belanda melakukan agresi di Kudus dan tukang cukur menjadi sopir sekaligus kaki tangan Belanda.
Pada Desember 1949, tentara Belanda ditarik mundur dari Indonesia. TNI masuk ke kota Kudus dan tukang cukur menghilang lagi. Tak lama setelah itu, bentrokan hebat terjadi lagi antara tentara pemerintah dan tentara liar yang tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII). Sebagian besar tentara NII tewas terjebak di bekas pabrik rokok Nitisemito. Di antara reruntuhan dan korban yang bergelimpangan tergeletak mayat si tukang cukur.
Relevansi
Meskipun ditulis lima tahun lalu, cerpen Budi Darma ini tetap menemukan relevansinya hingga sekarang. Tanpa menggurui, Budi Darma berkisah tentang hasrat manusia yang berkelindan: rivalitas, balas dendam, dan kekerasan.
Rivalitas mulai muncul ketika seseorang berhadapan dengan pihak yang berseberangan. Kekerasan, menurut Girard (1997), menular. Tukang cukur kita terjangkiti. Rivalitas makin sengit sepanjang lintasan sejarah perang sipil PKI-TNI, agresi militer Belanda, dan hengkangnya tentara KNIL dari Indonesia.
Nafsu tukang cukur untuk mengucurkan darah musuh padam ketika ia akhirnya gugur sebagai pejuang kelompok subversif NII. Ia menambah deretan tokoh-tokoh ganjil yang sering dijumpai dalam karya- karya Budi Darma.
Karena tidak ingin menggurui, Budi Darma memakai Gito, anak SD dari Desa Getas, Pejaten, di pinggiran kota Kudus sebagai pencerita mahatahu dalam ”Tukang Cukur”.
Gito mengamat-amati gerak-gerik tukang cukur dan melaporkannya kepada pembaca. Budi Darma dengan apik memanfaatkan teori narasi dan fokalisasi yang antara lain dibidani Gerard Genette. Pencerita bocah ini bertindak sebagai fokalisator internal (Rimmon-Kenan, 1994) yang serba tahu dan dapat melihat segalanya, tetapi pemahamannya terbatas.
Gito tidak paham mengapa tukang cukur begitu haus darah. Namun, pembaca paham mengapa sering terjadi pertumpahan darah. Di tengah-tengah pandemi yang urung surut, cerpen Budi Darma ini seakan mengingatkan betapa hinanya manusia yang tega mengorbankan sesamanya hanya untuk menyelamatkan diri sendiri dan nafsu berkuasa.
Tak menggurui
Bahwa Budi Darma selama hidupnya menjadi guru yang tidak pernah menggurui terbukti ketika penulis menerbitkan terjemahan bahasa Inggris cerpen ini, ”The Barber” yang terbit di laman Dalang Publishing, penerbitan yang berpusat di San Mateo, California, Amerika Serikat.
Penulis begitu gembira menerjemahkan cerpen seorang penulis besar hingga abai. Kata duk diterjemahkan menjadi headband. Penulis mengelirukan duk di leher si tukang cukur dengan udeng di kepalanya.
Melalui surel tertanggal 12 Oktober 2020, dengan sangat sopan Profesor Budi Darma bertanya apakah penulis pernah memperhatikan Pramuka.
Guru Besar yang rendah hati ini melanjutkan, ”Biasanya tentara mempunyai tiga pilihan mengenai kepalanya, sesuai kondisi lapangannya. Pertama, kepala dibiarkan tanpa apa-apa, kedua, kepala diberi topi, baret, atau pet, dan ketiga, kepala diberi topi baja dalam pertempuran terbuka. Dengan demikian, tentara pada umumnya tidak pernah memakai headband.”
Oh, alangkah memalukan! Cepat-cepat kesalahan itu diperbaiki. ”Pada pemberontakan di Madiun tentara PKI memakai duk merah, dan pada waktu bergabung dengan pasukan NII, afiliasinya dengan Kartosuwiryo, mereka memakai duk hijau,” tambah sang guru sejati yang berbudi dan berdarma ini.
Penulis mendapatkan pengetahuan berharga dari kesalahan yang tak seharusnya terjadi.
Selamat jalan menuju ke keabadian, Profesor Budi Darma.