Ketiga ketua umum ”Peradi” menandatangani surat pernyataan bersatu. Sekalipun sedang tidak menjabat sebagai ketua umum, Otto Hasibuan juga hadir. Namun, kesepakatan batal karena beda pendapat dalam pemilihan ketua umum.
Oleh
Bharoto
·3 menit baca
Sudah lebih dari setahun para tenaga lapangan Satgas Covid-19 menjalankan tugasnya. Ada satpol PP, TNI, Polri, dinas perhubungan, sukarelawan, dan tentunya para tenaga kesehatan.
Mereka bertugas tidak kenal waktu, pagi sampai tengah malam, tidak kenal cuaca panas atau hujan. Dimarahi sudah biasa karena bertugas dengan aturan yang sering mendadak berubah, koordinasi lemah antara pusat-daerah dan daerah-daerah, dan berisiko tertular Covid-19.
Sebagai manusia, mereka sama seperti kita. Merasa lelah, jenuh, frustrasi. Belum lagi harus meninggalkan keluarga. Oleh karena itu, sungguh kepada mereka layak diberikan penghargaan setinggi-tingginya atas upaya mereka mewujudkan keselamatan masyarakat.
Mereka adalah pahlawan kemanusiaan. Biarlah Tuhan yang Mahakuasa yang membalasnya.
Bharoto
Jalan Kelud Timur I, Semarang
Menanggapi Peradi
Saya ingin menanggapi berita dalam Kilas Politik & Hukum yang berjudul ”Peradi: Negara Jangan Biarkan Organisasi Advokat Terbelah” (Kompas, 11/6/2021).
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kepengurusan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) terbelah tiga: kepengurusan Juniver Girsang, Luhut MP Pangaribuan, dan Otto Hasibuan.
Terbelahnya kepengurusan terjadi sejak Musyawarah Nasional (Munas) Peradi 2015 di Makassar, Sulsel. Dengan demikian, apa yang disuarakan Otto dalam pemberitaan tersebut di atas jelas tidak menunjukkan suara Peradi secara keseluruhan.
Tidak benar bahwa keterbelahan ini karena dibiarkan oleh pemerintah. Justru para advokatlah yang paling bertanggung jawab atas karut-marut yang terjadi.
Pemerintah bahkan sudah mengupayakan bersatunya Peradi atas prakarsa Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna H Laoly pada 25 Februari 2020.
Ketiga ketua umum menandatangani surat pernyataan bersatu. Sekalipun sedang tidak menjabat sebagai ketua umum, Otto Hasibuan juga hadir mendampingi Fauzie Y Hasibuan.
Namun, kesepakatan tidak tercapai karena dua kepengurusan menghendaki pemilihan ketua umum secara langsung oleh anggota (one person one vote), sementara yang satu menginginkan tetap secara perwakilan.
Melihat tumbuhnya organisasi advokat bak cendawan di musim hujan saat ini, DPR dan pemerintah perlu meneruskan pembahasan RUU Advokat sebagai pengganti UU No 18/2003 tentang Advokat.
Tampaknya wadah tunggal (single bar) sudah tidak memungkinkan lagi, berganti multibar yang menjadi keniscayaan sebagaimana RUU Advokat yang pernah dibahas di DPR tahun 2014.
Denny Kailimang
Advokat
Komunikasi Tulus
Tajuk Rencana Kompas, ”Berkomunikasi secara Tulus”, Selasa (11/5/2021), mengulas sikap sebagian masyarakat terhadap pidato Presiden Joko Widodo ketika meresmikan Hari Bangga Buatan Indonesia, 5 Mei 2021.
Ada yang menilai Presiden tidak peka karena pada saat menjelang Idul Fitri, menyebut makanan asal Kalimantan Barat yang haram.
Merujuk pandangan Jakob Oetama dalam Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus (2004), tajuk di atas mengingatkan bahwa komunikasi adalah pembawaan manusia sebagai makhluk sosial. Bahkan, ada pandangan, manusia tidak bisa tidak berkomunikasi (Paul Watzlawick dkk, Pragmatics of Human Communication, 1967).
Namun, harus dipahami bahwa proses komunikasi itu kompleks karena ada perbedaan latar belakang, pengalaman, sudut pandang, dan seterusnya.
Dalam ”The Communication Iceberg” (Brent D Ruben dan Lea P Stewart, Communication and Human Behavior, 2006), komunikasi itu seperti gunung es. Di puncak ada aspek-aspek yang ”terlihat”, tetapi di bawah ada lebih banyak lagi yang ”tidak terlihat” tetapi krusial: budaya, pemaknaan, subyektivitas, proses negosiasi, konteks, etika.
Alhasil, pesan yang dikirim selalu bisa dimaknai berbeda oleh khalayak penerima. Oleh karena itu, harus diupayakan tercapainya saling pengertian. Dalam konteks berbangsa, ini tidak mudah, tetapi utama.
Sebagai masyarakat majemuk, harus ada kesadaran untuk tidak membesar-besarkan dan mempertajam perbedaan yang sudah ”dari sana”-nya.
Yang harus dikedepankan adalah niat untuk selalu mengolah ”titik-titik kesamaan” dalam kemajemukan tersebut sebagai ”titik berangkat”. Karena itu, ”berkomunikasi secara tulus” menjadi keniscayaan.
Eduard Lukman
Jalan Warga, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan