Penurunan jumlah kunjungan ke RS tahun 2020 menjadi tantangan pada 2021 dan harus diantisipasi. Peserta yang selama ini sakit dan takut ke RS karena Covid-19 ada kemungkinan datang ke RS dengan penyakit komplikasi.
Oleh
TIMBOEL SIREGAR
·5 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19 yang terus menghantui kesehatan masyarakat, ada kabar gembira dari program Jaminan Kesehatan Nasional.
Tahun 2020, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) membukukan arus kas Rp 18,74 triliun, yang berarti Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan surplus. Berita tentang surplus ini pernah disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR, 17 September 2020, tetapi perkiraan surplusnya saat itu sekitar Rp 2,56 triliun.
Awalnya surplus ini diduga karena dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan peserta JKN yang berkunjung ke rumah sakit (RS) menurun sehingga biaya manfaat, khususnya CBGs, mengalami penurunan. Namun, ternyata peningkatan jumlah iuran Rp 27,96 triliun (naik 26,4 persen), dibandingkan 2019, jadi faktor utama terjadinya surplus.
Capaian Rp 27,96 triliun terutama disumbang oleh kenaikan iuran penerima bantuan iuran (PBI) yang di Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 ditetapkan Rp 42.000. Kenaikan pendapatan iuran PBI Rp 12,84 triliun (36,3 persen) dan penduduk yang didaftarkan pemda Rp 3,54 triliun (12,44 persen). Walaupun dalam kondisi resesi, iuran dari peserta penerima upah badan usaha (PPU BU) mengalami kenaikan 17,86 persen. Ini sebuah prestasi tentunya.
Dengan kenaikan ini dan adanya kebijakan pembayaran iuran PBI di depan, per Juli 2020 semua utang ke RS selesai dibayarkan dan ini menurunkan biaya denda ke RS. Penetapan iuran PBI telah sesuai dengan hitungan aktuaria usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Tahun 2014 dan 2016, penetapan iuran PBI tidak sesuai dengan usulan DJSN sehingga defisit terus terjadi selama enam tahun.
Capaian ini masih belum memastikan keuangan aset DJS dalam kriteria sehat.
Pandemi menyebabkan jumlah kunjungan ke RS, baik rawat jalan maupun rawat inap pada 2020, menurun 17.055.836 kunjungan dibandingkan dengan 2019 sehingga mendukung penurunan biaya manfaat Rp 12,94 triliun. Adanya utang ke RS pada 2019 yang terbawa ke 2020 sebesar Rp 15,5 triliun, total biaya manfaat di 2020 menjadi Rp 111,47 triliun.
Kombinasi kenaikan pendapatan iuran Rp 27,96 triliun dan penurunan biaya manfaat Rp 12,94 triliun ini menyebabkan Aset Bersih Akhir Periode (ABAP) 2020 menjadi minus Rp 6,4 triliun, turun drastis dari ABAP 2019 yang minus Rp 50,99 triliun. Capaian ini masih belum memastikan keuangan aset DJS dalam kriteria sehat.
Mengacu Pasal 37 PP No 84/2015, kesehatan keuangan aset DJS diukur berdasarkan aset bersih DJS dengan ketentuan paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan ke depan dan paling banyak sebesar estimasi pembayaran klaim enam bulan ke depan. Dengan rata-rata klaim Rp 9,3 triliun per bulan, seharusnya batas bawah aset bersih DJS Rp 13,95 triliun.
Capaian 2020 yang sudah baik ini harus dilanjutkan dan menjadi tantangan bagi direksi dan dewan pengawas (dewas) baru untuk mencapai kriteria sehat keuangan aset DJS.
