Tumbangnya Revolusi Peternakan
Subsektor peternakan Indonesia sedang mengalami ujian yang mahaberat. Pandemi Covid-19 benar-benar telah memukul keras subsektor yang memiliki jalur (”path”) berbeda dengan subsektor pertanian lain.
Subsektor peternakan Indonesia sedang mengalami ujian yang mahaberat. Pandemi Covid-19 benar-benar telah memukul keras subsektor yang memiliki jalur (path) berbeda dengan subsektor pertanian lain. Subsektor peternakan banyak mengandalkan dimensi permintaan atau daya beli konsumen, tidak hanya dimensi suplai atau produksi semata.
Di dalam literatur, pembangunan subsektor peternakan yang banyak didorong aspek permintaan atau pendapatan masyarakat disebut Revolusi Peternakan. Ketika daya beli masyarakat turun signifikan, permintaan terhadap produk-produk peternakan juga menurun drastis.
Baca juga: Tantangan Menangani Surplus Daging dan Telur Ayam
Artikel ini menganalisis Revolusi Peternakan Indonesia yang hampir tumbang. Industri perunggasan sedang tertatih-tatih mencoba bangkit dan bertahan dari tekanan yang demikian berat. Ekonomi daging sapi terlalu berat untuk menggapai peluang besar dari kenaikan harga eceran daging karena persoalan struktural yang telanjur rumit.
Kinerja sektor pertanian secara umum cukup baik walaupun ekonomi Indonesia mengalami resesi.
Ekonomi peternakan
Kinerja sektor pertanian secara umum cukup baik walaupun ekonomi Indonesia mengalami resesi. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik pada 5 Februari 2021, sektor pertanian tumbuh 1,75 persen pada 2020, jauh di atas pertumbuhan ekonomi makro yang minus 2,07 persen Namun, subsektor peternakan mengalami kontraksi atau tumbuh negatif 0,33 persen karena harga daging ayam dan telur di tingkat peternak sangat rendah.
Subsektor peternakan tidak mampu menciptakan nilai tambah yang cukup besar, seakan berada di luar karakter Revolusi Peternakan yang menjadi landasannya. Banyak peternak skala kecil menjadi risau karena harga daging ayam hidup (live-birds) hanya berkisar Rp 19.400/kilogram, tak mampu menutup biaya produksi, terutama bibit ayam umur sehari (day-old chick/DOC) dan obat-obatan yang melonjak drastis.
Baca juga: Peternak Rakyat Makin Terdesak
Sementara itu, harga eceran daging ayam segar masih tertahan tinggi Rp 33.700/kilogram, yang sekaligus sebagai refleksi problem sistem logistik dan rantai nilai yang agak terganggu selama pandemi.
Produksi daging unggas pada 2020 mencapai 3,48 juta ton, masih di atas konsumsi 3,44 juta ton. Neraca awal unggas pada 2021 akan surplus 41.000 ton, berpengaruh pada dinamika ekonomi unggas.
Daging unggas adalah sumber protein murah dan semakin terjangkau masyarakat menengah-bawah, bukan merupakan barang mewah lagi, dan menjadi salah satu andalan untuk memenuhi kebutuhan protein dan daya saing bangsa. Konsumsi produk unggas saat ini telah mencapai 70 persen dari total konsumsi protein hewani.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, rata-rata konsumsi daging unggas 6,97 kilogram/kapita/tahun, jauh lebih besar dari rata-rata konsumsi daging sapi 1,8 kilogram/kapita/tahun.
Baca juga: Warga Mengurangi Belanja Daging Selama Pandemi
Pada ternak besar ruminansia, ketergantungan impor sapi dan daging yang terlalu tinggi pada Australia juga telah menyulitkan pengembangan rantai nilai daging sapi di pasar domestik. Australia dilanda kekeringan hebat dan kebakaran hutan pada 2019, yang menyebabkan banyak ternak mati. Pada 2020, banjir besar melanda dan membunuh ratusan ribu sapi dan merusak peternakan di Northern Territory.
Ketika Australia sengaja mengurangi ekspor ternak sapi hidup karena sedang melakukan restocking atau berusaha memulihkan stok domestiknya, ekonomi daging sapi Indonesia menjadi terganggu. Stok daging sapi berkurang drastis dan harga eceran daging sapi merangkak naik.
Produksi daging sapi tahun 2020 mencapai 422.000 ton, sementara konsumsi telah melewati 500.000 ton sehingga Indonesia harus mengandalkan impor.
