Menimbang Covid-19 di Awal 2021
Keberadaan Covid-19 tak bisa disangkal. Namun, dengan data yang ada di awal 2021 ini, apakah kebijakan yang diambil pemerintah sudah dipertimbangkan secara kritis dan bukan dihantui ketakutan yang cenderung berlebihan?
Tak ada kata yang lebih menakutkan sekarang ini selain ”Positif Covid”. Stigma yang menempel pada kata ini begitu kuat. Orang yang mengalaminya ditakuti, sekaligus memperoleh banyak simpati (yang kerap tak sungguh tulus dari hati). Setelah sembuh pun, ia masih terus hidup dalam isolasi.
Pertemanan terpecah. Keluarga pun saling mencurigai. Stigma ”Positif Covid” bisa berlangsung seumur hidup, tanpa pernah sungguh berhenti.
Tak heran, banyak orang melihat datangnya pandemi berikutnya, yakni pandemi tak stabilnya kesehatan batin. Ilmu psikologi dan psikiatri pun tak berguna dalam hal ini. Sebaliknya, kedua ilmu tersebut justru bisa memperparah keadaan. Manusia memerlukan cara baru untuk mengelola batinnya di hadapan hantaman krisis dan pandemi yang bergantian datang.
Covid-19
Covid-19 adalah virus yang menyebar di antara manusia. Ia ditemukan pertama kali di Wuhan, China, sejak akhir 2019 dan menyebar amat cepat ke berbagai negara. Virus ini bisa mematikan. Namun, setiap orang memiliki gejala yang berbeda. Ada yang mematikan, dan sebagian besar bisa sembuh, setelah mengalami gejala ringan.
Gejala umum ada tiga, yakni demam, batuk kering, dan kelelahan. Ada gejala yang tak umum, yakni nyeri tenggorokan, diare, dan sakit kepala, sampai lenyapnya daya indera perasa dan penciuman. Bagi yang tubuhnya sudah sakit, Covid-19 menjadi amat berbahaya. Reaksi penyakit yang mematikan bisa memicu kematian cepat.
Waktu hidup untuk mereka memendek. Banyak perpisahan sebelum waktunya dengan orang yang dicinta. Di akhir 2020 lalu, beberapa negara sudah menciptakan vaksin untuk virus ini. Di awal 2021, dunia sedang mencari cara tercepat dan paling efektif untuk menyuntikkan vaksin ini ke sebanyak mungkin orang.
Kerugian ekonomi
Kerusakan ekonomi pun amat besar, terutama akibat kebijakan ekonomi berbagai negara di dunia. Pada 2020, dunia mengalami resesi besar dengan kontraksi 5,2 persen secara global. Inilah resesi terbesar selama puluhan tahun terakhir (data Bank Dunia 2020). Usaha yang dilakukan berbagai negara dan lembaga internasional tampak membuahkan sedikit hasil.
Pada 2021, banyak negara sudah mempersiapkan terjadinya resesi ekonomi. Ini melingkupi rendahnya investasi, hilangnya lapangan pekerjaan, menurunnya jumlah keikutsertaan di dalam pendidikan, menurunnya intensitas perdagangan global, dan krisis sumber daya. Dari segi ekonomi, dunia mempersiapkan terjadinya resesi terbesar sejak 1870. Negara-negara maju siap dengan menurunnya tingkat ekonomi sebesar 7 persen.
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, jelas mengalami dampak serupa. Sekitar 2,5 persen penurunan akan diharapkan dari aktivitas ekonomi yang ada, mulai dari 0,5 persen penurunan di Asia Timur sampai dengan Amerika Latin yang diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 7,2 persen (data Bank Dunia 2021). Artinya sederhana, bahwa semua ini akan mengembalikan banyak bangsa ke jurang kemiskinan. Mutu pelayanan kesehatan menurun, lenyapnya industri pariwisata dan perdagangan yang mendukungnya, serta jumlah utang yang semakin meningkat.
