Mulai dari layanan individu, korporasi, operasi pabrik dan manufakturing, bahkan peperangan kelak akan berciri otomasi yang bertumpu pada kecerdasan buatan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kalau kita berpandangan, di dunia manusia bisa membanggakan diri sebagai makhluk cerdas, kini anggapan itu justru ditantang oleh ciptaan manusia yang amat cerdas.
Boleh jadi ciptaan itu akan mengungguli penciptanya suatu saat nanti. Bahkan, setelah mewacanakannya sejak abad ke-20, ihwal kecerdasan buatan (KB) atau artificial intelligence (AI) kian bergaung di paruh dekade kedua abad ke-21. Ketika Klaus Schwab mengangkat tema ”The Fourth Industrial Revolution” di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, tahun 2016, muncul AI/KB sebagai sebuah terobosan teknologi bersama robotika, internet of things, kendaraan otonom, cetak tiga dimensi, teknologinano, bioteknologi, sains material, penyimpanan energi, dan komputasi kuantum.
Memang di antara inovasi itu ada yang masih tingkat dini, tetapi berbagai teknologi sudah sampai pada titik pembelokan dalam pengembangan, yaitu saat tumbuh berkembang di atas teknologi, dan saling memperkuat satu sama lain dan melahirkan gabungan teknologi pada jagat fisik, digital, dan biologi.
Mengantisipasi pengaruh dan manfaatnya yang besar, sejumlah negara berlomba menjadi adidaya AI/KB. Kai-Fu Lee menulis buku AI Superpowers: China, Silicon Valley, and the New World Order (2018). Meski lazimnya tatanan dunia acap diasosiasikan dengan kedigdayaan militer dan ekonomi, judul buku itu menyiratkan, keadidayaan negara suatu saat akan bertumpu pada sejumlah teknologi kunci, terutama AI/KB.
Mulai dari layanan individu, korporasi, operasi pabrik dan manufakturing, bahkan peperangan kelak akan berciri otomasi yang bertumpu pada AI/KB. Robot, misalnya, tak hanya lentur dalam gerak, tetapi ia juga merespons komunikasi interaktif dengan manusia. Kita sudah menyaksikan machine learning dalam mesin yang bisa mengalahkan juara catur dunia.
Jika harian ini selama tiga hari sejak Senin (15/2/2021) menurunkan laporan tematik tentang AI/KB, itulah wujud kesadaran kita atas tampilnya teknologi ini, dalam kancah peradaban yang akan mewarnai kehidupan, dalam ranah individu, korporasi, kemasyarakatan, dan interaksi global.
Kita menyadari pentingnya soal ini, tetapi saat bersamaan segera mengenali kendala atau keterbatasan yang kita hadapi. Pertama, harus kita catat adalah kurangnya tenaga atau SDM yang menggeluti bidang ini. Pemerintah memerlukan 600.000 orang berkeahlian AI/KB, tetapi yang dapat dihasilkan oleh lembaga pendidikan hanya 100.000 orang.
Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi. Berbagai insentif dan beasiswa harus disediakan untuk menarik minat generasi muda, yang disebut-sebut kini lebih menyukai bidang lain selain teknologi, apalagi yang berbau rekayasa (enjiniring).
Sudah menjadi rahasia umum, dewasa ini untuk membuka usaha rintisan (start up), atau untuk transformasi digital, yang banyak dibutuhkan adalah ahli teknologi informasi. Namun, karena tidak sebanding antara SDM yang tersedia dan kebutuhan yang ada, SDM TI menjadi langka dan mereka memiliki posisi tawar yang tinggi. Ahli TI bisa saja langka, apalagi yang menguasai AI/KB. Tantangan ini harus kita respons jika ingin ambil bagian dalam peradaban masa depan secara mandiri.