Apabila terus mengandalkan daging dan sapi bakalan impor guna menutup defisit, sementara insentif usaha peternak terabaikan, Indonesia bakal semakin terjebak dalam lubang ketergantungan.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·5 menit baca
Setelah produsen tahu tempe di tiga hari pertama 2021, kali ini giliran pedagang daging sapi yang mogok massal, khususnya di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mereka kompak tidak berjualan selama tiga hari hingga Jumat (22/1/2021). Aksi digelar sebagai protes pedagang atas tingginya harga daging sapi impor.
Los-los daging di sejumlah pasar tradisional tampak tidak biasa. Tidak ada daging potongan yang digantung, meja-meja dagangan bersih, timbangan teronggok, tidak terdengar suara golok menghantam talenan kayu, dan riuh transaksi jual beli. Hanya sebagian pedagang dan pekerja yang bercengkerama, menongkrong santai, atau tiduran.
Harga daging sapi di Jakarta, menurut sejumlah pedagang, terus naik 3-4 bulan terakhir. Harga beranjak dari Rp 80.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 120.000 per kg hingga Rp 150.000 per kg pertengahan Januari 2021. Margin yang diperoleh pedagang terus menipis karena harga beli daging sapi terus naik, sementara harga jualnya di tingkat konsumen cenderung stabil.
Stabilitas harga itu, antara lain, terekam di data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional. Selama September 2020 hingga Januari 2021, misalnya, rata-rata harga daging sapi secara nasional naik tipis (0,8 persen) dari kisaran Rp 118.000 per kg menjadi Rp 119.000 per kg. Rentang kenaikan lebih tinggi terjadi di DKI Jakarta, yakni dari Rp 126.000 per kg menjadi Rp 129.000 per kg (naik 2,3 persen), serta di Jawa Barat, yakni dari Rp 121.000 per kg menjadi Rp 125.000 per kg (naik 3,3 persen) selama periode itu.
Wajar saja pedagang menjerit. Mereka terdampak kenaikan harga sapi bakalan di hulu, tetapi di hilir tak kuasa mendongkrak harga jual. Selain faktor permintaan yang lesu di tengah pembatasan pergerakan masyarakat dan penurunan daya beli akibat pandemi Covid-19, harga acuan penjualan di tingkat konsumen ditetapkan pemerintah Rp 80.000 per kg hingga Rp 105.000 per kg, lebih rendah dari harga pasar dan dianggap turut menekan margin meski dalam banyak situasi harga acuan sering ”dikangkangi” mekanisme pasar.
Kenaikan harga di hulu terutama dipengaruhi oleh situasi di Australia, negara utama sumber sapi bakalan dan daging sapi bagi Indonesia, yang setahun terakhir mengurangi ekspor guna memulihkan populasi (restock) sapinya. Populasi sapi di sejumlah industri peternakan di Australia dilaporkan sekitar 30 persen dari kapasitas dan mendorong harga sapi ke level tertinggi sepanjang sejarah (Kompas, 21/1/2021).
Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia memperkirakan ekspor sapi bakalan Australia turun dari 1,3 juta ekor tahun 2019 menjadi 900.000 ekor tahun 2020, sekitar 60 persennya diserap Indonesia. Dampaknya segera merembet ke Indonesia, harga beli sapi naik dari 3,2 dollar AS per kg bobot hidup pada Juli 2020 menjadi 3,9 dollar AS per kg bobot hidup pada Januari 2021.
Jabodetabek menjadi wilayah yang rentan terdampak gejolak harga daging impor. Sebab, selain jadi titik konsentrasi konsumen daging, wilayah ini mengandalkan suplai sapi dari luar provinsi dan luar negeri. Oleh karena itu, gejolak kali ini lebih terasa di Jabodetabek ketimbang wilayah lain.
Tidak ada data pasti seberapa besar porsi daging impor dalam struktur konsumsi daging sapi di Indonesia. Soal populasi sapi nasional pun tak ada satu data yang diakui bersama akurasinya. Namun, berdasarkan hitungan sejumlah asosiasi dan pelaku usaha, pasokan sapi lokal diperkirakan memenuhi 50-60 persen kebutuhan daging dalam negeri. Artinya, Indonesia masih perlu mengimpor 40 persen kebutuhan dagingnya.
Sebagaimana kedelai, gejolak harga daging sapi kali ini kembali mengirim pesan kuat ke pemerintah soal pentingnya menjaga kemandirian dan kedaulatan pangan. Jika tidak ingin terombang-ambing oleh situasi di luar, Indonesia mesti menekan impor dan memperkuat produksi daging di dalam negeri.
Dalam data Kementerian Pertanian dalam Outlook Daging Sapi 2019 disebutkan, pertumbuhan produksi daging sapi nasional selama kurun 1984-2019 rata-rata 2,34 persen per tahun. Namun, rata-rata pertumbuhan produksi selama 2010-2019 hanya 1,41 persen per tahun. Sementara konsumsi daging sapi per kapita selama 2010-2019 rata-rata tumbuh 2,04 persen. Artinya, selain melambat, pertumbuhan produksi daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsinya. Dampak lanjutannya, demi menutup defisit, impor daging dipastikan naik.
Ada sejumlah problem yang sering disuarakan peternak sapi di dalam negeri. Intinya, insentif yang mereka peroleh rendah sehingga gairah untuk meningkatkan produksi berkurang. Ironisnya, insentif peternak berkurang atau bahkan hilang justru karena dampak kebijakan yang diambil oleh pemerintah sendiri.
Kebijakan impor daging kerbau dari India guna menekan harga daging di tingkat konsumen, misalnya, justru mempersempit pasar daging sapi lokal. Langkah impor demi menekan harga itu justru dianggap kontraproduktif bagi upaya memacu populasi sapi di dalam negeri. Peluang peternak mendapatkan untung dalam setahun pun menyempit hanya saat menjelang kurban di hari raya Idul Adha.
Di hilir, penetapan harga acuan penjualan dianggap kurang menguntungkan peternak di hulu sebab kurang ideal dibandingkan dengan ongkos produksi. Kebijakan berorientasi konsumen ini perlahan mematikan pelaku di hulu yang lebih dari 90 persennya diisi peternak skala kecil. Belum lagi soal bocornya daging impor ke pasar ”becek” yang selama ini menjadi lapak daging sapi lokal.
Problem lain, seperti keterbatasan bibit, modal, dan lahan pakan, tak kalah mendesak penyelesaiannya. Namun, pemerintah bisa memulai dengan memikirkan keuntungan peternak sebagai prioritas. Sebab, jika peternak untung atau memperoleh insentif yang layak atas usahanya, yakinlah populasi sapi dan produksi daging sapi nasional bakal meningkat dan tumbuh dengan solid.
Sebaliknya, jika terus mengandalkan daging impor guna menutup defisit serta mengabaikan insentif dan kesejahteraan peternak sapi di dalam negeri, Indonesia bakal terjebak semakin dalam di jurang ketergantungan.