Thomas Tuchel ”teraniaya” setelah dipecat dari posisi pelatih Paris Saint-Germain meski mengukir beberapa prestasi. Ia bangkit dengan mengantar Chelsea menjuarai Liga Champions.
Oleh
Adi Prinantyo
·5 menit baca
Thomas Tuchel tak akan pernah melupakan hari Kamis, 24 Desember 2020, sehari sebelum Natal, saat ia diberhentikan dari jabatan pelatih klub raksasa Perancis, Paris Saint-Germain. Maklum, Tuchel harus rela melepaskan posisinya itu di tengah prestasi PSG yang fenomenal.
Pemecatan terjadi setelah ia memandu PSG menang telak 4-0 atas Strasbourg. Ini tentu berbeda dengan pelatih lain yang biasanya diberhentikan setelah timnya kalah, biasanya didahului rentetan kekalahan sebelumnya. Rekor PSG selama ditangani Tuchel juga terbilang bagus: 95 kali menang, 13 seri, dan 19 kali kalah dari 127 laga. Poin rata-rata per laga mencapai 2,37, tergolong tinggi karena mendekati 3, poin jika tim menang.
Tak heran, pencopotan Tuchel memancing tanda tanya besar, juga di internal PSG. Asisten Pelatih PSG semasa Tuchel menjadi pelatih utama, Zsolt Low, secara terbuka mempertanyakan pemecatan tersebut. Menurut Low, pencapaian Tuchel di PSG melebihi ekspektasi. Karena itu, dikutip Goal.com, dia terkejut dengan pencopotan tersebut.
”Kami terkejut karena 23 Desember, setelah menang 4-0 atas Strasbourg, Leonardo (Direktur Keolahragaan PSG) menemui kami bersama untuk mengatakan bahwa klub tidak akan bersama Thomas ke depan,” tutur Low kepada Nemzeti Sport.
Ia menambahkan, dengan berbagai pencapaian, seperti menjadi finalis Liga Champions 2019-2020 dan beberapa hari sebelumnya memastikan lolos dari fase grup Liga Champions 2020-2021, pemecatan Tuchel sangat sulit dipahami.
Salah satu hari terpahit bagi Tuchel itu dipengaruhi pernyataannya saat wawancara dengan media Jerman, yang bernada kritis terhadap manajemen klub. Salah satu yang ”tersengat” kritik Tuchel tak lain Direktur Keolahragaan PSG Leonardo.
Saya merasa lebih seperti politisi olahraga atau menteri olahraga daripada seorang pelatih selama menjadi pelatih PSG.
Pernyataan Tuchel itu kurang lebih menandaskan, ”Saya merasa lebih seperti politisi olahraga atau menteri olahraga daripada seorang pelatih selama menjadi pelatih PSG.” Komentar itu dilandasi perbedaan pendapat Tuchel dengan Leonardo terkait belanja pemain. Tuchel meminta perekrutan bek tengah, tetapi yang ditransfer Danilo Pereira, gelandang bertahan. Merasa dipasok pemain tak sesuai kebutuhan, Tuchel memaksa Pereira banyak bermain sebagai bek tengah PSG.
Selepas kemenangan terhadap Strasbourg, seiring ia mendengar ada miskomunikasi, Tuchel berusaha mengklarifikasi. Dikutip mirror.co.uk, ia menegaskan, ”Saya tidak mengatakan ini lebih seperti politik daripada olahraga sebagaimana saya tidak kehilangan suasana nyaman dalam latihan. Ini tidak benar, mungkin ada yang keliru menginterpretasikan.”
Namun, dampak sudah telanjur muncul. Tuchel, pelatih yang dalam sejarah PSG menjadi yang pertama membawa klub elite Perancis itu ke final Liga Champions, harus rela hengkang dari kursi pelatih PSG. Posisinya digantikan pelatih asal Argentina, Mauricio Pochettino.
Fleksibilitas khas Tuchel
Pelatih kelahiran Krumbach, kota berjarak 120 kilometer di sisi barat Muenchen, ini dikenal dengan kedalaman pengetahuannya tentang taktik sepak bola berikut fleksibilitasnya. Sewaktu melatih klub Jerman, Mainz 05, di kurun 2009-2014, Tuchel mengubah Mainz menjadi klub yang fleksibel menghadapi lawannya. Eks pemain tim nasional Jerman, Andreas Beck, menyebut Mainz di bawah Tuchel menjadi klub yang secara taktik fleksibel, bermain cepat, dan terorganisasi.
