Penulisan di- sebagai awalan (disambung dengan kata yang mengikutinya) dan di sebagai preposisi (dipisah dengan kata yang mengikutinya) belum dipahami. Penguasaan teknologi tidak seiring dengan kecermatan berbahasa.
Oleh
Mustakim
·3 menit baca
Saya adalah warga senior, di atas 70 tahun, ikut Askes sejak tahun 1970-an. Saya sakit jantung dan setiap bulan harus kontrol ke rumah sakit. Untuk dapat berobat ke rumah sakit, harus ada surat rujukan dari puskesmas.
Kalau dulu surat rujukan cukup sekali, dapat dipakai berobat di rumah sakit selama masih perlu kontrol. Sekarang surat kontrol itu hanya berlaku tiga bulan atau tiga kali kontrol. Masalah timbul apabila waktu mau meminta surat rujukan, ada sakit lain yang diderita. Pihak puskesmas akan menyuruh memilih, mau membuat surat rujukan dulu atau berobat.
Masalah kesehatan yang belum dipilih harus diurus pada hari lain. Kalau sekali datang dua masalah terselesaikan, mengapa harus dua kali? Saya tanya itu aturan dari mana? Dijawab oleh petugas administrasi dan dokter yang memeriksa, itu aturan dari BPJS. Ini saya alami waktu ke Puskesmas Tugu, Depok, 20 Maret 2021.
Peraturan BPJS tersebut sangat tidak efisien dan tidak manusiawi, apalagi bagi warga yang sudah senior. Jika warga dalam keadaan sakit, untuk ke puskesmas saja sudah memerlukan perjuangan tersendiri. Yang mengantar juga belum tentu ada, masih antre pula.
Saya mengusulkan BPJS mengubah peraturan tersebut menjadi enam bulan sekali atau satu tahun. Syukur-syukur bisa seperti zaman sebelumnya, surat rujukan cukup sekali dan dapat dipakai selama diperlukan untuk berobat yang berkelanjutan di rumah sakit yang sama.
Dulu bisa, mengapa sekarang tidak?
MUSTAKIM
Pondok Duta 1, Tugu, Cimanggis, Depok 16451
”Di” Pisah atau Sambung?
Sesudah disuntik vaksin anti-Covid-19 di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, para lanjut usia (lansia) berpose di depan pojok-foto yang tersedia di kawasan vaksinasi.
Tidak ada yang mengomentari tulisan pada backdrop. Seorang lansia yang saya lihat hanya membaca tulisan ”saya sudah di vaksin”, tetapi terus pergi tanpa bicara apa pun.
Penulisan kata di vaksin salah menurut kaidah tata bahasa. Seharusnya divaksin karena di- adalah awalan sehingga harus ditulis serangkai dengan kata dasar yang mengikutinya.
Kesalahan penulisan serupa juga saya baca pada stiker penyegelan bangunan di Bogor, beberapa waktu lalu. ”Bangunan/tempat ini di tutup/di segel sementara”.
Ada kesalahan konsisten pada tulisan itu: di tutup (seharusnya ditutup) dan di segel (seharusnya disegel).
Di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, sebuah kafe ditawarkan untuk dijual seperti tertulis pada spanduk pendek, di jual (seharusnya dijual), terpasang di bagian depan bangunan (foto di Kompas, 8/3/2021).
Suatu kali, saya mendapat kiriman (bahan) minuman tradisional khas Yogyakarta. Pada petunjuk pembuatannya tertulis: ”jahe di geprek; semua bahan di tuangi air panas atau di rebus”. Lagi-lagi, ada kesalahan beruntun dalam penulisan kata-kata petunjuk itu. Rupanya penulisan di- sebagai awalan (disambung dengan kata yang mengikutinya) dan di sebagai preposisi (dipisah dengan kata yang mengikutinya) belum dipahami.
Surat ini terpaksa saya tulis karena tampaknya masih sering terjadi kebingungan. Kesalahan serupa lazim terjadi di berbagai platform digital atau media sosial yang beredar di ruang publik.
Kesannya, penguasaan atas teknologi (informasi) tidak seiring dengan kecermatan dalam berbahasa.
Lebih dari seabad silam, Lie Kim Hok, seorang penulis, sudah menjelaskan perbedaan di dan di- dalam bukunya, Malajoe Batawi: Kitab deri hal perkataän-perkataän Malajoe, hal memetjah oedjar-oedjar Malajoe, dan hal pernahkan tanda-tanda batja dan hoeroef-hoeroef besar (1884; ejaan asli). Tulisnya, ”di djadi satoe perkataän, djikalaoe ija [maksudnya preposisi di] ada di depan nama tempat: di Bogor, di roemah, di atas. Ija djadi sabagian deri perkataän, djika ija di depan boekan nama tempat: dibatja, diambil, ditanja d.l.” (saya tulis dalam kolom Bahasa, Kompas, 16/10/2009).
Beruntung ada Pak Liek Wilardjo dari Salatiga—dan beberapa penulis lain—yang selama ini telaten métani kesalahan berbahasa melalui ruang surat pembaca ini.
Rupanya kita perlu semacam ”editor publik” untuk meluruskan masalah teknis kebahasaan yang mungkin timbul di ranah umum.