Kasus Pinangki adalah momentum bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengungkap kasus mafia peradilan di Indonesia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Perlakuan terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari mempertontonkan bagaimana hukum ditegakkan dan diberlakukan. Prinsip keadilan hukum sedang dipermainkan.
Tidak ada yang salah jika publik punya persepsi ada perlakuan istimewa terhadap Pinangki. Dari status kepegawaian, pangkat Pinangki biasa-biasa saja. Namun, akses dan aktivitasnya luar biasa.
Sebagai jaksa yang tidak mengurusi eksekusi kasus, dia leluasa menemui buron Joko Soegiarto Tjandra. Pinangki bahkan berfoto bersama Joko Tjandra di apartemennya di Kuala Lumpur, Malaysia. Foto itu tersebar di media sosial. Aktivitas itu kabarnya dilaporkan kepada atasannya.
Joko Tjandra kemudian ditangkap di Kuala Lumpur oleh sebuah tim yang dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal—kini Kepala Polri—Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Sejumlah perwira tinggi kepolisian kemudian menjadi tersangka. Pinangki diperiksa, ditahan, ditersangkakan, dan dituntut oleh kejaksaan.
Pinangki terdakwa. Ia diadili dan dituntut 4 tahun penjara. Oleh majelis hakim, ia divonis 10 tahun penjara. Jauh lebih berat daripada tuntutan jaksa. Di pengadilan banding, majelis hakim memberikan diskon 60 persen menjadi 4 tahun penjara. Jaksa tidak kasasi. Putusannya berkekuatan hukum tetap.
Namun, jaksa tidak segera mengeksekusi. Pinangki tetap ditahan di kejaksaan. Baru setelah dipersoalkan publik, kejaksaan mengeksekusi Pinangki ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut keterlambatan eksekusi hanya karena urusan teknis.
Berbeda, misalnya, dengan Jaksa Urip Tri Gunawan yang ikut bermain perkara dalam kasus Arthalita Suryani beberapa tahun lalu. Ia divonis 20 tahun tanpa diskon, kecuali remisi.
Apa yang dikerjakan Pinangki, bersama penegak hukum lain, advokat, dan anggota Polri, telah merontokkan wibawa negara hukum Indonesia. Penegak hukum bisa leluasa menemui buron negara. Bahkan, buron itu bisa mondar-mandir ke Indonesia dibantu penegak hukum lain untuk mengurus permohonan peninjauan kembali (PK). Fotonya pun tersebar di media sosial. Sungguh tamparan luar biasa.
Di persidangan Pinangki bungkam siapa ”king maker” di balik operasi pembebasan Joko Tjandra. Inilah mafia peradilan yang sempat menyebut-nyebut nama petinggi hukum negeri ini. Jual beli perkara yang ditengarai sudah berakar sejak Orde Baru.
Praktik mafia itu selalu dibantah. Namun, dalam praktik terjadi. Kasus Pinangki adalah momentum bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengungkap kasus mafia peradilan di Indonesia. Sayang memang, momentum itu dilewatkan begitu saja dan para pemain perkara aman-aman saja.
Pada sisi lain, majelis hakim terus mengobral diskon untuk pemain perkara dan koruptor. Joko Tjandra pun dikurangi hukumannya di tingkat banding. Dalam kondisi demikian, memang wajar jika ada gugatan dan pertanyaan kritis, di mana keadilan hukum di negeri ini. Di mana prinsip kesamaan di muka hukum yang ditorehkan dalam teks konstitusi.