Meski terlambat jauh dibandingkan dengan banyak negara, mengembangkan vaksin Merah Putih hingga ke tahap yang sekarang layak diapresiasi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Dengan berbagai hambatan, vaksin Merah Putih terus berkembang memberi hasil menggembirakan. Pandemi telah mengajari kita, riset menjadi kunci untuk bisa sintas.
Meski terlambat jauh dibandingkan dengan banyak negara, mengembangkan vaksin Merah Putih hingga ke tahap yang sekarang layak diapresiasi. Apalagi, riset berlangsung di tengah hambatan fundamental riset yang masih rendah dalam hal sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran.
Riset vaksin Merah Putih dikembangkan oleh Universitas Airlangga (Unair), Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan tingkat kemajuan yang berbeda-beda. Unair bekerja sama dengan PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia saat ini sampai praklinik fase kedua. Lembaga Eijkman bekerja sama dengan PT Bio Farma telah menyelesaikan tahap penelitian dan pengembangan vaksin, kini transisi ke industri. Sementara BRIN masih terkendala ketersediaan fasilitas animal biosafety level 3 dan cara pembuatan obat yang baik.
Semua tentunya menumbuhkan harapan, di tengah kebutuhan vaksin Covid-19 yang luar biasa banyak, mengingat Indonesia merupakan bangsa berpopulasi besar. Untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity), misalnya, pemerintah telah menambah target imunisasi dari 181,5 juta menjadi 208,3 juta orang. Cakupan vaksinasi dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan akan menjadi penentu keberhasilan kita jadi penyintas, keluar dari pandemi.
Di sinilah riset berperan besar. Meski pemerintah sudah menyediakan banyak vaksin, ketersediaan vaksin demi keberlanjutan vaksinasi tetap diperlukan. Untuk menjadi bangsa yang berdikari, berdiri di atas kaki sendiri—meminjam ungkapan Presiden Soekarno—memiliki vaksin produksi dalam negeri adalah keharusan. Penguatan riset menjadi penting.
Kita tahu, peneliti di Indonesia tidak kalah kemampuannya dibandingkan dengan peneliti luar negeri. Kita juga punya banyak lembaga penelitian, baik melekat di universitas, organisasi, maupun berdiri sendiri, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun, dengan anggaran riset 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara di negara-negara Asia ada yang 2 persen atau lebih dari PDB, upaya mengembangkan riset di Indonesia memang perlu perjuangan. Kini, Indonesia di peringkat ke-85 dari 131 negara, dalam Indeks Inovasi Global.
Cakupan vaksinasi dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan akan menjadi penentu keberhasilan kita jadi penyintas, keluar dari pandemi.
Banyak hal harus dibenahi. Kita berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa bekerja sama mengonsolidasi sumber daya iptek dan sumber daya riset yang ada dalam upaya membangun iklim riset yang lebih baik. Dengan demikian, dapat dihasilkan produk-produk yang inovatif serta bermanfaat bagi perkembangan sains dan masyarakat.
Bersyukur pandemi telah memunculkan GeNose buatan Universitas Gadjah Mada yang sederhana dan murah untuk menapis Covid-19. Kita juga sudah memiliki riset vaksin Merah Putih yang menjanjikan. Inilah momentum yang harus didukung dengan segala kemudahan yang bisa diberikan, tentu dengan prosedur dan protokol riset yang baik dan benar.