Di tengah kuatnya tarikan individualisme, primordialisme, ataupun sektarianisme, kian besar tantangan bagi Ibu Pertiwi untuk terus menjaga solidaritas tumbuh subur di Nusantara.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Bencana datang silih berganti menerpa seluruh negeri, mulai dari pandemi hingga gempa bumi. Namun, situasi sulit tak membuat solidaritas rakyat menjadi mati.
Solidaritas sosial justru semakin tumbuh subur, bak jamur di musim hujan, hingga ke pelosok-pelosok negeri dari barat sampai timur. Ketika banjir bandang melanda Bima, Nusa Tenggara Barat, pekan lalu, warga dari banyak daerah tak terdampak langsung turun tangan sukarela mengirimkan bantuan, meski harus menempuh puluhan kilometer dengan bersepeda motor. Berbagai lapisan warga menggalang dana bantuan.
Solidaritas juga berkembang di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang juga diterjang banjir bandang. Tanpa memandang perbedaan kaya miskin, agama dan kepercayaan, mereka bergandengan tangan, bahu-membahu mengatasi bencana.
Terekam fotografer Kompas, dua perempuan berkerudung, satunya biarawati Katolik dan satunya lagi gadis Muslim berhijab, saling bergandengan, saling menguatkan, berdoa di kuburan massal, 37 korban banjir bandang. Foto itu mengajarkan banyak nilai. Fenomena serupa juga terlihat di Lumajang, yang terdampak paling parah akibat gempa yang melanda Jawa Timur, Sabtu (10/4/2021).
Solidaritas yang tercipta di antara warga yang secara kasatmata berbeda-beda latar belakang itu menunjukkan betapa kuatnya ikatan di antara mereka. Solidaritas pasti terbangun karena perasaan senasib sepenanggungan. Keterikatan bersama dalam kehidupan itu, menurut Emil Durkheim, juga terjadi karena disokong nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Gotong royong merupakan nilai moral yang sudah mengakar dan diwariskan turun-temurun.
Gotong royong merupakan nilai moral yang sudah mengakar dan diwariskan turun-temurun.
Semangat solidaritas ini tentu perlu terus dipupuk dan ditumbuhkembangkan. Solidaritas yang terus berkembang pada akhirnya akan memunculkan pengalaman emosional sehingga akan terus memperkuat hubungan antar-anak bangsa. Solidaritas sosial bahkan menjadi solidaritas besar yang oleh Ernest Renan disebut sebagai perekat sebuah bangsa.
Semangat ini jangan sampai tak terurus dan kemudian layu bahkan menjadi mati. Prasangka, kebencian, dan rasisme adalah racun bagi tumbuhnya solidaritas sosial. Gordon Allport, ahli psikologi, mengingatkan bahwa kurangnya kontak bisa menjadi penyebab timbulnya prasangka, kebencian, dan rasisme tersebut. Tanpa kontak erat, orang menjadi cenderung menggeneralisasi berlebihan mengenai orang yang belum dikenalnya. Sebaliknya, dengan kontak erat akan membuat mereka yang berbeda-beda akan saling mengerti dan melindungi satu sama lain.
Di tengah kuatnya tarikan individualisme, primordialisme, ataupun sektarianisme, kian besar tantangan bagi Ibu Pertiwi untuk terus menjaga solidaritas tumbuh subur di Nusantara. Untuk merawatnya, kita perlu terus menggemakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini beraneka ragam ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, tetapi sesungguhnya satu.