Soal nyawa
Dampak ekonomi ini sebenarnya terkait dengan kebijakan yang diambil pemerintah terhadap pandemi Covid-19. Kebijakan yang tak masuk akal akan merusak ekonomi. Sementara kebijakan yang tercerahkan akan bisa menekan tersebarnya pandemi, sekaligus mengembangkan ekonomi. Beberapa data kiranya penting untuk diperhatikan.
Pada 12 Januari 2021, di seluruh dunia, jumlah orang yang terjangkit virus ini adalah 91.319.654 orang. Ini sekitar 1,3 persen dari jumlah penduduk dunia. Dari semua itu, jumlah yang meninggal adalah 1.952.979 orang, yakni 0,03 persen dari jumlah penduduk dunia (worldmetersinfo, 2021, berpijak pada United Nations Geoscheme). Semua meninggal karena sakit yang sudah ada sebelumnya, kemudian terkena Covid-19.
Jumlah orang yang sembuh dari Covid-19 adalah 65.316.716 orang. Artinya, secara global, dari semua orang yang terjangkit, sekitar 72 persen sudah sembuh. Tentu saja, semua data ini tidak sepenuhnya akurat. Data terus berubah, ditambah dengan lemahnya teknik pengumpulan data yang ada.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai 12 Januari 2021, ada sekitar 836.718 orang yang terkena. Ini sekitar 0,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah yang meninggal adalah 24.343 orang atau sekitar 0,009 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Yang sudah sembuh dari penyakit ini adalah 688.739 orang atau sekitar 82 persen dari jumlah orang yang terjangkit di Indonesia.
Beberapa pertimbangan
Pertama, dari seluruh dunia, sampai 12 Januari 2021, jumlah orang yang meninggal akibat Covid-19 adalah sekitar 0,03 persen dari jumlah penduduk dunia. Sementara di Indonesia, jumlah orang yang meninggal akibat Covid-19 adalah 0,009 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Dengan data ini, pemerintah membuat kebijakan yang menghancurkan ekonomi, memecah keluarga, dan membuat masyarakat hidup dalam ketakutan terus-menerus. Apakah ini tepat?
Kedua, mungkin juga, data ini bisa amat kecil, karena pemerintah di berbagai negara telah membuat kebijakannya masing-masing. Pertanyaannya tetap, apakah ini proporsional dengan derita ekonomi yang menggiring banyak orang ke jurang kemiskinan dan penyakit mental yang merusak? Sikap kritis dan jernih diperlukan di sini. Fakta bahwa banyak negara mengambil kebijakan ekonomi yang ekstrem bukan berarti kebijakan tersebut tepat.
Ketiga, kebijakan haruslah dibuat dengan data dan nalar sehat. Nalar sehat melibatkan nalar kritis, yakni sikap tak gampang percaya terhadap segala yang terjadi. Kebijakan tak boleh dibuat dengan prinsip ketakutan, apalagi sekadar ikut-ikutan. Di Indonesia, karena terkaman mutu pendidikan rendah dan pemahaman agama yang dangkal, nalar sehat dan kritis terus redup di bawah terik peradaban.
Keempat, peran media di dalam menggoreng isu juga amat besar. Sudah berita lama bahwa berita buruk itu menjual. Untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, berita buruk digoreng terus-menerus dengan berbagai bumbu. Ini semua menghasilkan ketakutan besar di berbagai tingkatan masyarakat dan mendorong lahirnya banyak perilaku maupun kebijakan yang salah kaprah.
Kelima, biasanya, pemerintah mengeluh terbatasnya fasilitas kesehatan untuk menangani pandemi. Atas dasar itu, pembatasan sosial lalu diberlakukan dengan mengorbankan banyak mata pencarian rakyat. Alhasil, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, di masa pandemi, banyak orang kehilangan penghasilan. Mereka terbengkalai tidak hanya dalam ketakutan wabah, tetapi juga cekikan kesulitan ekonomi. Meskipun bantuan sosial telah dikucurkan.