Produksi daging sapi tahun 2020 mencapai 422.000 ton, sementara konsumsi telah melewati 500.000 ton sehingga Indonesia harus mengandalkan impor. Impor sapi hidup tahun 2020 sekitar 700.000 ekor (setara 122.000 ton daging), plus daging beku lebih dari 100.000 ton.
Impor sapi hidup dilakukan untuk sapi dengan berat badan 250 kilogram atau kurang untuk digemukkan perusahaan ternak sapi potong (feedloter). Dampak dari restocking di Australia, importir sapi Indonesia harus membayar harga 3,9 dollar AS per kilogram bobot sapi bakalan atau setara harga karkas daging Rp 98.000 per kilogram, yang sempat menimbulkan ketegangan di pasar.
Baca juga: Pedagang Daging Sapi di Tangerang Selatan Mogok Berjualan Tiga Hari
Harga eceran daging sapi dalam negeri melonjak naik sejak akhir 2020 hingga awal 2021. Harga rata-rata eceran daging pada 15 Januari mencapai Rp 123.400 per kilogram, bahkan di Aceh mencapai Rp 140.850 per kilogram. Harga eceran per 21 Januari 2021 turun menjadi Rp 122.850 per kilogram walau di berapa tempat masih di atas Rp 140.000 per kilogram.
Pemerintah harus melakukan mediasi dan koordinasi dengan pelaku atau pengampu kepentingan (stakeholder) daging sapi hingga terdapat harga kesepakatan karkas Rp 94.000 per kilogram. Harga daging per 29 Januari 2021 telah turun Rp 113.750 per kilogram walaupun masih terbuka peluang terjadi lonjakan harga menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Dalam jangka pendek, pemerintah berencana membuka akses impor sapi dari Meksiko, sebagai salah satu negara yang telah bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Namun, mendatangkan sapi hidup dari daerah di Pantai Timur Meksiko perlu waktu 45 hari karena harus menyeberangi Samudra Atlantik.
Perjalanan impor sapi dari Pantai Barat Meksiko perlu waktu 26 hari walaupun potensi produksi sapi di Pantai Barat tak sebesar di Pantai Timur Meksiko.
Di samping itu, pemerintah juga memberikan kuota impor kepada BUMN Pangan untuk melakukan impor daging kerbau beku dari India sebesar 100.000 ton untuk menjaga stabilisasi harga daging sapi di dalam negeri.
Inovasi baru peternakan
Solusi impor sapi hidup dan impor daging di atas mungkin akan bermanfaat untuk meredam persoalan sesaat, tetapi belum akan mampu memecahkan persoalan ekonomi peternakan yang lebih struktural. Indonesia membutuhkan inovasi baru subsektor peternakan yang berlandaskan perubahan teknologi dan perubahan strategi pembangunan peternakan yang lebih maju dan inklusif karena perubahan lingkungan strategis juga bergerak cepat.
Baca juga: Setelah Kedelai, Terbitlah Daging Sapi
Pertama, restrukturisasi industri perunggasan untuk meningkatkan governansi dan daya saing industri secara keseluruhan. Operasionalnya adalah kemitraan industri besar dan peternak rakyat, reformasi perkandangan modern, akses pendanaan peternak mandiri dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) untuk meningkatkan efisiensi produksi dan rantai nilai.
Adopsi teknologi inseminasi buatan, pengembangan hijauan pakan, aspek kesehatan hewan perlu terus didorong.
Kedua, peningkatan produktivitas, perbaikan reproduktivitas ternak besar ruminansia. Metode atau program Sekolah Lapang Peternakan Rakyat (SLPR) untuk meningkatkan sumber daya manusia peternak lokal skala kecil perlu terus dilanjutkan. Mereka perlu memperoleh bimbingan teknis, insentif, dan fasilitasi ekonomi yang memadai. Adopsi teknologi inseminasi buatan, pengembangan hijauan pakan, dan aspek kesehatan hewan perlu terus didorong.
Ketiga, penguatan ekosistem inovasi peternakan. Dukungan kebijakan amat dibutuhkan untuk memperkuat subsektor peternakan, peningkatan alokasi dana riset dan pengembangan (R&D), komunikasi intensif pengampu kepentingan atau stakeholders ABGC (academics, government, business and civil society) untuk transformasi dari invensi menjadi inovasi.
Keempat, perbaikan sistem insentif produksi dan akses konsumsi. Fokus dapat diarahkan untuk meningkatkan daya saing subsektor peternakan agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Subsektor peternakan selama ini telah menjadi kontributor pada kualitas sumber daya manusia Indonesia, perbaikan gizi dan penurunan tengkes (stunting) anak balita, dan lain-lain.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung, Ekonom Senior Indef, Anggota AIPG-AIPI.