Pemakzulan Trump dan Ancaman Ultra-kanan Amerika
Di tengah pasang naik ultra-kanan, kita lihat apakah demokrasi Amerika bisa tetap kokoh. Kemungkinan besar, jika pemakzulan Trump kembali gagal, Trump dan para pengikutnya bisa semakin liar.
Meski Joe Biden sudah dilantik sebagai presiden ke-46, Senat AS akan tetap menyidangkan pemakzulan Donald Trump mulai 9 Februari. Usulan pemakzulan telah disepakati DPR AS—seluruh anggota Partai Demokrat plus 10 anggota Partai Republik—seminggu setelah kerusuhan di Gedung Capitol yang menewaskan 5 orang pada 6 Januari lalu. Trump menjadi presiden AS pertama yang menolak hasil pemilu sah dan dimakzulkan dua kali.
Pemakzulan Trump
Mayoritas kaum Republik melihat pemakzulan sebagai langkah konyol, bahkan inkonstitusional. Selain Trump sudah tak menjabat, pemakzulan hanya akan memperburuk polarisasi dan memicu konflik lebih besar. Bukankah Biden justru paling berkepentingan membangun rekonsiliasi jika pemerintahannya mau berjalan efektif?
Sebaliknya, bagi kaum Demokrat, pemakzulan wajib dilakukan. Apa akibatnya jika pelaku pelanggaran berat terhadap konstitusi dibiarkan melenggang tanpa konsekuensi hukum? Trump dan Trumpisme akan semakin menghalalkan segala cara untuk mengacak-acak demokrasi. Jika pemakzulan berhasil, Trump juga tak bisa maju lagi dalam pemilu mendatang.
Tak seperti pemakzulan pertama yang lama dan berbelit, sidang pemakzulan kedua ini akan berlangsung cepat. Pelanggaran Trump dianggap terlalu jelas dan amat berat, ”memicu pemberontakan”, kudeta melawan pemerintah AS. Asal didukung setidaknya oleh 17 senator Republik untuk mencapai dua pertiga suara Senat, pemakzulan akan sah.
Tak seperti pemakzulan pertama yang lama dan berbelit, sidang pemakzulan kedua ini akan berlangsung cepat.
Meski Senat kini dipegang Demokrat dan tim pembela hukum Trump ramai-ramai mundur seminggu sebelum sidang, pemakzulan mungkin akan kembali gagal. Sejauh ini hanya lima senator Republik yang setuju. Sepuluh anggota DPR Republik yang mendukung pemakzulan kini menghadapi perlawanan sengit partainya, bahkan ada yang menerima ancaman pembunuhan.
Sampai menit-menit terakhir sidang peresmian hasil pilpres di Gedung Capitol sebelum diubrak-abrik perusuh, mayoritas politisi Republik memang tetap solid mendukung Trump, menolak hasil pilpres. Padahal, semua tuntutan mereka telah ditolak pengadilan dan sidang DPR sebetulnya lebih bersifat seremonial. Partai Republik masih takluk di bawah Trump.
Pelantikan Biden
Pengambilan sumpah Biden-Harris berlangsung aman, tetapi mencekam. Gedung Capitol, di mana acara itu digelar, dikelilingi berlapis barikade kawat berduri. Tempat paling sakral demokrasi Amerika itu persis benteng. Ibu kota Washington DC lockdown. Pos penjagaan militer terlihat di setiap sudut.
Pentagon mengerahkan 25.000 personel penjaga keamanan, berkali lipat jauh melebihi semua tentara AS di Irak dan Afghanistan. Bahkan, ada 12 tentara yang ditarik kembali karena dicurigai sebagai simpatisan ultra-kanan.
Mal Nasional yang biasanya dipenuhi lautan manusia ditutup, ratusan ribu bendera dipasang. Malam sebelum dilantik, Biden-Harris memberi penghormatan mengenang 400.000 warga AS korban Covid-19 di Lincoln Memorial.
Tak menghadiri pelantikan Biden, Trump menggelar upacara sendiri sebelum naik Air Force One terakhir pagi harinya. Ia tak mau terlihat menyerah di mata pengikutnya. Dalam pidato perpisahan, Trump bahkan mengisyaratkan bahwa ia akan ”kembali”.
Proses alih kekuasaan secara damai, suatu keunggulan sistem demokrasi yang selalu dirayakan sebagai pesta kebangsaan sejak ratusan tahun, pekat dibayangi ketakutan. Amerika sedang benar-benar dipermalukan di mata dunia.
Ancaman ultra-kanan
Latar belakang ratusan pelaku kerusuhan terorisme domestik pada 6 Januari yang sudah ditangkap sangat beragam, mulai dari sopir bis, pegawai pemerintah, mahasiswa, pemilik salon, petugas pemadam kebakaran, juara renang Olimpiade, musikus metal, CEO, sampai pengusaha real estat yang datang dengan naik jet pribadi. Bisa dikatakan semuanya berkulit putih.
Menariknya, penggalangan dana sebelum kerusuhan menunjukkan bahwa gerakan mereka mendapat dukungan luas dari bawah. Kebanyakan tetap tak merasa bersalah. Membela Trump dianggap sebagai patriotisme melawan musuh-musuh Amerika: kelompok kulit hitam, Yahudi, Muslim, LGBT, liberal, komunis, imigran, dan golongan lain yang berbeda dengan mereka dan bernaung di bawah Partai Demokrat.
