Pemerintah perlu melakukan pembenahan tata niaga batubara, baik dari sisi kontrak maupun fasilitas infrastruktur yang dibangun, agar dapat memperkuat keandalan pasokan batubara domestik.
Oleh
SINGGIH WIDAGDO
·6 menit baca
Gangguan pasokan batubara ke PLN terjadi lagi. Gangguan ini memunculkan ancaman pemadaman listrik di Jawa, Madura, dan Bali. Stok batubara di sebagian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menurun cukup tajam. Pengendalian stok batubara normalnya selama 15 sampai 21 hari operasi. Namun, saat ini, sebagian PLTU dihadapkan pada hari operasi di bawah tujuh hari.
Bahkan PLTU Suralaya 1-7 dan PLTU Paiton 1-2 dan 9, yang selama ini menjadi PLTU penyangga di Jawa-Bali, memiliki stok batubara di bawah lima hari (25/1/2021). Sebaliknya, PLTU swasta, seperti Tanjung Jati B 1-2, Tanjung Jati B 3-4, Paiton PEC, dan PLTU Jawa Power, justru aman dengan hari operasi lebih dari 15 hari, bahkan hari operasi Tanjung Jati B 1-2 mencapai 38 hari.
Ramainya isu dan timbulnya keresahan akibat pemadaman listrik di ruang publik membuat Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM melakukan temu media untuk menjelaskan berbagai opsi pencegahan pemadaman. Di tengah berbagai upaya pemerintah untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi di masa pandemi, keandalan kualitas listrik sangat dibutuhkan bagi pelaku usaha.
Pemerintah semestinya juga mencermati faktor lain yang justru lebih penting, yaitu tata niaga batubara domestik.
Banjir di sejumlah daerah, seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan, dan cuaca ekstrem belakangan ini, ditengarai menjadi penghambat kelancaran pasokan batubara ke berbagai PLTU, termasuk untuk PLN. Namun, sekadar menyalahkan bencana, apalagi mengambinghitamkan dampak faktor cuaca semata, tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah semestinya juga mencermati faktor lain yang justru lebih penting, yaitu tata niaga batubara domestik.
Volume batubara mencukupi
Keputusan PLN melakukan derating (mengurangi daya mampu pembangkit listrik) akibat terus menipisnya stok batubara tentu tidak dapat disalahkan, untuk menghindari pemadaman. Bahkan, PLN telah membuat skenario derating sebesar 2.752 megawatt (MW) sampai 29 Januari dan 2.467 MW mulai 30 Januari 2020. Namun, dengan derating, PLN harus memperbesar pasokan dari PLTU nonbatubara (gas dan BBM). Akibatnya, PLN harus menambah budget anggaran atas meningkatnya biaya pokok pengadaan listrik.
Total produksi batubara Indonesia pada 2021 ditetapkan sebesar 550 juta ton. Dari total produksi nasional tersebut, sebesar 351,4 juta ton, atau hampir 64 persen, teralokasi bagi perusahaan-perusahaan yang berada dalam kewenangan pemerintah pusat. Sisanya, 198,6 juta ton, bagi perusahaan di bawah kewenangan pemerintah daerah.
Tahun 2020, di tengah pandemi yang masih bergerak tinggi, pemanfaatan batubara domestik hanya mencapai 132 juta ton atau 85 persen. Pemerintah melalui kebijakan pemenuhan batubara untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) telah mengalokasikan sebesar 137,5 juta ton. Total kebutuhan DMO sudah memperhitungkan seluruh kebutuhan PLN ataupun industri pengguna batubara lain.
Dari kecenderungan penggunaan batubara PLN (RUPTL 2019-2028), pada 2028 PLN akan membutuhkan batubara sebesar 153 juta ton. Ditambah kebutuhan industri dan asumsi pemanfaatan batubara untuk hilirisasi, maka total kebutuhan batubara diproyeksikan sebesar 250 juta ton.
Dengan produksi yang akan ditetapkan oleh pemerintah sebesar 600 juta ton, dapat dipastikan sepanjang sepuluh tahun ke depan, kebutuhan batubara domestik maksimal 40 persen dari total produksi batubara nasional. Artinya, secara volume absolut, kebutuhan domestik dipastikan terpenuhi. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk mengatakan, volume batubara jadi penyebab utama terganggunya pasokan batubara domestik, khususnya PLN.
Tak ada alasan bagi siapa pun untuk mengatakan, volume batubara jadi penyebab utama terganggunya pasokan batubara domestik, khususnya PLN.
