Pelaku bom bunuh diri, belajar dari kasus sebelumnya yang terjadi sejak bom Bali I tahun 2002, biasanya tidak sendiri. Sering kali mereka digerakkan jaringan serta bekerja dalam senyap dan rapi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Serangan bom bunuh diri di Makassar sungguh mengejutkan sekaligus menyadarkan kita bahwa akar terorisme belum tercerabut dari negeri ini. Tidak boleh lengah.
Tragedi yang terjadi di pintu gerbang Katedral Hati Kudus Yesus, Makassar, Minggu (28/3/2021) pagi, dan menyebabkan 20 warga terluka itu benar-benar tak terbayangkan akal sehat. Di tengah seluruh bangsa bahu-membahu mencurahkan energi melawan serangan virus SARS-CoV-2 yang telah merenggut 40.000 lebih nyawa dan menyebabkan 1,4 juta orang terinfeksi, masih ada pihak yang justru membuat aksi teror.
Terlepas dari pemikiran Thomas Hobbes bahwa manusia itu pada dasarnya jahat atau, sebaliknya, pemikiran Jean-Jacques Rousseau bahwa manusia itu sesungguhnya baik, aksi keji itu jelas antikehidupan. Semua tokoh agama pun mengecam tindakan keji yang mengusik kedamaian umat Kristiani yang sedang merayakan Minggu Palma, bagian dari Pekan Suci mengenang Yesus Kristus melakukan penyelamatan dengan penebusan dosa manusia lewat penderitaan di salib.
Pelaku bom bunuh diri, belajar dari kasus sebelumnya yang terjadi sejak bom Bali I tahun 2002, biasanya tidak sendiri. Sering kali mereka digerakkan jaringan serta bekerja dalam senyap dan rapi, seperti dikatakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Perintah Presiden Joko Widodo kepada kepolisian agar segera mengidentifikasi pelaku dan membongkar jejaring hingga ke akar semoga bisa segera terwujud meskipun hal itu sangat kompleks dan tidak mudah.
Teror dalam bahasa Latin adalah terrere, yang berarti menimbulkan ketakutan, kepanikan, kengerian di hati dan pikiran korban. Bangsa ini tentu tidak boleh takut terhadapnya. Meski demikian, bukan berarti juga kita menjadi lengah dan tidak waspada.
Kajian Lembaga Ketahanan Nasional pada Juli 2020 menunjukkan bahwa indeks ketahanan nasional mengalami penurunan ke angka 2,7 dibandingkan dengan sebelum pandemi, yakni 2,82. Apabila sebelum pandemi berada di kategori cukup tangguh, kini bergeser menjadi mendekati kurang tangguh. Pandemi Covid-19 selama 5 bulan telah menyapu upaya pembangunan ketahanan nasional yang telah dilakukan selama 5 tahun.
Peristiwa bom bunuh diri di era pandemi perlu direspons cepat dan tepat. Seperti halnya mengatasi penyebaran virus SARS-CoV-2, mereka yang telah tertular virus terorisme perlu segera dilacak, diisolasi, dan disembuhkan. Pandemi membawa dampak pada berbagai sendi kehidupan. Penguatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya perlu menjadi perhatian.
Untuk mencegah virus terorisme menular ke yang lain, penguatan imunitas juga perlu dilakukan sungguh-sungguh, cepat, dan terus-menerus. Vaksin antiterorisme, yaitu ajaran cinta perdamaian, seperti halnya spirit Minggu Palma, perlu disuntikkan hingga ke seluruh negeri untuk melawan virus yang menularkan kebencian. ”Cinta tak pernah meminta, ia senantiasa memberi. Kalaupun membawa penderitaan, cinta tak pernah mendendam. Di mana ada cinta, ada kehidupan. Sementara kebencian membawa kemusnahan,” kata Gandhi.