Jelas, di balik kerusuhan itu adalah kemarahan supremasi kulit putih dan ketakutan kaum ultra-kanan.
Dalam berbagai pertemuan massal, termasuk pagi itu, Trump dan politisi Republik terus memprovokasi pendukungnya untuk perang habis-habisan menolak hasil Pilpres 2020 demi merebut kembali negara mereka. Jajak pendapat PBS-NPR menunjukkan, 78 persen pemilih Republik percaya bahwa kepresidenan Biden tak sah. Kerusuhan berdarah tak mengubah dukungan untuk Trump.
Jelas, di balik kerusuhan itu adalah kemarahan supremasi kulit putih dan ketakutan kaum ultra-kanan. Dengan tepat Bob Woodward menggambarkan spirit kekuasaan Trump dalam dua bukunya, Fear (2018) dan Rage (2020). America First dan Make America Great Again, slogan utama Trump, berangkat dari asumsi bahwa golongan kulit putih yang superior kini tersingkir dan harus merebut kembali posisi mereka. Meski kerap mengelak secara lisan, kebanyakan tindakan dan kebijakannya jelas menuju ke sana.
Para pengikutnya lebih terang-terangan. Makanya, retorika, simbol, dan atribut supremasi kulit putih dan ultra-kanan berhamburan di tengah kerusuhan lalu. Logo dan tulisan, seperti Neo-Nazi, Camp Auschwitz, 6MWE (6 Millions Wasn’t Enough), dan RWDS (Right Wing Death Squad), campur aduk dengan sumpah serapah, kutukan, doa, dan seruan nama Yesus.
Selain Proud Boys, FBI mencurigai grup milisi ultra-kanan, seperti Oath Keepers, Boogaloo Bois, dan Three Percenters, sebagai aktor kunci kerusuhan. Dari 140 kasus yang sudah disidangkan, 20 persen pelaku kerusuhan adalah veteran militer.
Di antara pemilih Republik yang pada 2020 mencapai 74 juta—kenaikan tajam dibanding 2016—hampir separuhnya adalah loyalis Trump. Banyak di antaranya, termasuk perempuan yang tertembak mati dan ”lelaki bertanduk” yang meninggalkan pesan ancaman di meja Mike Pence, adalah pengikut QAnon. Mereka kelompok teori konspirasi ultra-kanan yang meyakini Trump sebagai ”juru selamat”, pemimpin mereka dalam peperangan kebaikan melawan kejahatan. Dua anggota DPR Republik adalah pengikut QAnon.
Nasib Demokrasi Amerika
Bill Clinton pernah berkelakar, tapi benar. Menurut Demokrat, perkembangan sejak 1964 lebih menguntungkan Amerika. Kaum Republik cenderung berpendapat sebaliknya. Sejak berlakunya UU Hak-Hak Sipil 1964 banyak orang kulit putih khususnya di pedesaan yang merasa kian kehilangan privilege. Ketika imigran dengan warna kulit, agama, bahasa dan tradisi yang berbeda datang dalam gelombang lebih besar, mereka kian terdesak.
Lanskap identitas agama di AS juga berubah drastis. Menurut riset PRRI (2017) Kristen putih yang pada 1976 adalah 81% menyusut jadi 43% pada 2016. Naiknya Obama sebagai presiden hitam pertama membuat kemarahan dan ketakutan kolektif kulit putih kian memuncak. Makanya, Trump yang terang-terangan menghadang Obama mendapat dukungan luas kaum supremasi kulit putih. Milisi ultra-kanan naik pesat semasa Obama, terlebih di bawah Trump.
Karena itu, kini pemakzulan Trump akan menjadi titik kritis yang menentukan banyak pihak, selain Trump sendiri: nasib Partai Republik, pemerintahan Biden, Partai Demokrat, bahkan masa depan demokrasi Amerika.
Jika berhasil dimakzulkan, kekuatan utama Trump dan Trumpisme akan melemah signifikan.
Meski gagal dalam pemilu dan telah menimbulkan kekacauan yang mempermalukan Amerika di mata dunia, Trump tak pernah mengaku kalah atau merasa bersalah. Para pemilihnya tetap percaya bahwa ia menang, tetapi dicurangi.
Jika berhasil dimakzulkan, kekuatan utama Trump dan Trumpisme akan melemah signifikan. Meski dihadang pandemi yang masih merajalela, Biden mungkin pelan-pelan bisa mulai mengembalikan kehidupan normal.
Partai Republik harus berjuang mengatasi perpecahan internal, khususnya antara kelompok Trumper ultra-kanan dan kaum konservatif yang ingin menjauhi Trump untuk kembali ke ”khitah” mereka sebagai partai warisan Abraham Lincoln dan Reagan.
Namun, jika pemakzulan kembali gagal—kemungkinan besar inilah yang akan terjadi—Trump dan para pengikutnya bisa kian liar. Mereka akan semakin merasa sebagai korban kezaliman dan kecurangan. Teori konspirasi akan semakin menggila. Kemarahan supremasi kulit putih bisa semakin menggelora, mengancam pemerintahan Biden dan demokrasi Amerika.
Di tengah pasang naik ultra-kanan, kita lihat apakah demokrasi Amerika bisa tetap kokoh seperti dalam larik puisi yang dibaca penyair muda kulit hitam Amanda Gorman saat pelantikan Biden, ”For there is always light, if only we’re brave enough to see it. If only we’re brave enough to be it”.
(Achmad Munjid, Dosen American Studies FIB UGM)