Bahkan, jaminan pasokan batubara bukan sebatas dari sisi ketetapan produksi batubara pemerintah saja. Dari sisi cadangan batubara yang ada saat ini, juga lebih dari cukup. Dari total cadangan 37,6 miliar ton, dan produksi 600 juta ton per tahun, pada 2040 dipastikan masih tersisa cadangan batubara 24,8 miliar ton.
Belum lagi penambahan cadangan batubara dari aktivitas eksplorasi yang terus dilakukan sampai saat ini. Sangat ironis, di tengah besarnya cadangan dan produksi nasional yang jauh melampaui kebutuhan domestik, sampai terjadi kekurangan pasokan untuk PLN.
Mengingat sebaran cadangan batubara sebagian besar berada di Kalimantan dan Sumatera, dan sebagian besar PLTU batubara berada di Jawa, semestinya masalah cuaca sudah menjadi perhitungan dalam merancang tata niaga batubara PLN.
Tata niaga batubara
Saat ini kebutuhan batubara PLN, dipasok dari perusahaan skala Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan trader, termasuk PT PLN Batubara (PLNBB) sebagai anak perusahaan PLN yang dibuat untuk mendukung kebutuhan PLN secara keseluruhan. Dengan menetapkan lebih dari satu pemasok batubara untuk setiap PLTU, diharapkan mampu menjamin keandalan pasokan batubara.
Kondisi cuaca ekstrem dan membaiknya indeks harga batubara internasional telah menggeser upaya PLN dalam mengelola persediaan batubara menjadi terganggu. Demikian juga besarnya ombak selama Januari dan bahkan diperkirakan sampai Februari, memperlambat armada pengangkut.
Indeks harga batubara internasional menyentuh 72,31 dollar AS per 4 Desember 2020, bahkan sampai ke level 87,54 dollar AS per ton menjelang akhir Januari 2021. Komitmen sebagian pemasok menjadi rendah, terutama pemilik kontrak jangka pendek yang cenderung mengalihkan ke pasar ekspor yang lebih menjanjikan dari sisi harga.
Beberapa tambang batubara di Kalimantan Selatan harus beroperasi dengan lokasi penambangan (pit) batubara yang tertutup banjir. Pada minggu keempat Desember 2020, kebutuhan batubara PLN cukup tinggi, PLN harus melakukan berbagai opsi agar menipisnya stok batubara tidak mengakibatkan pemadaman, termasuk meminta dukungan kepada Dirjen Minerba.
Kondisi sebaran batubara dan cuaca yang akan terus berubah tentu bukan menjadi penyebab sepenuhnya. Tata niaga batubara harus dibenahi agar terganggunya pasokan batubara domestik tidak terulang. Ini bukan sebatas tugas PLN, pemerintah (ESDM) juga harus terlibat dalam pembenahan tata niaga batubara untuk kepentingan pasokan domestik.
Kondisi sebaran batubara dan cuaca yang akan terus berubah tentu bukan menjadi penyebab sepenuhnya.
Di antara langkah yang harus segera dilakukan adalah, pertama, kapasitas stockpile batubara bukan sebatas dihitung atas alasan efisiensi keuangan. Penetapan hari operasi stok batubara semestinya hasil evaluasi teknis berbagai hal terkait tambang pemasok, seperti skala perusahaan tambang, besarnya produksi, kondisi pit, kapasitas coal processing plant (CPP), kecepatan muat, serta masa waktu pengapalan ke PLTU batubara.
Kedua, PLN harus mengevaluasi pemasok melalui audit teknis rutin untuk memetakan kondisi tambang, kondisi stok, kondisi kontrak ekspor. Upaya ini dilakukan untuk kepentingan PLN dalam memetakan keamanan dan keandalan pasokan batubara ke PLN dalam tiga bulan ke depannya.
Ketiga, untuk menjaga keandalan pasokan batubara nasional, pemerintah harus segera membuat cetak biru pembangunan terminal fasilitas pencampuran batubara (coal blending facilities), dengan lokasi Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, yang lebih dekat dengan Pulau Jawa. Dengan fasilitas itu, pemerintah dapat memperkuat pasokan batubara dari berbagai skala tambang dan berbagai kualitas, untuk dapat di-blending terlebih dahulu agar sesuai dengan kebutuhan PLN.
Hal itu mengingat selama ini ketidakmampuan memenuhi aturan mengenai penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri (DMO) oleh sebagian perusahaan, bukan akibat kesalahan perusahaan semata. Royalti pun dapat diwujudkan dalam bentuk in-kind, bukan sebatas in cash seperti selama ini.
Akhirnya, dengan membenahi tata niaga batubara, baik dari sisi kontrak maupun fasilitas infrastruktur yang dibangun, pemerintah akan dapat memperkuat keandalan pasokan batubara domestik, yang sangat dibutuhkan untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Singgih Widagdo,Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia.