Jangan Mengambil Sepeda Kecuali Punya Sepeda Sendiri
Anak-anak harus diajarkan mandiri sejak dini, bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewajibannya, dan juga bersikap jujur sejak dini. Orangtua memegang peranan penting di sini, selain masyarakat.
Oleh
ANINDITA S THAYF
·5 menit baca
Kalimat ini menyapa saya setiap kali saya keluar rumah dan hendak menuju jalan besar. Penempatannya memang cukup strategis: beberapa langkah dari pertigaan jalan yang selalu ramai. Ditulis dalam huruf besar-besar, dengan cat semprot biru, persis di depan pintu sebuah garasi yang selalu tertutup rapat. Rupanya, garasi itu adalah tempat penitipan sepeda untuk pelajar SMP terdekat. Anehnya, kalimat itu sempat menghantui saya.
Saya terganggu dengan logika kalimat tersebut yang seketika muncul dalam benak saya saat pertama kali membacanya. ”Mengapa pelajar yang sudah memiliki sepeda sendiri dibolehkan mengambil sepeda orang lain, tapi yang tidak memiliki sepeda justru dilarang? Ada apa ini?” Gangguan tersebut barulah berhenti ketika saya menyadari bahwa penulis kalimat hanyalah orang awam yang menulis sesuatu sesuai dengan caranya melafalkan.
Terlepas dari ketidaksempurnaan kalimat di atas, saya menemukan pesan moral penting yang hendak disampaikan pemilik jasa penitipan kepada pelanggannya, para pelajar SMP, yaitu jadilah orang yang jujur. Ambillah sepeda yang jelas-jelas adalah milikmu sendiri. Si pemilik jasa penitipan memang tampak perlu belajar menulis dari seseorang yang paham cara membuat kalimat yang baik dan benar, tapi setidaknya dia tidak perlu belajar soal moral.
Penangkapan koruptor adalah salah satu berita yang rajin muncul akhir-akhir ini di media. Menyertainya, ada pula berita seputar biografi pendek si koruptor yang selalu mendulang banyak komentar pembaca. Para pembaca terkejut saat mendapati kenyataan bahwa, misalnya, koruptor A ternyata seorang lulusan hebat dari universitas luar negeri atau koruptor B adalah penghafal kitab suci dan berayah pejabat rendah hati. Apa yang terjadi dengan moral para koruptor ini?
Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, kita bisa melihat betapa luasnya cakupan kata ”moral” lewat sejumlah padanan kata yang ada, antara lain adab, akhlak, (budi) pekerti, kehormatan, kejujuran, kesusilaan. Meskipun sangat penting dalam kehidupan, moral adalah sesuatu yang paling sulit dipelajari dan diajari. Bahkan ketika pemerintah Orde Baru (Orba) mencoba turun tangan dengan menciptakan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk para pelajar kala itu, moral setiap anak tetap berkembang sendiri-sendiri. Hasil dari didikan pelajaran PMP pun bisa kita lihat sekarang.
Kendati mata pelajaran tentang moral telah berganti nama, semua murid yang pernah belajar PMP adalah para pemegang kendali hari ini. Mereka bukan hanya para koruptor seperti yang tersebut di atas, tapi juga para orangtua, salah satunya tetangga saya.
Sebelum pandemi, tetangga saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Saat pandemi mengganas dan para pelajar dirumahkan, dia berubah menjadi guru pengganti bagi ketiga anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD. Namun, pada hari-hari tertentu, dia juga bisa menyaru menjadi anak-anaknya itu, terutama si bungsu yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar, dengan sangat ahli. Itulah hari di mana dia mengerjakan tugas sekolah anak-anaknya dan menyetorkan hasil kerjanya itu kepada guru mereka atas nama si anak.
Itulah hari di mana dia mengerjakan tugas sekolah anak-anaknya dan menyetorkan hasil kerjanya itu kepada guru mereka atas nama si anak.
Khusus untuk tugas si bungsu, dia selalu mendapat nilai tertinggi. Sebagai ibu, dia merasa sangat bangga atas hal tersebut. Anaknya juga ikut bangga walaupun hanya menyumbangkan nama. Dan saya, sebagai tetangga yang ikut mendengarkan cerita membanggakan itu meluncur dari mulutnya saat sedang membeli sayur di penjual keliling, hanya bisa geleng-geleng kepala. Hingga tiba-tiba saja, beberapa hari setelah itu, si tetangga berdiri di depan pintu rumah saya sambil membawa buku tulis.
Si tetangga ternyata hendak mengajak saya bersekutu. Membantunya mengerjakan tugas mengarang anak sulungnya yang duduk di bangku SMP, yang lemah pada pelajaran Bahasa Indonesia. Permintaan itu jelas saya tolak. Saya menyarankannya untuk menyuruh si anak agar membaca banyak buku supaya bisa membuat karangan yang bagus.
Saya juga menyarankan si tetangga mendaftarkan anaknya di kelas menulis online yang tepercaya, misalnya, yang diampu oleh penulis berpengalaman. Setidaknya, saya berharap, semoga belum terlambat bagi anak tetangga saya itu untuk belajar soal kejujuran dan tanggung jawab, selain belajar mengarang.
Namun, entah apa jadinya jika tetangga saya itu tahu apa yang terjadi minggu lalu. Seorang guru kelas menulis mengirim karangan muridnya ke sebuah koran nasional dengan menggunakan nama sang guru yang kebetulan penulis senior. Apa pun penyebabnya, cerita itu dimuat di koran. Apapun latar belakangnya, guru itu membuat pengakuan bahwa karangan tersebut adalah karya muridnya dan dia hanya menuliskan paragraf pembuka, lalu mengirim atas namanya.
Barangkali, tanpa pikir panjang, tetangga saya akan langsung memasukkan anaknya ke kelas menulis tersebut, dengan menambahkan catatan untuk sang guru. Agar sang guru mau membuatkan tugas mengarang anaknya dan tidak lupa mencantumkan nama si anak pada tugas tersebut, bukan namanya sendiri.
Apa yang dilakukan sang guru menulis dan tetangga saya tidak jauh berbeda. Keduanya bangga atas pencapaian yang diperolehnya dari hasil merampas hak orang lain. Beruntungnya mereka, tidak ada hukuman yang bakal menimpa keduanya sebagaimana yang dikenakan kepada para pejabat yang mencuri uang rakyat. Tidak ada pula sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat seperti hujatan yang tersembur saat melihat foto para koruptor yang berpakaian seragam tahanan dan borgol di tangan.
Hingga hari ini, tetangga saya masih bangga menjadi ibu dari tiga orang anak yang nilai-nilai pelajarannya selalu bagus, padahal sebagian besar tugas sekolah mereka dikerjakan oleh si ibu dan sesekali si bapak. Hingga akhir nanti, sang guru menulis barangkali juga akan selalu membanggakan dirinya sebagai penulis senior jaminan mutu karena namanya ampuh membuat karya apa pun yang ditempeli namanya mesti dimuat di mana pun.
Hingga hari ini, tetangga saya masih bangga menjadi ibu dari tiga orang anak yang nilai-nilai pelajarannya selalu bagus, padahal sebagian besar tugas sekolah mereka dikerjakan oleh si ibu dan sesekali si bapak.
Sementara itu, di garasinya, si pemilik jasa penitipan sepeda tetap berusaha mengajari bocah-bocah pelanggannya agar jangan mengambil sepeda jika bukan miliknya. Adapun saya, di depan meja tulis, berusaha menulis artikel ini sambil menyimpan rasa kasihan atas nasib anak-anak tetangga saya dan murid sang guru menulis.
Bisakah anak-anak itu menjadi manusia dewasa yang mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri, tanpa bantuan orangtuanya, suatu hari nanti? Bisakah murid kelas menulis itu menjadi penulis yang percaya pada karyanya dan namanya sendiri, serta berani melepaskan diri dari campur tangan gurunya?
Barangkali benar sudah tiba masanya guru kencing berlari, murid merekamnya untuk video Tiktok. Rasa malu itu kini tidak ada lagi.