”Anda akan stres (melawan mereka) karena cara pemainnya berlaga. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana harus bermain melawan Mainz. Mereka sangat tajam. Anda tidak bisa menebak tim (Mainz) yang mana yang akan kita lawan. (Karena) Mereka selalu punya pola baru,” ujar Beck seperti ditulis The Guardian.
Pelatih kelahiran Krumbach, kota berjarak 120 kilometer di sisi barat Muenchen, ini dikenal dengan kedalaman pengetahuannya tentang taktik sepak bola berikut fleksibilitasnya.
Untuk target-target tertentu bagi timnya, Tuchel yang kini berusia 47 tahun itu bisa memprogramkan metode latihan yang benar-benar lain dari yang lain. Demi mengurangi pelanggaran di lini belakang timnya, Tuchel pernah melatih para pemain Mainz menggunakan bola tenis. Asumsinya, jika seorang bek bisa menyerobot bola tenis dari penguasaan lawan, tentu bakal mudah melakukannya dengan bola sepak, yang berukuran lebih besar. Metode ini meminimalkan pelanggaran di lini bertahan Mainz, yang artinya mengurangi peluang lawan dari bola mati.
Tak heran, di masa kepelatihan Tuchel di Mainz, klub semenjana Liga Jerman itu lolos ke Liga Europa 2011-2012, dan secara fenomenal menundukkan klub raksasa Bayern Muenchen, dalam dua pertemuan pada 2010 dan 2011.
Inovasi dan fleksibilitas Tuchel berlanjut saat ia menangani Borussia Dortmund, PSG, dan Chelsea. Di PSG, dia biasa memainkan formasi menyerang 4-3-3 dengan mengoptimalkan dua penyerang sayap: Neymar dan Kylian Mbappe. Namun, formasi itu bisa sewaktu-waktu diubah, menyesuaikan karakter permainan lawan. Setidaknya, ia punya 10 formasi berbeda di PSG.
Bukan finalis unggulan
Di Chelsea setali tiga uang. Adaptasi ”The Blues” terhadap corak permainan lawan menjadi keseharian tim. Karakter ini tetap diterapkan hingga ujung musim, kala Cesar Azpilicueta dan kawan-kawan harus menantang favorit juara Manchester City pada final Liga Champions, 29 Mei 2021, di Stadion Dragao, Porto, Portugal.
City difavoritkan karena sebelumnya merebut trofi juara Liga Inggris 2020-2021. Tak sedikit analisis yang memprediksi Pelatih Manchester City Pep Guardiola bakal ”mengawinkan” trofi Liga Inggris dan Liga Champions, seperti yang pernah dia lakukan bersama Barcelona. Seiring prediksi ini, Chelsea sama sekali bukan tim unggulan.
Namun, seperti ditulis The Sunday Times, Minggu (30/5/2021), Tuchel meluluhlantakkan prediksi itu. Chelsea impresif sejak awal laga, dengan dua peluang Timo Werner dan gol Kai Havertz sebelum istirahat. Jangan lupa, masih ada kans Christian Pulisic di babak kedua. Skor 1-0 untuk Chelsea tak berubah hingga akhir laga dan Chelsea merebut trofi Liga Champions untuk kali kedua.
Meski City unggul dalam penguasaan bola, Chelsea lebih banyak mengukir peluang. Artinya, Tuchel memandu tim asuhannya bermain lebih efektif. Yang juga tak terbantahkan, Tuchel mengoptimalkan kemampuan para pemainnya. Salah satunya N’Golo Kante, yang mampu meredam lini tengah City yang bertabur bintang.
Kesuksesan Tuchel membawa The Blues meraih trofi Liga Champions untuk kali kedua ini, ditindaklanjuti Chelsea dengan perpanjangan kontrak sang pelatih hingga 2024. ”Saya tidak tahu peristiwa apa yang lebih indah daripada perpanjangan kontrak. Saya berterima kasih atas pengalaman di sini dan sangat senang menjadi bagian dari keluarga besar Chelsea,” ujar Tuchel, suami dari Sissi, perempuan pebisnis sukses, dan ayah dua anak perempuan.
Tuchel membuktikan ia mampu berjaya setelah ”teraniaya” saat dipecat dari jabatan pelatih PSG meski mencatat sejumlah prestasi. ”Kami sangat antusias menatap tahap berikutnya dengan penuh ambisi dan antisipasi,” tegas Tuchel penuh optimistis.