Budi Darma: Yang Belum Ada, Kelak Akan Ada…
”Yang dulu ada, sekarang tidak ada. Dan yang sekarang ada, kelak tidak ada. Yang sekarang belum ada, kelak akan ada.”
”Yang dulu ada, sekarang tidak ada. Dan yang sekarang ada, kelak tidak ada. Yang sekarang belum ada, kelak akan ada.” — Budi Darma, Ny. Talis (Kisah Tentang Madras)
Cendekiawan berdedikasi Budi Darma meninggal pada Sabtu (21/8/2021) pukul 06.00 di RS Islam A Yani Surabaya karena sakit. Sastrawan berusia 84 tahun itu meninggal dunia dengan meninggalkan beragam prestasi dan karya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut keterangan adiknya, Budi Sampurno, sastrawan yang telah menulis kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington itu menuju keabadian setelah terinfeksi Covid-19. Budi Sampurno menuturkan bahwa kakaknya telah dirawat di rumah sakit sejak 28 Juli 2021.
Perwakilan Keluarga Besar Ikatan Pensiunan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Alimufi Arief mengumumkan bahwa jenazah akan dimakamkan pada hari yang sama di TPU Keputih, Surabaya.
Baca juga: Sastrawan Budi Darma Terima Anugerah Sabda Budaya 2019
Meninggalnya Budi Darma menjadi kehilangan besar bagi banyak orang. Anita Lie, Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya, mengenang sosok cerpenis murah senyum itu sebagai sastrawan besar dan guru sejati.
Mengalir bening
”Kata-kata yang beliau ucapkan seperti mengalir bening dari suatu sumber kecerdasan dan kearifan yang tidak pernah surut. Pak Budi mempunyai ingatan dan perhatian yang luar biasa kepada para sahabat dan murid. Beliau seorang tokoh dan sastrawan besar, tetapi masih berkenan mengingat nama suami dan putri saya serta peristiwa-peristiwa penting keluarga kami,” kata Anita Lie mengenang.
Bagi Anita Lie, Budi Darma sudah menginspirasi banyak orang dan meninggalkan kenangan baik. Ia sosok guru sejati dan guru bangsa. ”Hidup beliau sudah menjadi teladan dan karya-karya beliau abadi. Selamat jalan, guru,” katanya.
Rektor Universitas Negeri Surabaya Nurhasan menyatakan, kepergian sastrawan sekaligus guru besar emeritus Budi Darma menjadi kehilangan amat besar bagi kampus secara khusus dan dunia sastra Indonesia secara umum.
Kata-kata yang beliau ucapkan seperti mengalir bening dari suatu sumber kecerdasan dan kearifan yang tidak pernah surut. Pak Budi mempunyai ingatan dan perhatian yang luar biasa kepada para sahabat dan murid. (Anita Lie)
Budi Darma pernah menjabat Rektor Unesa ketika kampus itu masih bernama IKIP Surabaya pada 1984. Karya-karya hebat Budi Darma turut mengangkat nama harum Kampus IKIP Surabaya atau Unesa itu. ”Sungguh kehilangan yang teramat besar,” kata Nurhasan.
Baca juga: Budi Darma, ”Berdoa Kepada Tuhan”
Hingga ujung usia
Dalam catatan Kompas, Budi Darma adalah sosok cendekiawan berprestasi yang aktif menulis hingga di ujung usia. Beberapa karyanya, seperti Olenka, Orang-Orang Bloomington, Derabat, Mata Yang Indah, menjadi perbincangan dan kajian pembelajaran di dalam dan luar negeri.
Dari karya-karyanya, pria kelahiran Rembang, 25 April 1937, tersebut menerima beragam penghargaan. Mulai dari Hadiah Sastra Balai Pustaka (1984) hingga Penghargaan South East Asian Write Award dari Pemerintah Thailand untuk novelnya, Orang-orang Bloomington (1984).
Selain itu, penghargaan pengabdian penulisan cerpen dari Kompas (2003), Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (2003), Penghargaan dari Freedom Institute (2005), dan Anugerah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara dari Brunei (2011).
Meski karyanya mendunia, profesor sastra dengan pendidikan S-3 Sastra Inggris dengan konsentrasi Inggris abad ke-19, Indiana University, Bloomington, tersebut tetap rendah hati dan santun.
Baca juga: Kemenangan Keempat Seno Gumira Ajidarma
Kepada siapa saja, ia akan berbagi ilmu tanpa pandang bulu. Suami Sitaresmi itu mengajar tanpa menggurui. Budi Darma pernah dipercaya mendidik penulis berbakat dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam dalam program penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara.
”Mendorong orang menulis bukan dengan menggurui atau memerintah. Sebab, orang justru akan enggan kalau disuruh atau diperintah. Intinya disemangati menulis, tetapi pelan-pelan saja. Menulis mendorong kita merencanakan segala sesuatu. Bagaimana tulisan dibuat dengan ekonomisasi kata, bagaimana tulisan disusun dalam ruang yang ada, dan bagaimana tulisan itu akan diarahkan,” kata Budi Darma sebelumnya.
Budi Darma adalah penulis yang selalu mendorong orang lain untuk menulis. Baginya, menulis akan mengajarkan kita membaca atau melihat masalah. Menemukan inti persoalan, membuat abstraksinya, lalu mencari solusi.
Menurut dia, menulis beda dengan mendongeng. Yang dilakukan bangsa ini kebanyakan adalah mendongeng. Semua bicara dan bercerita, terkungkung dengan kemegahan masa lalu. Saling tumpang tindih, sahut-menyahut, hingga nyaris tidak bisa menemukan akar persoalan sesungguhnya.
”Akibatnya, kita tidak bisa mengidentifikasi persoalan sebenarnya. Kita dengan m”udah melupakan hal-hal lalu. Ujung-ujungnya kita jadi bangsa pelupa,” kritik Budi Darma yang disampaikan delapan tahun lalu.
Baca juga: Geliat Sastra Kota Malang
Masa depan
Penerima Anugerah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara dari Brunei tersebut selalu menyemangati penulis muda untuk terus berkarya. Kuncinya adalah dengan tekun dan banyak membaca. Dengan membaca, pengetahuan semakin kaya untuk menunjang produktivitas berkarya.
Menurut Budi Darma, dunia sastra Indonesia tetap berpeluang untuk berkembang dan bermasa depan cerah. Nusantara ibarat sumur yang tak akan pernah kering sebagai bahan karya-karya sastra. Bangsa Indonesia kompleks, beragam, dan amat kaya dengan sejarah dan narasi perjalanannya. ”Perlu terus menggali dan menemukan ide-ide untuk berkarya yang unik, kreatif, dan otentik,” katanya.
Budi Darma seperti tidak berhenti mengalirkan pesan, ilmu, dan semangatnya pada bangsa ini. Bahkan, dalam karya-karyanya, ia selalu menyelipkan kritik, semangat, dan nasihat dengan santun dan indah.
Seperti pada kutipan di pembuka tulisan ini yang diambil dari penggalan tulisan Budi Darma dalam buku Ny. Talis (Kisah Tentang Madras) di atas. Meski ditulis tahun 1996, karyanya itu sangat visioner dan pas untuk semua zaman. Budi Darma mungkin telah beristirahat dalam keabadian. Namun, ia akan terus menyemangati seiring putaran bumi....
”Yang dulu ada, sekarang tidak ada. Dan yang sekarang ada, kelak tidak ada. Yang sekarang belum ada, kelak akan ada.”