Ekspor teknologi digital menjadi isu sensitif. Di luar persoalan bisnis, belakangan muncul isu keamanan nasional, intelijen, dan aktivitas spionase terkait dengan penjualan produk-produk teknologi digital.
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
CEO Tesla Elon Musk dibuat geli dan mungkin repot ketika ekspor mobil listrik bermerek Tesla ke China dituduh sebagai bagian dari kegiatan spionase Amerika Serikat. Ia sampai bersumpah, ekspor produknya tidak dalam rangka memata-matai dan tidak ada maksud melakukan spionase. Belakangan ekspor teknologi digital memang menjadi isu sensitif.
Awal pekan ini, Pemerintah China telah meminta agar para anggota militer dan pejabatnya tidak menggunakan Tesla karena mencemaskan produk itu bakal mengancam keamanan nasional. Kecemasan China itu terkait dengan beberapa teknologi yang ada di mobil itu, yaitu kamera mobil serta kemampuan sensor yang mampu menangkap dan menyimpan gambar berikut lokasinya secara akurat.
Pemerintah China juga berkeberatan dengan beberapa fasilitas mobil listrik tersebut yang memungkinkan orang lain bisa melacak perjalanan dan mengetahui bagaimana perilaku sopir menggunakan mobil itu.
Kontan saja Elon Musk menjelaskan soal isu itu. Di beberapa media ia meyakinkan bahwa produknya tidak memiliki maksud tersembunyi. Oleh karena itu, ia berjanji akan menutup Tesla jika kelak diketahui digunakan untuk kepentingan spionase.
Tesla berkepentingan dengan pasar China karena negara ini merupakan pasar kedua terbesar Tesla setelah Amerika Serikat. Sejak tahun 2018, pabrik Tesla dibangun di Shanghai. Tahun lalu penjualan Tesla 147.445 unit atau sekitar 30 persen pasar mobil listrik. Setelah pernyataan China itu, sejauh ini penjualan dua tipe Tesla di China tetap lancar dan tidak terpengaruh.
Isu ini kemungkinan muncul karena terkait dengan perseteruan China dengan Amerika Serikat secara global. Perseteruan ini juga berkembang dan berlanjut di lingkup perusahaan berbasis teknologi digital sejak beberapa waktu lalu. Sebelumnya, ada beberapa kasus seperti pemblokiran Huawei di Amerika Serikat dan persoalan TikTok yang membuat kedua negara beradu pernyataan di forum global.
Di luar persoalan bisnis, belakangan muncul isu intelijen dan aktivitas spionase terkait dengan penjualan produk-produk teknologi digital. Kedua negara kini semakin ketat dalam mengawasi lalu lintas pengiriman dan peredaran produk teknologi ke berbagai negara. Beberapa kementerian di kedua negara dilibatkan untuk mencermati dan memperketat penjualan produk teknologi ke luar negeri agar keamanan nasional mereka terjamin.
Di dalam sebuah tulisan berjudul ”Too Big to Prevail” di jurnal Foreign Affairs edisi Maret-April tahun lalu, permasalahan ekspor produk teknologi ini dibahas. Banyak negara Barat, secara khusus Amerika Serikat, melihat bahwa berbagai perusahaan teknologi, seperti Facebook, Google, dan Amazon, sudah terlalu besar. Mereka bisa mengatur dan berkuasa melebihi kekuatan negara. Kemudian ada usulan agar mereka diatur dan mulai ”ditekan” agar tidak terlalu besar.
Akan tetapi, para pemilik perusahaan teknologi berargumentasi, ketika pasar dan kekuatan mereka diperkecil, yang akan membesar adalah perusahaan teknologi asal China. Perusahaan asal China akan semakin berkuasa dan masuk ke banyak negara dengan mudah.
Apabila berbicara China, yang perlu dipertimbangkan selanjutnya adalah keamanan negara dan pengaruh mereka. Isu ini kemudian mereda dan banyak pihak berpikir ulang untuk menekan peran dan kekuatan perusahaan teknologi.
