Aspek Etis Kebijakan Ekonomi di Masa Pandemi
Langkah pemerintah untuk turun tangan dalam menempuh kebijakan di masa pandemi ini sudah tepat. Namun, pemerintah juga jangan sampai terjebak pada dorongan untuk menjadikan daya regulasi semakin mencengkeram.
Di tengah kondisi Covid-19 saat ini, kerap muncul pertanyaan dilematis, ”Manakah yang harus didahulukan: masalah kesehatan atau masalah ekonomi?”
Pemerintah seolah harus memilih antara menyelesaikan masalah kesehatan dan mengatasi masalah ekonomi. Dilema ini semakin dipertajam dengan munculnya polemik di kalangan masyarakat soal efektivitas program pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro.
Membatasi kegiatan masyarakat dianggap dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi, sementara melonggarkan kegiatan ekonomi dapat memicu risiko lonjakan pasien.
Baca juga: Robohnya Fasilitas Kesehatan Kita
Ekonomi Indonesia tahun 2020 terkontraksi 2,07 persen. Meskipun menunjukkan perbaikan dari triwulan ke triwulan, peningkatan perbaikan tidak secepat yang dikira. Sementara itu, jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia secara keseluruhan telah menembus angka 1 juta orang dengan angka kematian lebih dari 30.000 orang.
Kita bersyukur karena tingkat kesembuhan pasien sudah semakin baik dari hari ke hari. Tentunya kita juga berharap dengan kehadiran vaksin yang membawa optimisme dalam pemulihan ekonomi.
Kita bersyukur karena tingkat kesembuhan pasien sudah semakin baik dari hari ke hari.
Bank Indonesia dalam ”Laporan Perekonomian 2020” menyebutkan, kesuksesan program vaksinasi dan disiplin penerapan protokol Covid-19 merupakan prasyarat bagi proses pemulihan ekonomi nasional.
Aspek etis ekonomi
Pada akhir Januari 2021, Presiden Joko Widodo telah membuat pernyataan tegas bahwa kesehatan dan ekonomi itu sama penting dan harus diselesaikan secara bersamaan. Ungkapan Presiden ini tepat sekali, terutama apabila kita menempatkan bangunan ilmu ekonomi dalam kerangka kehidupan masyarakat sehari-hari. Hampir menjadi keyakinan banyak orang, bahkan di kalangan ekonom sendiri, bahwa urusan ekonomi itu berada dalam sebuah kompartemen terpisah.
Akhirnya, ketika terjadi masalah seperti krisis kesehatan atau lingkungan, muncul anggapan bahwa hal itu berada di luar bangunan ekonomi. Padahal, aspek kesehatan merupakan bagian tak terpisahkan dari aspek ekonomi, sosial, dan kehidupan seseorang.
Baca juga: Prioritas Tangani Pandemi
Dalam bukunya, The Great Transformation (1944), Karl Polanyi mengangkat gagasan tentang ketertanaman ekonomi (embedded economy) yang tidak memisahkan ekonomi dari kehidupan sosial dan politik. Masih menurut Polanyi, ekonomi itu tertanam secara organik dalam masyarakat dan alam.
Upaya memisahkan ekonomi sebagai sistem yang terpisah dengan hukumnya sendiri telah memutuskan kaitan organik dan menyubordinatkan masyarakat dan alam ke dalam ekonomi.
Tidak pernah dalam sejarah suatu sistem sosial terpisah atau menjadi subordinat ekonomi. Ekonomi manusia selalu tertanam dalam masyarakat dan alam. Ketertanaman berarti bahwa ekonomi tak pernah otonom, malahan cenderung sebagai subordinat dari politik dan masalah sosial lain.
Baca juga: Ekonomi Pascapandemi
David Harvey, ekonom dan ilmuwan geografi, berpandangan seperti Polanyi. Menurut dia, pembangunan yang digerakkan oleh kinerja kapitalisme telah membawa aksi pelakunya untuk berlari cepat mengejar keuntungan dan pertumbuhan yang berlipat ganda.
Berkembangnya teknologi internet dan transportasi kian mempercepat gerak arus modal ke berbagai penjuru dunia. Akibatnya, dimensi etis kerap terpinggirkan dalam derap langkah arus modal, bahkan dipisahkan keluar dari bangunan ekonomi.
Akibatnya, dimensi etis kerap terpinggirkan dalam derap langkah arus modal, bahkan dipisahkan keluar dari bangunan ekonomi.
