Belakangan ini, guru dibuat resah oleh pernyataan Pelaksana Tugas Kepala Balitbang Kemendikbud dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR, yang mengungkap tunjangan profesi guru (TPG) tidak banyak membawa pengaruh pada pencapaian pembelajaran sehingga direncanakan TPG hanya diberikan bagi guru berkompeten.
Sementara di kalangan guru satuan pendidikan kerja sama (SPK), penghentian TPG sudah terjadi sejak akhir 2019 setelah terbit Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Perdirjen GTK) 5745/B.B1.3/HK/2019 dan Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Persesjen Kemendikbud) No 6/2020.
Kedudukan TPG dalam perundangan
UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa TPG diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. TPG diberikan setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Guru sebagai profesi berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, yang salah satunya diberikan lewat TPG. Pengalokasian TPG menjadi kewajiban pemerintah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Adapun PP No 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor menerangkan TPG sebagai tunjangan yang diberikan kepada guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bukan PNS yang memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi kriteria sebagai penghargaan atas profesionalismenya.
Kemudian, mengenai kriteria penerima TPG dijabarkan dalam Permendikbud No 19/2019 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi, Tunjangan Khusus, dan Tambahan Penghasilan Guru PNS Daerah, yaitu: (1) Tercatat dalam Dapodik; (2) Memiliki sertifikat pendidik; (3) Memiliki nomor registrasi guru; (4) Aktif mengajar sesuai bidang pada sertifikat pendidik; (5) Memenuhi beban kerja Guru minimal 24 jam; (6) Berstatus Guru Tetap Yayasan bagi Guru Swasta.
Kisruh Perdirjen dan Persesjen
Terbitnya Perdirjen GTK 5745/B.B1.3/HK/2019 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus Guru Bukan PNS dan Persesjen Kemendikbud No 6/2020 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus bagi Guru Bukan PNS, menjadi awal kisruh dikalangan guru SPK karena kedua aturan tersebut mengecualikan pemberian TPG bagi guru SPK, tanpa disertai penjelasan yang rasional dan komprehensif.
Berbeda dengan pengecualian TPG di kalangan guru agama yang tanggung jawabnya diserahkan kepada Kementerian Agama sehingga dalam konteks ini pengakuan pemerintah atas guru agama yang bersertifikat pendidik dan berhak atas TPG tetap terjaga.
Setelah kisruh guru SPK menyuarakan aspirasinya didukung oleh berbagai organisasi profesi guru seperti PGRI, AGSI, sampai Komisi X DPR, barulah muncul suara dari pemerintah yang mencoba mengklarifikasi penyebab dihentikannya TPG. Mulai dari guru SPK dianggap sudah sejahtera, bergaji tinggi, pembelajaran tidak menggunakan Kurikulum Nasional, hingga tidak memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Sedangkan sampai hari ini berbagai pertanyaan yang muncul dari berbagai pihak masih belum mampu dijawab oleh Kemendikbud: Sejauh mana dilakukan kajian dan diskusi melibatkan pakar dan perwakilan SPK, bukan hanya dari unsur yayasan, kepala sekolah, tetapi juga guru?; Apakah ada data akurat yang menjelaskan bahwa semua guru SPK sudah sejahtera dan bergaji tinggi?
Pertanyaan berikutnya, apakah benar seluruh SPK tidak memenuhi SNP? Apakah benar seluruh SPK menggunakan Kurikulum Internasional an sich atau ada juga yang mengombinasikan Kurikulum Internasional dengan Nasional? Bukankah di SPK ada guru yang mengajar muatan nasional sesuai ketentuan Kurikulum Nasional?
Apakah kebijakan yang diambil sudah mempertimbangkan karakteristik SPK yang terbagi menjadi SPK eks Sekolah Internasional dan SPK eks Sekolah Nasional Plus? Lalu, bagaimana kedudukan sertifikat pendidik yang dimiliki oleh guru SPK sebagai bukti profesionalisme? Mengapa pemberian TPG bagi guru SPK yang memenuhi kriteria sejak 2010 baru diberhentikan sekarang?
Mengapa kebijakan diskriminatif ini hanya dilimpahkan kepada guru SPK tanpa disertai alasan yang kuat? Apakah pemerintah menyadari bahwa Perdirjen dan Persesjen yang menghentikan TPG bagi guru SPK bertentangan dengan UU, PP, dan Permendikbud yang ada di atasnya?
SPK bagian dari Sistem Pendidikan Nasional
Keberadaan sekolah asing mulai muncul sejak berakhirnya masa penjajahan di Indonesia. Ketika itu terjadi pertumbuhan dan perkembangan sekolah swasta yang didirikan serta diselenggarakan oleh lembaga atau warga negara asing (WNA) yang tinggal di Indonesia maupun warga negara Indonesia (WNI) keturunan asing. Sesuai dengan asas demokrasi dan untuk menjaga keselarasannya dengan nilai-nilai yang dianut di Indonesia, maka diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 48/1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing.
Pada perkembangannya kedudukan sekolah asing masih mendapat tempat sebagaimana diatur dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan beberapa ketentuan: (1) Sekolah asing dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah RI; (2) Sekolah tersebut adalah lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui oleh negaranya; (3) Sekolah wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan lain di Indonesia, dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola WNI.
Sebelum dikeluarkannya Permendikbud No 31/2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing (LPA) dengan Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI), dikenal istilah Sekolah Internasional yang mengacu pada Kurikulum Internasional seperti International Baccalaureate (IB) dan Cambridge International Examination (CIE). Selain itu, ada juga Sekolah Nasional Plus atau Sekolah Nasional Berstandar Internasional (SBI) yang memadukan Kurikulum Internasional dengan Kurikulum Nasional.
Setelah tahun 2015, Sekolah Internasional maupun SBI, keduanya berganti nama menjadi SPK. Keberlangsungan SPK mengacu kepada SNP di Indonesia yang diperkaya dengan standar dari sekolah negara lain ataupun standar yang berlaku pada sistem pendidikan negara lain.
SPK juga memperhatikan konteks keindonesiaan dengan mengajarkan Pendidikan Agama, PPKn, dan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran wajib kepada peserta didik WNI, serta pelajaran Bahasa Indonesia dan Budaya Indonesia bagi peserta didik WNA. Begitu pun dari sisi profesionalisme Guru SPK juga dituntut memiliki sertifikat pendidik sebagaimana ketentuan perundangan.
Kata kerja sama yang melekat di SPK menunjukan hubungan setara dan sinergis antara LPI dan LPA. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwasannya keberadaan SPK adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Bagian dari ikhtiar Pemerintah RI untuk gotong royong mencerdaskan anak bangsa.
Sangatlah tidak adil kalau SPK mendapat perlakuan diskriminatif baik oleh pemerintah atau pihak mana pun. Karena itu, berikan keadilan kepada guru SPK yang bersertifikat pendidik dan memenuhi kriteria sebagaimana diatur oleh perundangan untuk mendapatkan haknya.
(Sumardiansyah Perdana Kusuma
Tim Pengembang Pembinaan Organisasi Profesi Guru dan Penasehat Forum Komunikasi Guru SPK Seluruh Indonesia)