Sampai saat ini hiruk pikuk dan segala kegaduhan di dunia maya masih saja terjadi. Meski hasil survei Litbang Kompas menunjukkan penerimaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan, masih saja ada kelompok yang terus mencari-cari kesalahan. Bangsa kita tampaknya sedang terbelah.
Kalau dirunut ke belakang, hal itu dimulai dari Pilpres 2014, 2019, dan Pilkada DKI 2017. Ada pula faktor-faktor yang memperparah, antara lain hoaks, ujaran kebencian, post-truth, populisme agama, politik identitas, radikalisme, dan eksklusivisme beragama.
Beberapa indikasi menjurus ke sana sekalipun Prabowo-Sandiaga telah bergabung dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Nyinyiran dari pihak yang dulu mendukung pesaing tidak berhenti. Juga masih ada yang tidak percaya hasil investigasi Komnas HAM soal kasus penembakan anggota FPI, tidak peduli terhadap peristiwa bom bunuh diri di Makassar, dan sebagainya.
Memang dalam konstelasi internasional, AS sebagai negara kampiun demokrasi, pada era Trump juga terbelah. Pandemi Covid-19 telah membawa dampak yang dahsyat bagi kita semua karena memorakporandakan sendi-sendi kehidupan. Tidak ada jalan keluar kecuali semua komponen bangsa bersatu padu memulihkan diri.
Keterbelahan bangsa jelas akan mengganggu proses pemulihan. Sekalipun jumlah kasus positif mulai menurun, masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Oleh karena itu, salut kepada harian Kompas yang dengan konsisten memberikan informasi yang obyektif, independen, berimbang, serta akurat, apalagi didukung litbang yang andal. Saya meyakini ini dapat menyumbang agar keterbelahan bangsa tidak semakin parah.
Semoga Kompas tetap teguh mewujudkan misinya yang mulia: mengemban amanat hati nurani rakyat.
BHAROTO
Jalan Kelud Timur, Semarang
Tepat Waktu
Baguslah dalam analisis politiknya, Yudi Latif berbagi frustrasi dengan kita dalam ”Penghancuran Pencapaian” (Kompas, 6/5/2021). Bagus pula bahwa Kompas memuat gerundelan Yudi Latif itu.
Munculnya ”Penghancuran Pencapaian” diikuti diskusi di Kompas TV, dipandu Bayu Sutiyono. Semua tepat waktu (opportune/timely) dengan tes wawasan kebangsaan di KPK serta konsekuensi bagi 75 pegawai KPK yang tidak lulus.
Pers memang seharusnya menjadi unsur keempat melengkapi Trias Politica.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga
Klarifikasi
Saya sangat senang tulisan singkat saya dimuat di rubrik ”Surat Pembaca”, Senin (10/5/2021). Namun, saya keberatan dengan penghapusan salah satu contoh kasus yang saya sebutkan.
Aslinya saya menyebutkan dua contoh, yakni tentang LGBT dan HTI seperti ini. Pertanyaan-pertanyaan semisal ”Apa pendapat Anda terhadap LGBT?” atau ”Apakah Anda setuju terhadap pembubaran HTI?” dan seterusnya.
Lalu pada paragraf terakhir, aslinya adalah ”Seseorang yang setuju dengan pelegalan LGBT tidak otomatis memiliki keinginan merusak nilai dan moral bangsa. Begitu juga seseorang yang menentang pembubaran HTI tidak lantas memiliki keinginan untuk menghapuskan republik”.
Saya menyebut dua contoh tersebut dengan tujuan tertentu terkait keberpihakan saya. Akan tetapi, Kompas telah menyunting salah satu contoh dan merugikan saya.
Muhammad Ilfan Z
Mahasiswa Sosiologi, UI
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas tanggapan yang Saudara sampaikan.
Redaksi Kompas berhak menyunting tulisan yang dimuat, sesuai dengan tempat yang tersedia ataupun garis kebijakan Kompas secara keseluruhan.
Dalam tulisan Saudara, maksud dan tujuan utama untuk mengingatkan soal tes kebangsaan sudah disampaikan. Tidak ada makna yang hilang saat pemuatan.