Peluang dan tantangan
Mencapai kesehatan keuangan DJS harus dilakukan secara sistemik dengan terus meningkatkan pendapatan iuran dan mengendalikan biaya manfaat, khususnya biaya CBGs. Penerimaan iuran yang sistemik akan tercapai jika berfokus pada peningkatan jumlah peserta JKN. Per 31 Desember 2020, jumlah peserta JKN 222.461.906 orang dari total rakyat Indonesia 270 juta orang. Masih ada sekitar 47 juta orang yang belum bergotong royong dalam JKN dan ini harus diselesaikan oleh direksi baru nantinya.
Kepesertaan PPU BU masih berpotensi ditingkatkan dan ini akan berdampak pada peningkatan iuran PPU BU. Penerimaan iuran PPU BU seharusnya bisa melebihi iuran PBI. Pelaksanaan PP No 86/2013 tentang sanksi tak mendapat layanan publik, penerapan putusan MK Nomor 70/PUU-IX/ 2011 yang memberikan kesempatan pekerja formal swasta mendaftar sendiri ke BPJS, dan penegakan hukum merupakan upaya yang akan meningkatkan kepesertaan.
Ada tantangan soal iuran di Perpres No 64/2020 yang berpotensi menurunkan penerimaan iuran, yaitu Pasal 34 Ayat (1b) yang menurunkan subsidi sehingga iuran peserta mandiri kelas 3 naik menjadi Rp 35.000 per 1 Januari 2021. Hal ini berpotensi meningkatkan jumlah peserta nonaktif. Per 31 Desember 2020, jumlah peserta mandiri yang nonaktif 15.819.921 (51,97 persen) dengan nilai tunggakan untuk satu bulan Rp 15,32 triliun. Dengan meningkatkan pelayanan akan menurunkan tunggakan iuran.
Kehadiran Pasal 35A Ayat (2) berpotensi menurunkan jumlah penduduk yang didaftarkan pemda yang saat ini sebanyak 36.164.395 orang. Dari jumlah itu, pemerintah pusat akan membiayai penduduk yang memenuhi kriteria fakir miskin dan atau orang tak mampu. Selebihnya jadi peserta mandiri kelas 3 yang akan bergantung pada komitmen pemda untuk tetap membiayai atau tidak.
Pengendalian biaya manfaat juga harus dilakukan secara sistemik.
Pengendalian biaya manfaat juga harus dilakukan secara sistemik. Biaya kapitasi, pada 2020 sebesar Rp 14 triliun, harus didorong memperkuat kualitas fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) sehingga mampu menurunkan rasio rujukan, yang saat ini 14,2 persen, menjadi satu digit.
Demikian juga pengawasan untuk menurunkan fraud harus dilakukan secara sistemik, salah satunya dengan memperkuat dan mengembangkan fitur vedika (verifikasi digital klaim) dan defrada (aplikasi untuk deteksi potensi fraud dengan analisis data klaim) yang sejak 2016 telah mampu menyeleksi tagihan sehingga tagihan yang tak sesuai dengan ketentuan dikembalikan ke fasilitas kesehatan. Membangun komunikasi dengan peserta JKN merupakan salah satu upaya untuk memperkuat pengawasan sekaligus meningkatkan pelayanan.
Mempertegas koordinasi layanan kesehatan dengan PT Taspen, PT Asabri, BPJamsostek, dan PT Jasa Raharja, dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141 Tahun 2018, akan bisa menurunkan biaya manfaat DJS kesehatan. Mendaftarkan pekerja informal miskin ke BPJamsostek akan lebih lagi menurunkan biaya manfaat DJS kesehatan.
Penurunan jumlah kunjungan ke RS pada 2020 menjadi tantangan pada 2021 dan harus diantisipasi. Peserta yang selama ini sakit dan takut ke RS karena Covid-19 ada kemungkinan datang ke RS dengan penyakit komplikasi yang akan menaikkan biaya manfaat. Apresiasi bagi direksi dan dewas saat ini yang akan mengakhiri tugasnya dengan prestasi surplus DJS kesehatan. Direksi dan dewas terpilih nantinya harus mampu meningkatkan prestasi ini dengan fokus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
(Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI)