Pandemi Covid-19 momentum bagi bangsa melakukan transformasi sosial dengan menguatkan kohesi sosial dalam bentuk toleransi, tolong-menolong dalam berbagai kegiatan, dan kebijakan publik yang berpihak kepada masyarakat.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Selain menjadi masalah medis yang memorakporandakan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, ada problem penting lain yang menjadi efek dari pandemi Covid-19. Menarik apa yang disampaikan oleh salah seorang presenter ternama bahwa salah satu gejala Covid-19 yang banyak dialami pasien adalah hilang rasa atau anosmia.
Pasien tidak bisa mengecap dan mencium aroma. Ternyata gejala yang sama sedang dialami beberapa pejabat negeri ini. Hilang rasa. Meskipun bukan indera fisik, melainkan rasa untuk peduli, rasa untuk berempati, bahkan bersimpati.
Seperti halnya ketika ada lurah yang justru menggelar pesta pernikahan putrinya di hari pertama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Ada juga anggota DPR yang menolak dikarantina, padahal baru pulang dari luar negeri. Anggota Dewan lainnya meminta pemerintah menyediakan rumah sakit khusus untuk pejabat negara, diikuti pernyataan anggota DPR lainnya: ”Saya tak mau lagi mendengar ada anggota DPR tidak memperoleh tempat di ICU!”
Sense of crisis para pejabat kita membikin miris.
Sense of crisis para pejabat kita membikin miris. Sejumlah menteri melakukan lawatan ke luar negeri di masa PPKM untuk ”mempercepat langkah pemulihan ekonomi nasional melalui peningkatan perdagangan dan investasi”.
Kondisi masyarakat di masa pandemi ini disebut terkendali, sementara kenyataan di lapangan menunjukkan fasilitas kesehatan kolaps menangani pasien yang terus membeludak tak tertangani.
Saat masyarakat sedang kesulitan karena PPKM darurat, seorang menko justru membahas sinetron di media sosial. Para elite Indonesia masih memiliki persoalan sosial berupa sikap meminggirkan nilai-nilai kepentingan umum, kesejahteraan bersama, dan kebangsaan.
Di satu sisi, ini membuktikan ancaman kesehatan ternyata menimbulkan perubahan di semua lini kehidupan, termasuk berefek pada timbulnya disrupsi hubungan, bahkan hingga ancaman cerai-berainya solidaritas sosial.
Terjadi sedimentasi sosial yang berlangsung di berbagai bidang kehidupan bangsa ini. Akibatnya, masyarakat menjadi tersekat-sekat ke dalam hierarki sosial yang mengarah pada degradasi kehidupan sosial.
Sementara di luar sana, banyak pemegang kebijakan di negara-negara yang terkena pandemi menyampaikan permintaan maaf kepada publik secara langsung, bahkan memilih mundur karena merasa gagal menangani pandemi di negaranya.
Kepekaan rasa para pejabat dan elite politik penting sebagai sensitivitas komunikasi yang bisa menumbuhkan kesan positif di masyarakat. Selain sebagai contoh baik, juga bisa menguatkan kondisi sosio-emosional masyarakat yang tak stabil.
Makna nilai
Kepekaan rasa menjadi unsur kognitif dalam diri manusia untuk menerjemahkan baik buruknya sebuah tindakan, kaitannya dengan orang lain di sekitar kita. Mirisnya, ini tidak pernah hadir dalam komunikasi publik para pejabat negara kita. Tak sedikit pejabat yang justru melakukan praktik korupsi terhadap dana krusial di tengah kondisi krisis multidimensi.
Elite politik dan birokrat sudah kehilangan rasa. Kenyataan politik, ekonomi, hukum, dan sosial di masa pandemi ini menunjukkan kepada kita bagaimana rasa tak pernah masuk dalam agenda dan pengalaman hidup manusia kini. Karena rasa bukan sekadar rasa, perasaan, sensasi lahiriah, inderawi, tapi rasa sebagai puncak makna kultural dan spiritual, nilai tertinggi kehidupan dalam hikmah abadi.
Dalam bahasa Sanskerta, misalnya, rasa diartikan sebagai air, sari, inti, dan suara suci. Pigeaud (1960) memunculkan petikan teks: makatanggawa rasagama ri sang hyang kuataramanawadi (rasa menjadi inti atau pokok ajaran agama, norma, dan perbuatan). Petikan lain: hanut rasaning rajamudara iku ta suma (rasa adalah arti yang dalam, yang mengikat, dan menentukan tindakan).
Ki Ageng Suryomentaram mengakui rasa sebagai modal seseorang menjadi manusia tanpa ciri-ciri yang sektarian, egois, dan fanatik. Rasa justru membuat orang bebas dan merasa diri dalam universalitas karena kemauan jadi manusia utuh, lahir dan batin.
Teks Wedhatama garapan Mangkunegara IV mengartikan rasa merupakan titik pertemuan antara manusia dan Tuhan (Mawardi, 2013). Rasa diperlukan dalam kehidupan dan membuat manusia pantas dikatakan manusia.
Maka, kepekaan rasa adalah hal wajib dalam kondisi saat ini, terutama bagi elite politik nasional ataupun lokal.
Maka, kepekaan rasa adalah hal wajib dalam kondisi saat ini, terutama bagi elite politik nasional ataupun lokal. Pandangan, sikap, dan pikiran yang narsis, egois, mau menang sendiri, dan anti sosial kultural harus dihindari.
Justru yang harus ditumbuhkan adalah pikiran dan pandangan saling mengakui, menghormati, dan menghargai dalam wujud soliditas koordinasi dan solidaritas dalam menghadapi tantangan hidup bersama.
Relasi sosial ini bisa terwujud dalam sistem respons yang tak hanya bertumpu pada pemenuhan hasrat kebutuhan pribadi, tetapi juga resiprositas sosial atau timbal balik antar-individu di dalam masyarakat.
Di balik pandemi Covid-19, ia menjadi momentum bagi bangsa untuk melakukan transformasi sosial dengan menguatkan kohesi sosial dalam bentuk toleransi, tolong-menolong dengan lahirnya berbagai bentuk kegiatan, dan kebijakan publik yang lebih memfasilitasi keberpihakan pada kebutuhan masyarakat. Jangan sampai pandemi ini justru jadi bom waktu ancaman tragedi kemanusiaan bagi bangsa dan negara kita.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan