Tak hanya pesisir Indonesia yang terancam oleh naiknya permukaan air laut, tetapi juga banyak negara. Namun, kita prihatin, masih banyak negara belum memprioritaskan penanggulangannya.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Laporan harian ini tentang kota-kota di Indonesia yang diramal akan tenggelam di masa depan hanya menguatkan apa yang sudah kita dengar sebelum ini.
Masih segar dalam ingatan kita pidato Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di kantor Direktur Intelijen Nasional, 27 Juli 2021, yang menyinggung akan tenggelamnya Jakarta dalam 10 tahun mendatang. Yang lain lebih longgar, menyebutkan Jakarta akan tenggelam tahun 2050.
Dalam laporan memakai teknik jurnalisme data, Kompas, Jumat (20/8), menyebutkan, 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia bakal terkena banjir rob tahun 2050. Sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut dan ada 8,6 juta warga yang terdampak. Kerugian ditaksir Rp 1.576 triliun.
Dari peta yang dimuat di halaman depan, tampak sebagian besar pesisir utara Sumatera dan Jawa, juga pesisir selatan Kalimantan Selatan, adalah area yang diperkirakan tergenang air laut pada 2050. Dari level kerentanannya, untuk DKI Jakarta, misalnya, ada 25,53 kilometer persegi wilayah yang masuk daerah dengan kerentanan tinggi.
Menyangkut sebab-musababnya, perubahan iklim dan pemanasan global banyak disebut sebagai pemicu utama tenggelamnya kota-kota, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara lain. Pemanasan global menyebabkan tudung es di wilayah kutub mencair dan meninggikan tinggi permukaan laut dunia. Selain itu, juga ada aktivitas setempat yang ikut berkontribusi pada cepatnya tenggelam satu kota. Untuk Jakarta, tingginya penyedotan air tanah menjadi salah satu penyebab penting amblesnya permukaan.
Untuk Jakarta, tingginya penyedotan air tanah menjadi salah satu penyebab penting amblesnya permukaan.
Eksploitasi air tanah sebagai penyebab utama penurunan tanah disinggung pakar geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas dalam laporan Kompas, yang dampaknya lebih parah dibandingkan dengan kenaikan air laut.
Di Semarang, Surabaya, dan Jakarta, permukaan tanah turun 15 sentimeter per tahun. Di Pekalongan, Jawa Tengah, penurunan muka tanah hingga 18 cm per tahun. Terhadap fenomena ini, sejumlah kota sudah mengambil langkah antisipatif. Namun, dari 21 ibu kota di pesisir Indonesia, baru tiga yang bisa disebut, yakni Semarang, Jakarta, dan Surabaya.
Langkah menanggulangi rob, antara lain, membangun infrastruktur fisik, seperti tanggul laut, tanggul pantai, polder, bendung gerak, dan kolam retensi. Upaya ini diharapkan bisa bermanfaat menahan masuknya air ke daratan. Upaya menanggulangi dampak naiknya air laut juga dicontohkan oleh negara lain, seperti Singapura dan Italia. Di sisi lain, kita juga tahu upaya tersebut, khususnya membangun tanggul laut dan tanggul pantai, membutuhkan dana yang sangat besar.
Ada kontribusi kesalahan, seperti di Jakarta, yang penyedotan air tanahnya eksesif. Namun, naiknya air laut juga berskala global. Saat sejumlah negara Eropa dilanda banjir besar, beberapa saat lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan, negara-negara belum cukup berbuat untuk mengerem laju pemanasan global. Tak hanya pesisir Indonesia yang terancam oleh naiknya permukaan air laut, tetapi juga banyak negara. Namun, kita prihatin, masih banyak negara belum memprioritaskan penanggulangannya.