Penampilan kurang memuaskan tim bulu tangkis Indonesia pada tiga turnamen di Thailand memberi setumpuk pekerjaan rumah di tahun Olimpiade ini.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Kekalahan pasangan senior Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan pada partai puncak nomor ganda putra Final Tur Dunia BWF di Thailand, akhir pekan lalu, menutup perjuangan para pebulu tangkis melewati musim kompetisi 2020 yang penuh tantangan. Satu gelar dari tiga turnamen beruntun di Thailand bukanlah hasil yang diharapkan dari para pemain elite Pelatnas Cipayung, setelah sepuluh bulan absen bertanding.
Kompetisi bulu tangkis internasional terhenti seusai All England, Maret 2020, karena pandemi Covid-19. Sejak itu, Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) hanya menggelar satu turnamen World Tour, yakni Denmark Terbuka, pada Oktober 2020, yang tidak diikuti atlet Indonesia.
Selama masa vakum itu, meski harus berjuang mengatasi kebosanan, pebulu tangkis nasional beruntung masih bisa berlatih, dengan pembatasan, di pelatnas berfasilitas relatif lengkap. Tidak semua negara mempunyai kemewahan menyediakan fasilitas berlatih dan asrama bagi pebulu tangkis mereka, seperti yang ada di pelatnas PBSI Cipayung, Jakarta.
Saat BWF memutar kembali kompetisi dengan dua turnamen Super 1000 Thailand Terbuka, ditutup dengan Final Tur Dunia, harapan pun muncul untuk kembali melihat prestasi para atlet di cabang andalan Indonesia ini. Apalagi, dua negara kuat bulu tangkis, China dan Jepang, memutuskan absen terkait kondisi pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, wajar ada kekecewaan melihat penampilan para pebulu tangkis Indonesia di ajang ini, terutama pemain muda yang sudah saatnya bersinar. Tantangannya memang tidak mudah. Mereka harus beradaptasi dengan situasi baru, berada di lokasi sepekan sebelum turnamen untuk karantina. Menjalani tes usap Covid-19 secara rutin dan hanya bisa berdiam di kamar hotel jika tidak berlatih atau bertanding.
Pada akhirnya, kemampuan adaptasi, memelihara mental tanding, motivasi, semangat juang, dan menjaga konsistensi menjadi kunci yang membedakan pemenang dari pecundang.
Namun, masa vakum turnamen, disusul karantina dan penerapan protokol kesehatan selama masa turnamen, tidak bisa menjadi alasan buruknya penampilan mayoritas pemain Indonesia karena semua lawan yang dihadapi di lapangan menghadapi tantangan serupa. Ini sama seperti menyalahkan hujan deras atau kondisi lapangan buruk, yang juga dialami tim lawan, sebagai alasan kekalahan sebuah laga sepak bola.
Pada akhirnya, kemampuan adaptasi, memelihara mental tanding, motivasi, semangat juang, dan menjaga konsistensi menjadi kunci yang membedakan pemenang dari pecundang. Dari tiga turnamen di Thailand, hal itu diperlihatkan para pemain senior, seperti Hendra, Ahsan, dan Greysia Polii, yang tetap menjadi andalan di masa-masa akhir karier mereka.
Tantangan ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pengurus baru PBSI yang terbentuk pada akhir tahun lalu, terutama untuk mempertahankan tradisi medali emas bulu tangkis di Olimpiade Tokyo 2020. Terlebih, ketatnya protokol kesehatan ini harus dihadapi selama masa pandemi.