”Jangan keras dan kasar, (tapi) tegas dan santun”. Demikian arahan Presiden Joko Widodo kepada Kapolri dan Mendagri terkait penegakan protokol kesehatan, saat memberikan Pengantar Presiden pada Ratas Evaluasi PPKM Darurat di Istana Merdeka pada 16 Juli lalu. Arahan Presiden itu terkait dengan peristiwa pemukulan yang dilakukan oknum Satpol PP, yaitu MH, terhadap sepasang suami istri pemilik warung kopi, saat melakukan patroli dan sidak PPKM di Panciro, Kabupaten Gowa, Gorontalo, 14 Juli 2021.
Buntut dari peristiwa itu, MH menjalani pemeriksaan secara maraton oleh inspektorat pemda. Dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) inspektorat, terbukti MH telah melanggar kedisiplinan ASN sehingga Bupati Gowa pun mencopot jabatannya sebagai Sekretaris Satpol PP. Selain itu, berdasarkan laporan korban kepada Polres Gowa, pihak kepolisian pun memeriksa MH dan saat ini statusnya telah dinaikkan sebagai tersangka atas pelanggaran Pasal 351 Ayat 1 KUHP tentang Penganiayaan.
Baca juga: Tegakkan Prokes, Satpol PP Harus Bekerja dengan Empati
Mengacu dari berbagai sumber, Satpol PP pertama kali dibentuk di Yogyakarta dengan nama Detasemen Polisi Penjaga Kapanewon. Selanjutnya, Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta mengubah nama Detasemen Polisi Penjaga Kapanewon menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja.
Pada 3 Maret 1950, Menteri Dalam Negeri mengubah nama Detasemen Polisi Pamong Praja menjadi Satuan Polisi Pamong Praja. Sejak itu, tanggal tersebut diperingati sebagai hari jadi Satpol PP. Seiring waktu, berbagai perubahan nama dan aturan dialami oleh Satpol PP. Dan, saat ini ketentuan mengenai Satpol PP termaktub dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Posisi Satpol PP di pemerintahan daerah
Mengacu pada Permendagri Nomor 40 tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja, disebutkan bahwa Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah yang mempunyai tugas menegakkan perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dan untuk melaksanakan tugas tersebut, Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.
Apabila kita mengkaji ulang peraturan tersebut, dapat dikatakan bahwa keberadaan Satpol PP di satu daerah tidak memiliki hubungan struktural dengan Satpol PP di daerah lainnya. Satpol PP tidak memiliki jalur komando vertikal antara Satpol PP di tingkat kabupaten/kota dengan Satpol PP di tingkat provinsi. Hubungan kerja diantara mereka hanyalah hubungan koordinasi.
Pasal 16 menyebutkan, Satpol PP provinsi dan Satpol PP kabupaten/kota dalam melaksanakan kewenangannya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi secara vertikal dan horizontal. Jelas, hanya sebatas koordinasi. Posisi Satpol PP berada di bawah pimpinan sekda, dan hanya merupakan bagian dari tugas dan fungsi kerja di lingkungan pemda.
Posisi Satpol PP berada di bawah pimpinan sekda, dan hanya merupakan bagian dari tugas dan fungsi kerja di lingkungan pemda.
Adapun pengawasan untuk anggota Satpol PP, pengawasan melekat kepada mereka hanyalah mengacu pada posisinya sebagai ASN, yaitu yang diatur melalui PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS. Tentu hal itu tidak mengatur dengan jelas dalam hal kaitannya sebagai penegak perda/perkada.
Padahal, dengan tugas tambahan sebagai penegak perda/perkada serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat, pekerjaan Satpol PP tentu akan selalu bersinggungan langsung dengan masyarakat, baik yang secara langsung terkait dengan berbagai perda/perkada maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini membuat keberadaan Satpol PP – di satu sisi – lemah, namun di lain sisi menjadikannya bak raja kecil di tengah masyarakat.
Peninjauan kembali atas posisi Satpol PP
Posisi Satpol PP, di mana mereka adalah pegawai pemda yang mendapatkan tugas dengan fungsi lebih luas dibandingkan ASN pemda fungsi lainnya, membuat Satpol PP harus segera memiliki aturan lebih jelas. Tidak cukup jika sekadar mengandalkan aturan-aturan umum sebagai ASN. Harus ada aturan lain yang mengikat mereka. Harus dibuat kode etik dan komisi etik, seperti halnya Komisi Kode Etik yang dimiliki Polri. Tentunya yang khusus mengatur tugas dan fungsinya sebagai Satpol PP.
Selain itu, juga harus ada Standar Operasional Prosedur tentang berbagai proses pelaksanaan penegakan perda/perkada yang sama bagi semua Satpol PP. Misalnya, prosedur tibum dan sebagainya. Dan, peraturan-peraturan umum itu dikeluarkan oleh tingkat pusat, dalam hal ini Kemendagri. Tidak cukup jika hanya mengandalkan tiap-tiap pemda untuk membuat aturannya sendiri-sendiri, seperti yang terjadi saat ini. Dengan demikian, nanti, posisi Mendagri pun tidak sebatas mendapatkan posisi dan pangkat kehormatan di jalur kepangkatan Satpol PP, tetapi juga memiliki posisi dan kewenangan mengikat.
Baca juga: Menyusuri Sejarah, Fungsi, hingga Tindakan Satpol PP Saat PPKM Darurat
Selain itu, pendidikan terhadap calon anggota Satpol PP pun harus lebih spesifik dan dikelola dengan baik. Tidak cukup hanya dengan pelatihan beberapa waktu. Mereka harus dibekali dengan berbagai pengetahuan, misalnya tentang hak asasi manusia. Kasus pemukulan oknum Satpol PP di Gowa yang berujung pencopotan jabatan dan bahkan menjadi perkara pidana di kepolisian kali ini adalah langka dan dapat menjadi tonggak awal perubahan wajah Satpol PP ke depan.
Wajah Satpol PP juga merupakan wajah pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah yang humanis dan berpihak kepada masyarakat harus disertai dengan wajah Satpol PP yang seharusnya juga humanis dan berpihak kepada masyarakat dengan tetap menegakkan perda/perkada. Seperti disampaikan Presiden Jokowi, (penegakan perda/perkada) hendaklah tegas dan santun, bukan keras dan kasar.
Fitri Rachman, Magister Kajian Ilmu Kepolisian UI; Dosen D-3 Kepolisian dan Sekretaris Pusat Kajian Kepolisian (Pusjianpol) Universitas Langlangbuana, Bandung