Isu kepentingan keamanan nasional, spionase, dan intelijen kemudian lebih dominan ketika membicarakan perusahaan teknologi di tengah konflik China dengan Amerika Serikat.
Kalangan Barat berpendapat bahwa China tidak akan mendiamkan produk-produk teknologi mereka sebatas sebagai barang jualan semata, tetapi juga menjalankan fungsi spionase dan pemantauan. China juga akan membuat produk mereka sebagai bagian dari politik pengaruh di luar negeri, semisal membuat ketergantungan negara tertentu terhadap China.
Negara-negara Barat kemudian lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan China terkait produk-produk teknologi. Kementerian Perdagangan Amerika Serikat menyatakan produk teknologi ”mempunyai kekuatan” sehingga urusan ekspor harus lebih hati-hati. Mereka mengeluarkan pembatasan untuk produk-produk tertentu dan menyatakan sebagian sebagai produk sensitif, seperti produk berbasis kecerdasan buatan yang penting bagi keamanan negara.
Negara-negara Barat juga melihat beberapa kelemahan perusahaan-perusahaan teknologi yang terkesan naif dan tidak peduli dengan keamanan negara serta ancaman China.
Perusahaan teknologi terkesan bergerak dan beraksi sebatas kepentingan dagang semata namun tidak mau peduli dengan persoalan demokrasi dan keamanan nasional. Mereka kerap dituduh terlalu mudah melepas berbagai produk mereka tanpa mempertimbangkan aktivitas intelijen dan spionase dari musuh-musuh mereka.
Sebaliknya, China lebih berhati-hati dan cermat dalam mengekspor produk teknologi mereka. Beberapa produk berbasis kecerdasan buatan tidak mudah dijual ke luar negeri seperti dalam kasus penjualan saham TikTok ke perusahaan Amerika Serikat. Mereka lama memberi keputusan karena di dalam aplikasi itu terdapat algoritma yang masuk kategori sensitif untuk kepentingan nasional. China lebih rapi dalam mengambil keputusan untuk penjualan produk-produk dari negeri itu.
China sejak awal mempunyai sudut pandang bahwa produk teknologi, selain memiliki aspek komersial, juga memiliki implikasi militer. Mereka selalu mempertimbangkan masalah ini.
China memang lebih mudah melakukan ini karena dengan doktrin ”fusi sipil-militer”, berbagai kepentingan sejak awal bisa diadopsi. Mereka yang bekerja, baik dari kalangan swasta, pemerintah, maupun militer, bisa langsung bekerja sama mengembangkan produk, semisal berbasis kecerdasan buatan sehingga kepentingan keamanan sejak awal sudah menjadi bahan pertimbangan.
Dengan kerja sama antar-berbagai pihak di internal China, maka sangat mungkin mereka semakin sensitif dengan isu spionase dan ancaman keamanan nasional. Ibaratnya sejak lahir mereka telah mewaspadai berbagai produk teknologi digital bisa menjadi ancaman keamanan. Mereka juga mengetahui secara detail potensi-potensi rongrongan keamanan nasional melalui kehadiran produk teknologi dari luar negeri.
Isu keamanan, spionase, dan kepentingan intelijen belakangan memang semakin menonjol, tetapi permasalahan itu tak mudah ditangani karena mobilitas talenta digital juga semakin berkembang. Kebutuhan talenta teknologi mengharuskan mereka membuka kesempatan dan peluang warga negara asing untuk mempelajari produk-produk teknologi dan risetnya.
Bahkan, sebagian dari riset dikerjakan oleh orang-orang asing sehingga negara tidak bisa sepenuhnya membatasi akses warga asing terhadap riset teknologi. Beberapa di antara mereka sangat mungkin ada yang menjalankan fungsi spionase dan intelijen.