Beberapa data berikut kiranya bisa memberikan gambaran. Seperti dinyatakan oleh Badan Pusat Statistik pada akhir 2020, lebih dari 29 juta orang di Indonesia terkena dampak kebijakan pemerintah terkait Covid-19. Angka pengangguran resmi pun melonjak tinggi, menyentuh hampir 10 juta orang. Ini tentu saja belum mencakup pengangguran terselubung yang tidak tercatat pemerintah. Saya punya dugaan kuat, angka sesungguhnya jauh lebih besar.
Di Jakarta saja, sejauh pengamatan saya, banyak pengemis, warga yang mengamen dengan berbagai cara (membawa speaker, mengenakan pakaian ondel-ondel, menjadi ”manusia silver” di perempatan jalan, dan sebagainya) berkeliaran di jalan-jalan dan gang-gang perkampungan. Demikian pula keluhan orang-orang di sekitar kita yang kehilangan pekerjaan atau upahnya dipotong tajam kerap kita dengar. Banyak orang masuk ke dalam jurang kemiskinan.
Jika masalahnya adalah kurangnya fasilitas kesehatan, pemerintah, dalam kerja sama dengan pihak lain, perlu menambah fasilitas kesehatan yang ada. Pemerintah perlu mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada, termasuk kerja sama dengan pihak swasta, untuk mengatasi kekurangan itu sehingga tidak mengorbankan sumber mata pencarian banyak warga.
Keenam, di tengah pandemi, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Jawabannya cukup jelas, yakni industri teknologi informasi dan industri farmasi. Beberapa data berikut kiranya bisa memberikan kejelasan.
Mark Zuckerbeg, dengan keuntungan dari meningkatnya lalu lintas media sosial Facebook dan peningkatan jumlah iklan yang masuk, bertambah kaya sekitar 59 persen dari aset yang sudah ia punya. CEO Amazon Jeff Bezos bertambah kaya sekitar 39 persen. Industri farmasi menaikkan harga sekitar 245 jumlah obat, 61 di antaranya digunakan untuk merawat pasien Covid-19 (Robert Reich, 2020).
Hal serupa terjadi di Indonesia. Indosat mencatatkan kenaikan penggunaan data hingga 27 persen di seluruh Indonesia (Sidik, 2020). Di awal 2021, kenaikan terus terjadi, terutama karena pemerintah terus menerapkan kebijakan PSBB transisi. Telkomsel juga mencatat kenaikan penggunaan sebesar 22,8 persen. Penggunaan aplikasi pertemuan virtual meningkat 75 persen dan layanan video streaming meningkat 13,8 persen. Nilai kedua perusahaan tersebut pun meningkat pesat di bursa saham.
Di bursa saham dunia, keuntungan yang diperoleh industri farmasi mencapai 1 miliar dollar AS sejak pandemi. Industri bioteknologi, setidaknya yang ada di Amerika Serikat, yang mengembangkan vaksin juga memperoleh keuntungan besar, yakni sekitar enam kali lipat. Pendek kata, yang diuntungkan dari pandemi Covid-19 ini adalah orang-orang yang sudah kaya sebelumnya. Mereka kaya di atas kemiskinan ratusan juta orang lainnya yang hidup dalam ancaman kematian dan ketakutan.
Sebagai virus, keberadaan Covid-19 tak bisa disangkal. Demikian pula dengan bahaya kesehatan yang membawa dampak ke berbagai sisi kehidupan. Juga pentingnya disiplin melaksanakan protokol kesehatan. Namun, di sisi lain, dengan data yang ada di awal 2021 ini, pemerintah perlu terus melakukan evaluasi kebijakan secara lebih kritis? Apakah ketakutan kita yang cenderung berlebihan, dan rasa saling curiga di antara kita, bisa dibenarkan?
(Reza AA Wattimena, Peneliti Filsafat Politik, Filsafat Ilmu, dan Kebijaksanaan Timur, Tinggal di Jakarta)