Hal ini menjadi semakin problematik di tengah kondisi pandemi saat ini. Dalam kondisi yang berubah dengan cepat, kemampuan masyarakat dalam melakukan penyesuaian atas berbagai perubahan tersebut tidak setara akibat struktur sosial yang berbeda.
Contoh sederhana yang dapat kita lihat, misalnya, aturan ”menjaga jarak” untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. Aturan itu baik dan tak menjadi masalah untuk sebagian kelompok masyarakat, tetapi menjadi sulit diterapkan pada masyarakat yang tinggal di wilayah padat dan area miskin.
Baca juga: Efektivitas PSBB
Demikian pula kebijakan pendidikan melalui daring yang harus ditempuh dalam kondisi pandemi. Namun, untuk sebagian masyarakat, terutama di kalangan miskin, ketidaktersediaan perangkat internet, fasilitas komputer, hingga ketiadaan telepon genggam menjadi sebuah masalah besar.
Kebijakan ekonomi di masa pandemi
Masalah kesehatan dan ekonomi harus saling tertanam dalam satu jalinan tatanan masyarakat. Dengan demikian, pertimbangan etis menjadi penting dalam memilih kebijakan di masa pandemi.
Kebijakan ekonomi perlu menyeimbangkan kepentingan dari kelompok masyarakat yang kaya, menengah, pengusaha, pekerja, hingga masyarakat miskin. Upaya melindungi masyarakat yang berada di kelompok kurang beruntung perlu menjadi prioritas karena dampak pandemi menyangkut pada urusan hidup mati mereka.
Kita tentu perlu mengapresiasi langkah pemerintah untuk menyelamatkan kelompok masyarakat miskin yang terdampak pandemi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Baca juga: Tahun 2021: antara Pandemi dan Pemulihan Ekonomi
Di tahun 2021, pemerintah menganggarkan biaya untuk pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 627,9 triliun yang digunakan untuk memberikan perlindungan sosial, kesehatan, dukungan kepada UMKM dan koperasi, insentif usaha dan pajak, serta beberapa program prioritas.
Peran pemerintah dengan daya regulasinya adalah pilihan etis yang dibutuhkan di masa pandemi ini untuk melindungi masyarakat yang tak beruntung. Dalam kondisi seperti ini, kita tak bisa menyerahkan nasib pada kekuatan pasar semata.
Sungai sejarah ekonomi, sebagaimana dapat dilihat pada Capital and Ideology karya Thomas Piketty, selalu berayun di antara dua pendulum, kebebasan berusaha dan daya regulasi.
Dalam kondisi seperti ini, kita tak bisa menyerahkan nasib pada kekuatan pasar semata.
Ketika ekonomi didominasi oleh kebebasan berusaha yang berlebihan atau bahkan sebaliknya, didominasi oleh daya regulasi yang mencengkeram, tatanan masyarakat akan diwarnai oleh dehumanisasi.
Neoliberalisme yang memberikan ruang kebebasan berusaha berlebihan sama berbahayanya dengan otoritarianisme, fasisme, komunisme, dan ultrakanan yang memberikan ruang cengkeraman regulasi berlebihan.
Menyikapi hal ini, pengambil kebijakan perlu mencari titik optimum untuk menyeimbangkan elemen ”kebebasan berusaha” dan ”daya regulasi”. Langkah pemerintah untuk turun tangan dalam menempuh kebijakan di masa pandemi ini sudah tepat. Namun, pemerintah juga jangan sampai terjebak pada dorongan untuk menjadikan daya regulasi semakin mencengkeram atau mengatur kehidupan secara berlebihan.
Baca juga: Paket Terpadu Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha Diterbitkan
Tingkat kebebasan berusaha juga harus dijaga dengan tetap memberi ruang pada beberapa sektor yang dapat menjadi motor penggerak perekonomian. Tentunya, dalam suasana seperti ini, dunia usaha juga membutuhkan pemerintah untuk turun tangan mengurangi ketidakpastian.
Pada akhirnya, keberadaan negara dengan kualitas regulator yang memiliki integritas, profesionalisme, kepemimpinan, yang mampu menanamkan etika dalam kebijakan publik, menjadi hal penting untuk melindungi masyarakat.
Regulator juga perlu didukung oleh komunitas, kelompok masyarakat, yang memiliki kepedulian untuk menjadikan etika tertanam kembali dalam ekonomi sehingga dapat menjaga titik optimum kebijakan dalam menangani krisis saat ini.
Junanto Herdiawan, Doktor Filsafat Lulusan STF Driyarkara