Sistem Among dalam pendidika jiwa merdeka memfasilitasi anak didik agar berkembang mandiri, mampu menentukan nasib sendiri, tidak tergantung perintah, atas kekuatan sendiri dan berkontribusi nyata terhadap alam semesta.
Oleh
KI CAHYONO AGUS
·4 menit baca
Pemerintah Indonesia hingga akhir 2020 telah meluncurkan enam paket kebijakan pendidikan ”Merdeka Belajar” dan rencana Peta Jalan Pendidikan Nasional.
Terlihat modern, sistematis, terstruktur, berbasis kondisi saat ini, dan bervisi futuristik, tetapi cenderung mengacu dari luar negeri. Dengan demikian, kurang berakar pada roh jiwa budaya unggulan, religi, nusantara, perjuangan, kebangsaan, dan jati diri bangsa. Jejak langkah seabad kiprah Muhammadiyah, Tamansiswa, Nahdlatul Ulama tak terlalu jadi pertimbangan, apalagi acuan penting, bahkan cenderung diabaikan.
Paket terdiri dari kebijakan pendidikan dasar dan menengah; kebijakan Kampus Merdeka; biaya operasional siswa; pengembangan organisasi penggerak; guru penggerak; dan transformasi dana pemerintah untuk pendidikan tinggi.
Terobosan ini cukup revolusioner untuk mendobrak kekakuan kurikulum yang berlaku di Indonesia selama ini yang cenderung membebani dan menyeragamkan, padahal justru sangat beragam.
Meski demikian masih cenderung didominasi faktor teknis, administratif, dan tuntutan pasar. Perbaikan pendidikan tak bisa instan, tetapi, kalau sampai salah asuh, karma buruk dan kerusakannya bisa segera dirasakan.
Perbaikan pendidikan tak bisa instan, tetapi, kalau sampai salah asuh, karma buruk dan kerusakannya bisa segera dirasakan.
Sebelumnya, Program Organisasi Penggerak sempat menjadi viral, kontradiksi dan bermasalah karena ketidaksiapan dan salah pengertian antar-insan pendidikan. Pemenang program adalah yang secara administrasi mampu membuat proposal bagus. Penggelontoran anggaran kuota internet gratis atau subsidi pulsa penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sampai puluhan triliun rupiah sebagian besar tidak berdampak, tidak menyelesaikan masalah, dan bahkan tanpa bekas.
Konsep, aturan, dan penyelesaian masalah yang masih sepotong-sepotong, sesaat, instan, ego-sektoral, bahkan baik pun masih sering lemah dalam implementasinya.
Pendidikan 4.0
Pendidikan 4.0 dikhawatirkan menjadikan sekolah cenderung diperlakukan seperti pabrik industri, bisnis; dengan kecerdasan buatan, data terpadu, otomatisasi, jarak jauh, mobile, permainan, interaktif. Menjadikan siswa cenderung lebih impersonal, egosentris, kurang kembangkan jiwa sosial, budaya, dan kemanusiaan.
Sekolah tatap muka cenderung berubah menjadi tatap layar sehingga tak menyentuh sampai dalam tatap hati. Selama sistem sekolahan masih hanya untuk memberi ilmu dan kecerdasan pikiran, akan selalu bersifat zakelijk atau tak berjiwa. Oleh karena itu, hanya sedikit mendapatkan kecerdasan budi pekerti dan budi kesosialan. Pendidikan harus mencerdaskan otak, menghaluskan jiwa, menerampilkan tangan.
Pandemi Covid-19 dan program Merdeka Belajar menjadikan pembelajaran yang tadinya fokus hanya di sekolah dan kampus harus dan terpaksa berpindah ke rumah dan industri. Perpindahan ini belum sempat dipersiapkan dengan baik dan penuh dengan segala keterbatasan sarana prasarana pembelajaran.
Profesi guru yang tidak semuanya merupakan panggilan jiwa saja kewalahan untuk membentuk manusia utama. Apalagi kalau diserahkan kembali kepada orangtua dan industri, yang jelas tidak mempunyai bekal ilmu kependidikan. Dikhawatirkan, sektor bisnis dan industri mungkin justru melihat ini sebagai peluang bisnis baru dibanding semangat untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kebebasan dan tuntutan merdeka yang lebih mengedepankan hak asasi manusia harus diimbangi kewajiban asasi manusia juga. Tri-pusat pendidikan semesta dalam perguruan kehidupan nyata perlu dikontribusikan lebih terstruktur dan tersistem secara harmonis.
Kebebasan dan tuntutan merdeka yang lebih mengedepankan hak asasi manusia harus diimbangi kewajiban asasi manusia juga.
Beban siswa didik terlalu banyak dan berat sejak dini, bahkan dahulu untuk masuk TK dan SD saja sudah harus diseleksi dengan kemampuan calistung (baca, tulis, hitung). Nilai ujian siswa cenderung semakin sempurna, hampir 40 persen wisudawan dengan cum laude. Karena kalau memberi nilai jelek, akan dinilai jaminan mutunya jelek.
Siswa didik jadi cenderung mencari nilai murah, mudah, dan tidak memberatkan. Sementara kemampuan numerik dan literasi masih sangat rendah sehingga enam lembaga internasional menempatkan kualitas pendidikan Indonesia relatif paling rendah.
Jumlah mahasiswa di Indonesia pada 2019 adalah 7,3 juta. Dengan kebebasan memilih 60 SKS selama tiga semester untuk belajar di luar prodi, perguruan tinggi dan industri, diperlukan jumlah dan kesiapan mitra agar tidak gagap dan terbebani. Sarana prasarana praktik, jumlah mitra industri, ketersediaan mentor dadakan, sistem pembelajaran, maupun biaya yang timbul tentu harus dipersiapkan dengan baik.
Ketimpangan besar akan dapat mudah diakali secara licik untuk mendapatkan sertifikat dengan mudah, murah, bahkan bisa diperjualbelikan, tanpa peningkatan kompetensi apa pun. Kita belum seluruhnya siap dan mampu bertanggung jawab dengan inovasi distruksi ini. Kalau tidak didukung dengan struktur pengelolaan yang baik serta dibekali tanggung jawab moral yang baik, justru akan kebablasan.
Pendidikan jiwa merdeka oleh Ki Hadjar Dewantara adalah memberdayakan potensi bakat, talent, kelebihan, kehendak jiwa, dan unggulan yang khas secara merdeka bertanggung jawab sesuai kodrat alamnya. Merupakan kawah candradimuka untuk menggembleng mental bangsa yang diikuti swa-disiplin yang bertanggung jawab, ikut membina hidup tertib damai, salam, dan bahagia.
Selanjutnya bisa bekerja sesuai dengan potensi dan pendidikannya agar mampu bermanfaat dan menjadi berkah bagi masyarakat dan alam semesta. Sistem Among memfasilitasi agar berkembang mandiri, mampu menentukan nasib sendiri, tidak tergantung perintah, atas kekuatan sendiri, cakap secara tertib, dan berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan alam semesta.
Ki Cahyono Agus,Ketua Umum Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS); Guru Besar UGM; Anggota Dewan Pendidikan DIY.