Menyusuri Sejarah, Fungsi, hingga Tindakan Satpol PP Saat PPKM Darurat
Satpol PP harus kembali ke khitahnya, yakni menertibkan dan melindungi masyarakat. Sesungguhnya, siapakah dan apa wewenang satpol PP?
Tindakan satuan polisi pamong praja yang melakukan penertiban aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat disertai tindak kekerasan menjadi sorotan akhir-akhir ini. Upaya penertiban dan perlindungan masyarakat tidak selalu harus dengan cara kekerasan.
Petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP) yang melakukan penertiban aturan PPKM darurat dengan aksi kekerasan di Gowa, Sulawesi Selatan, pada Rabu, 14 Juli 2021, lalu menjadi sorotan publik. Terlepas dari perempuan pedagang yang hamil atau tidak, tindak kekerasan ini tidak dapat dibenarkan. Satpol PP harus tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai penyelenggara ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Peristiwa ini juga menjadi pemicu warganet untuk mempertanyakan tugas dan wewenang satpol PP selama ini. Sebab, aksi kekerasan saat melaksanakan penertiban PPKM sudah terjadi beberapa kali. Aksi para petugas satpol PP ini dibungkus dengan narasi upaya penertiban untuk menegakkan peraturan daerah (perda).
Arogansi juga ditunjukkan secara simbolis, misalnya dengan menghancurkan alat atau sarana yang digunakan oleh para pelanggar. Pada 6 Juli 2021, sebuah video (diunggah oleh akun Instagram @polpp.ptk dan kini sudah dihapus) memperlihatkan seorang petugas satpol PP yang menghancurkan ukulele milik pengamen. Mungkin saja, aksi ini diharapkan dapat menebar ketakutan bagi para pengamen agar tidak lagi berkeliaran di jalanan.
Lain lagi dengan aksi satpol PP di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, pada 19 Mei 2021 lalu. Para petugas merazia warung makan yang beroperasi dengan marah-marah sembari menendang kursi yang ada di sana. Sikap arogan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penegakan protokol kesehatan Covid-19.
Kemunculan antipati masyarakat terhadap petugas satpol PP bukan hanya timbul dari aksi marah-marah dan arogansi petugas, melainkan juga cara penertibannya. Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mungkin berhak meluapkan amarahnya terhadap petugas satpol PP meskipun mereka melanggar. Pada 7 Juni 2021, mereka dibubarkan dengan cara disemprot air dari mobil pemadam kebakaran.
Aksi penertiban petugas satpol PP kepada para pemain skateboard di trotoar sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, pada 3 Maret 2021 juga menuai kritik. Dalam sebuah video yang diunggah komunitas pemain skateboard Jakarta terlihat para petugas satpol PP mencoba menyita paksa skateboard milik pelanggar meskipun para pelanggar bersedia membubarkan diri. Padahal, penertiban terhadap para pelanggar tidak harus disertai dengan aksi kekerasan, kecuali para pelanggar memberikan perlawanan atau menyerang petugas.
Sejumlah aksi di luar logika yang dilakukan petugas satpol PP ini perlu dievaluasi pemerintah setempat. Penegakan peraturan yang dilakukan satpol PP kerap diasosiasikan dengan tindakan ancaman, paksaan, penyitaan barang, hingga kekerasan. Maka, dengan melihat kejadian di lapangan seperti itu, ada yang perlu diperbaiki dalam tubuh satpol PP.
Sejarah dan fungsi
Sejatinya, keberadaan satpol PP sudah ada sejak era kolonialisasi Belanda dengan sebutan bailluw. Selain menjaga ketertiban dan ketentraman warga kota, bailluw juga bertugas merangkap jaksa dan hakim untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dan warga kota. Di masa itu, bailluw menjadi cikal bakal kepolisian kolonial dan kemudian berkembang menjadi tiga lembaga.
Lembaga pertama adalah polisi pangreh praja (bestuurpolitie), yang ditempatkan menjadi bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung kepala-kepala desa, para penjaga malam, dan agen-agen polisi yang diperbantukan kepada pejabat-pejabat pamong praja.
Kedua, lembaga polisi umum (algemeene politie) yang merupakan kesatuan khusus dan berfungsi menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepolisian. Ketiga, lembaga polisi bersenjata (gewapende politie) yang tidak lain untuk menopang langgengnya kekuasaan pemerintah kolonial di Batavia.
Baca juga : Kerumunan Dibubarkan dengan Penyemprotan Disinfektan
Pada zaman pascakemerdekaan, wewenang kepolisian pangreh praja sebagai penanggung jawab kepolisian berkurang dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Kemudian pada Oktober 1948, satpol PP didirikan di Yogyakarta atas Surat Perintah Kepala Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 1948 tanggal 30 Oktober 1948 tentang Detasemen Polisi. Akhirnya, satpol PP resmi dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UR32/2/21/1950.
Awalnya, detasemen polisi pamong praja hanya dibentuk di wilayah Jawa dan Madura. Pembentukan satpol PP di Jakarta Raya dipertegas dengan Permendagri Nomor 2 Tahun 1961 tanggal 10 Maret 1961 tentang Pembentukan Polisi Pamong Praja di Daerah Tingkat I Jakarta Raya. Satpol PP di luar Jawa dan Madura baru kemudian dibentuk pada tanggal 30 November 1960 dengan dasar hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 7 Tahun 1960.
Khitah satpol PP diatur dalam Pasal 148 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Fungsi utamanya adalah membantu kepala daerah dalam menegakkan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Kedudukan satpol PP berada di bawah instruksi kepala daerah dan Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan Pasal 4 PP Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, satpol PP menyelenggarakan enam fungsi utama. Keenamnya adalah terkait upaya penegakan, penyelenggaraan ketertiban umum, dan pengawasan jalannya peraturan daerah dan peraturan kepala daerah (perkada). Sementara itu, ada tiga wewenang satpol PP, yakni menertibkan warga, memeriksa warga, dan melakukan tindakan represif non-yustisial bagi pelanggar.
Baca juga : PKL Siap Diatur jika Diizinkan Berjualan
Sayangnya, tidak ditemukan lebih lanjut mengenai tindakan represif non-yustisial bagi pelanggar. Mengutip laman Hukumonline, tindakan penertiban non-yustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh satpol PP dalam rangka menjaga dan memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran perda dan perkada dengan cara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai pada proses peradilan.
Dengan tidak rincinya tindakan represif non-yustisial, satpol PP juga memiliki wewenang yang luas dalam bertindak. Hal ini dapat menimbulkan penyimpangan wewenang, seperti aksi kekerasan dalam penertiban. Begitu juga dengan impunitas ketika anggota satpol PP secara terang-terangan melakukan pelanggaran.
Alasannya, satpol PP yang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa, tetapi tidak memiliki lembaga yang bertugas mengawasi. Hal ini berbeda dengan lembaga lain, misalnya kejaksaan yang memiliki jaksa pengawas dan Komisi Kejaksaan. Sementara kepolisian memiliki Propam dan Komisi Kepolisian Nasional.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat, pergeseran fungsi utama satpol PP secara besar terjadi ketika otonomi daerah diberlakukan pada 1999. Sebab, pemerintahan daerah berpacu untuk melaksanakan pembangunan karena urusan pusat, menurut Pasal 10 Ayat (3), hanya meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, serta kewenangan lain yang ditentukan UU.
Kemunculan antipati masyarakat terhadap satpol PP bukan hanya timbul dari arogansi petugas, melainkan juga cara penertibannya.
Dalam praktiknya, satpol PP dijadikan instrumen garis depan untuk penegakan perda, pengawal pembangunan, dan seakan-akan pemda merasa memiliki kepolisian sendiri dan menafikan eksistensi kepolisian.
Selain itu, persoalan lain ialah adanya tumpang tindih antara kewenangan satpol PP dan Polri dalam hal ketenteraman dan ketertiban umum. Satpol PP sering kali melakukan upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, dan penyitaan, tidak melalui penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di bawah koordinasi kepolisian.
Memang pada awalnya pamong praja dan kepolisian merupakan satu kesatuan, tapi semenjak adanya UU Nomor 1 Tahun 1946, wewenang Pangreh Praja sebagai penanggung jawab kepolisian berkurang. Secara garis koordinasi, kepolisian bertanggung jawab kepada Presiden, sedangkan satpol PP bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri.
Evaluasi dan pembekalan
Tindakan garang yang ditunjukkan lewat aksi arogan sejumlah anggota satpol PP tampaknya pilih-pilih. Sebab, ketika berhadapan dengan organisasi masyarakat atau pihak yang memiliki kapital lebih besar, tindakan satpol PP justru melunak. Ketidaktegasan dalam penindakan ini terlihat dalam pemberitaan Kompas yang melaporkan bahwa satpol PP tidak menertibkan para pedagang hewan kurban di trotoar Jalan Kramat Raya, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Jika dalam kasus tersebut para pedagang dan perwakilan pihak organisasi masyarakat dapat diajak mediasi, hal serupa seharusnya juga dilakukan dalam tiap aksi penindakan pelanggaran. Inkonsistensi ini dapat menimbulkan citra buruk satpol PP di mata masyarakat. Maka, evaluasi diikuti pembinaan lanjut adalah hal penting yang perlu diberikan pemerintah setempat kepada seluruh anggota satpol PP.
Peran pemerintah daerah sangatlah penting dalam penentuan arah hingga praktik satpol PP di lapangan. Judul halaman utama harian Kompas edisi 1 Juni 2019 pernah menyoroti hal ini dengan tajuk ”Satpol PP Cerminan Pemda”. Dituliskan bahwa pendekatan kekerasan yang acap kali dilakukan anggota satpol PP merupakan cerminan dari pemahaman pemimpin pemerintah daerah terhadap perilaku masyarakat yang dianggap melanggar peraturan.
Polisi pamong praja sebagai lembaga dalam pemerintahan sipil harus tampil sebagai pamong masyarakat yang mampu menggalang dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam menciptakan dan memelihara ketenteraman serta ketertiban adalah hal yang perlu didorong dan diupayakan perangkat daerah.
Lagi pula, kehidupan masyarakat dan individu di dalamnya pada dasarnya dinamis, tidak pernah sama. Sebab itulah, diperlukan pendekatan yang humanis, yakni membimbing masyarakat dengan menjunjung harkat martabat tiap individu. Karena hakikatnya, tiap individu memiliki hak asasi yang melekat sejak ia dilahirkan.
Baca juga : Di Balik Melonjaknya Harga Obat dan Oksigen
Pesan Presiden Joko Widodo yang menyoroti penanganan aparat, termasuk satpol PP, saat PPKM darurat terhadap masyarakat, pedagang kaki lima, dan pemilik toko menjadi penegasan perlunya mengedepankan pendekatan humanis. Presiden Jokowi juga memerintahkan jajarannya untuk menghadirkan komunikasi yang menimbulkan optimisme dan ketenangan.
Selain pendekatan humanis, satpol PP dalam menjalankan tugasnya perlu juga menggunakan paradigma hukum progresif. Maksudnya, penindakan hukum selalu disertai semangat untuk berbuat yang baik bagi masyarakat serta menimbang asas keadilan. Akhirnya, adagium lama perlu didengungkan kembali, ”le salut du peuple est la supreme loi”, yang artinya hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Evaluasi Sepekan PPKM Darurat Jawa-Bali