Pandemi Covid-19 turut mengubah cara kerja penjahat. Mereka lebih sering menggunakan internet untuk mencari korban ketika anak-anak juga belajar dengan menggunakan internet di rumah.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Massa bergerak ke pusat kota Brussels pada 20 Oktober 1996. Udara musim gugur terasa lebih hangat, karena jalanan yang padat. Ratusan ribu orang turun ke jalan. Tidak dapat dimungkiri ini aksi damai terbesar dalam sejarah Belgia.
Orang-orang yang berduka dan kecewa ini menggenggam balon putih dan bunga putih. Wajah Melissa Russo dan Julie Lejeune tertera pada sehelai poster kecil. Keduanya berusia delapan tahun. Mereka korban penculikan dan kekerasan seksual. Pelakunya, Marc Dutroux. Namun, ia tidak melakukan kejahatan sendirian. Ada saksi mata yang melihat Melissa di satu klab malam. Dutroux diduga memperdagangkan anak-anak untuk dieksploitasi secara seksual.
Puncak protes di Brussels terjadi sesudah Jean Marc Connerotte, hakim yang mengadili Dutroux dan 13 tersangka lain, tiba-tiba diberhentikan. Sejumlah orang penting dalam pemerintahan diduga terlibat jaringan kejahatan ini, yang diperkuat pernyataan salah satu tersangka. Katanya, pemerintahan akan jatuh jika ia menyebut nama-nama mereka.
Orang-orang Belgia bersatu untuk mempertanyakan sistem peradilan dan praktik pengadilan yang dianggap tidak sungguh-sungguh membongkar jaringan kejahatan.
Pelaku kejahatan seksual terhadap anak sering disebut pedofil. Namun, pedofilia dikaitkan dengan kelainan atau penyakit jiwa, bukan kejahatan. Definisi ini mengaburkan suatu tindak kejahatan.
Pada pertengahan tahun lalu, seorang pelancong dari Perancis, Francois Abello Camille, bunuh diri dalam sel Polda Metro Jaya beberapa hari sesudah ia ditahan. Berdasarkan video yang ditemukan polisi, korban pemerkosaannya 305 anak. Untuk mendekati sasaran, ia berpura-pura menjadi fotografer yang tengah mencari model. Kebanyakan korbannya anak jalanan.
Polisi menduga lelaki 65 tahun itu terlibat jaringan kejahatan transnasional. Jika benar, video dan gambar yang juga bukti kejahatannya telah beredar luas di kalangan penyuka penyiksaan anak.
Interpol, organisasi yang memfasilitasi pengendalian kejahatan dan kerja sama polisi di seluruh dunia, memiliki akses terhadap lebih dari 2,7 juta gambar dan video eksploitasi seksual anak dari 63 negara. Pada 2019 organisasi ini dan ECPAT International, yang berkampanye untuk mengakhiri kekerasan dan perdagangan seksual anak, menerbitkan laporan tentang kecenderungan korban yang tidak teridentifikasi.
Lebih dari 60 persen korban berusia praremaja, termasuk bayi dan anak balita. Pelecehan yang parah cenderung menampilkan korban anak laki-laki, sedangkan 65 persen korban adalah anak perempuan. Sebanyak 92 persen pelaku adalah laki-laki.
Tidak jarang pelaku kejahatan justru bekerja di lembaga yang memperjuangkan perlindungan anak. Peter John Dalglish, contohnya. Ia dikenal sebagai tokoh kemanusiaan asal Kanada.
Setelah mendirikan Street Kids International, ia bergabung dengan Save the Children dan pergi ke Afghanistan untuk memimpin salah satu lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 2016, ia menerima tanda jasa dari negaranya untuk kesungguhan membantu anak-anak yang kurang mampu. Daglish dihukum 16 tahun penjara karena memerkosa dua bocah laki-laki di Nepal.
Pengeksploitasian terhadap anak di berbagai tempat dimungkinkan oleh kemiskinan, diskriminasi jender, budaya patriarki, perang, konflik bersenjata, dan bencana alam. Berdasarkan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, anak adalah siapa pun yang berusia di bawah 18 tahun. Lebih sejuta anak di seluruh dunia diperkirakan menjadi korban perdagangan setiap tahun.
Pernikahan paksa termasuk praktik kekerasan seksual dan perdagangan seksual. Anak-anak perempuan dinikahkan dengan lelaki yang lebih tua dengan alasan ekonomi ataupun keagamaan. Anak-anak perempuan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat diperdagangkan sebagai pengantin pesanan ke Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.
Indonesia telah meratifikasi Protokol Palermo melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009. Ini Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya perempuan dan anak. Namun, melindungi anak-anak dari kejahatan tersebut membutuhkan kerja keras berbagai pihak. Situasi makin berbahaya ketika oknum aparat penegak hukum terlibat dalam jaringan dan oknum pejabat menerima suap untuk mengabaikannya.
Pandemi Covid-19 turut mengubah cara kerja penjahat. Mereka lebih sering menggunakan internet untuk mencari korban ketika anak-anak juga belajar dengan menggunakan internet di rumah.
Data National Center for Missing and Exploited Children, sebuah lembaga swadaya di Amerika Serikat, menunjukkan, angka kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak meningkat secara global, mencapai 98,66 persen pada Januari hingga September 2020 dibandingkan rentang waktu yang sama di tahun sebelumnya.
Kasus Dutroux adalah keping yang penting, tetapi hakim gagal membongkar jaringannya. Pengalaman penyintas lain dari peristiwa lain di masa jauh sebelumnya membuktikan salah seorang tersangka memiliki rekam jejak yang panjang.
Anneke Lucas berusia enam tahun ketika ia diperdagangkan ibunya ke sebuah jaringan ”pedofil” kalangan atas di Belgia. Ia bertemu kepala-kepala negara Eropa dan anggota keluarga kerajaan. Anneke mengenal wajah mereka ini dari televisi.
Lehernya dirantai dan ia dipaksa makan kotoran manusia. Ia mengalami kekerasan seksual di panggung dan menjadi tontonan. Suatu hari ia dibawa ke sebuah ruang kecil untuk diikat di papan pemotongan daging. Anneke masih mengingat wajah penyiksanya, yaitu salah seorang tersangka dalam kasus Dutroux.
Dalam testimoninya di Global Citizen, sebuah media daring, Anneke menyebut para pecandu kekuasaan, pemimpin dunia, dan politisi korup yang menganiaya anak-anak adalah orang-orang yang mendaur ulang perlakuan yang pernah mereka alami di masa silam.
Jika ucapannya benar, sebagian pemimpin atau petinggi di berbagai negeri yang menyengsarakan rakyat adalah korban pelecehan atau kekerasan di masa kanak-kanak yang tengah membalas dendam.