Jaksa Belum Tentukan Sikap terhadap Putusan Banding Joko Tjandra
Diperkirakan jaksa tidak akan mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding yang meringankan hukuman Joko Tjandra. Sebab, hukuman terhadap pemberi suap lebih ringan dibandingkan penerima suap.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum masih belum menentukan sikap terhadap putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas Joko Soegiarto Tjandra. Namun, diperkirakan jaksa penuntut umum tidak akan melakukan upaya hukum kasasi sebagaimana terjadi pada putusan banding Pinangki Sirna Malasari.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Joko Tjandra dari penjara selama 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 100 juta. Meskipun dalam putusannya, majelis hakim menilai bahwa Joko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dalam kasus penghapusan namanya dalam daftar pencarian orang (DPO) dan melakukan permufakatan jahat untuk mengurus fatwa bebas oleh Mahkamah Agung untuk dirinya bersama dengan Pinangki Sirna Malasari selaku jaksa di Kejaksaan Agung.
Jaksa penuntut umum belum menentukan apakah akan mengajukan permohonan kasasi atau tidak. (Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso)
Pertimbangan majelis hakim yang meringankan hukuman Joko Tjandra, antara lain, yang bersangkutan saat ini telah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan MA dalam kasus korupsi hak tagih piutang atau cessie Bank Bali dan telah menyerahkan dana yang ada dalam Escrow Account atas nama rekening Bank Bali qq PT Era Giat Prima milik Joko Tjandra senilai Rp 546,47 miliar.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso, ketika dihubungi, Selasa (3/8/2021), mengatakan, hingga saat ini jaksa penuntut umum masih belum menentukan sikap terhadap putusan banding atas Joko Tjandra. ”Jaksa penuntut umum belum menentukan apakah akan mengajukan permohonan kasasi atau tidak,” kata Riono.
Menurut Riono, jaksa penuntut umum masih memiliki waktu untuk mempertimbangkan hal tersebut. Batasan atau hari terakhir untuk mengajukan permohonan kasasi adalah Senin pekan depan.
Secara terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berpandangan, terkait langkah hukum kasasi tersebut, jaksa dibatasi oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 253. Di pasal tersebut diatur alasan pengajuan permohonan kasasi.
”Jadi, dalam kasus Joko Tjandra, permohonan kasasi dilakukan apabila penuntut umum menemukan dalam putusan hakim ada satu dari tiga alasan yang diatur dalam Pasal 253. Jadi, bisa saja berbeda antara Pinangki dan Joko Tjandra. Jadi, pengajuan kasasi bukan soal karena diputus kurang atau diperberat dari tuntutan,” kata Barita.
Menurut Barita, dalam era ini, penegakan hukum memang harus diselaraskan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun, di sisi lain, pedoman atau batasan bagi jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya adalah undang-undang, yakni KUHP dan KUHAP.
Kuasa hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, ketika dikonfirmasi mengatakan, terhadap putusan di tingkat banding tersebut, Joko Tjandra belum memutuskan langkah selanjutnya. ”Masih pikir-pikir,” kata Soesilo.
Perhatian Presiden
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, berpandangan, pengurangan hukuman terhadap Joko Tjandra sudah bisa diprediksi sejak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman terhadap Pinangki. Sebab, ancaman hukuman bagi penerima suap lebih berat dibanding pemberi suap. Dengan demikian, ketika Pinangki akhirnya dihukum 4 tahun, Joko Tjandra selaku pemberi suap mesti lebih rendah dari itu.
Ancaman hukuman bagi penerima suap lebih berat dibanding pemberi suap. Dengan demikian, ketika Pinangki akhirnya dihukum 4 tahun, Joko Tjandra selaku pemberi suap mesti lebih rendah dari itu. (Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan)
Oleh karena itu, lanjut Agustinus, dirinya tidak yakin jaksa akan melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan banding Joko Tjandra. Sebab, Pinangki sebagai pihak penerima suap yang dengan hukuman maksimal 20 tahun hanya diputus 4 tahun penjara, terlebih Joko Tjandra sebagai pihak pemberi yang hukuman maksimalnya hanya 5 tahun.
”Jadi, sebenarnya jaksa sudah punya alasan untuk tidak melakukan upaya hukum kasasi,” kata Agustinus.
Menurut Agustinus, sedari awal kejaksaan telah bersikap lunak terhadap para terdakwa, khususnya terhadap Pinangki. Berbeda dari lembaga peradilan yang putusannya tidak bisa diintervensi, tuntutan jaksa adalah sikap lembaga kejaksaan secara keseluruhan.
Dengan demikian, sikap lunak terhadap Pinangki tersebut akan selalu menimbulkan pertanyaan dan dugaan terhadap tubuh kejaksaan. Padahal, dalam kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, kejaksaan menuntutnya dengan pidana penjara 15 tahun meski kemudian malah divonis dengan pidana 20 tahun penjara.
Oleh karena itu, Agustinus berharap agar Presiden memberikan perhatian pada kasus ini. Presiden perlu mendengarkan keluhan dan pandangan masyarakat dan memberi perhatian terhadap kasus ini dan kasus-kasus lain, termasuk pemberian keringanan hukuman bagi para koruptor yang melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
”Kita berharap komitmen dan warisan Presiden yang ditinggalkan bagi bangsa, yakni pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang profesional dan bersih, bukan hanya peninggalan berupa infrastruktur,” ujar Agustinus.