Indonesia dan Dunia Multipolar Baru
Pada skenario tata dunia multipolar , Indonesia mempunyai modal besar, sehingga Indonesia tidak hanya akan bangkit dari pandemi, tapi juga bisa mengambil keuntungan dari pergeseran konstelasi AS, UE, dan China.
Setelah Perang Dunia II, kita menikmati Pax Americana, yaitu masa pembangunan dan perdamaian dengan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidayanya.
Sebelum pandemi, belum ada pihak yang memiliki hard dan soft power yang sebanding dengan AS. Tapi, pandemi Covid-19 adalah kejadian angsa hitam (black swan) yang berakibat kompleks dan memutar-balikkan definisi normal dan deviasi.
Dominasi teknologi tinggi, keistimewaan AS di masa normal, terlihat bukan lagi suatu kelebihan. AS dan Uni Eropa (UE) tampak kewalahan mengatasi pandemi. Di sisi lain, penduduk China terlihat sudah kembali hidup normal dan kegiatan ekonominya menggeliat pesat. Tatanan multipolar baru yang di dominasi tiga pihak —AS, UE, dan China— akan tiba dengan cepat, dan Indonesia harus siap mengambil manfaat.
Baca juga: Ekonomi China Terus Bertumbuh, Bangkit dari Dampak Covid-19
Makro-mikro AS dan China
Dominasi kekuatan teknologi dan sistem kapitalisme, membuat AS menguasai segmen teknologi tinggi (high-tech) dan nilai tambah yang tinggi (high value-added).
Korporasi-korporasi raksasa (FANGAM: Facebook, Amazon, Netflix, Google, Apple, Microsoft) tumbuh subur melahirkan kelompok elite techno oligarch, seperti Bezos dan Elon Musk. Pada 2019, pendapatan tahunan korporasi-korporasi terbesar diperkirakan mencapai 14 triliun dollar AS, dan Produk Domestik Bruto (PDB) AS selalu tertinggi beberapa dekade terakhir ini.
Pemegang surat utang AS terbesar adalah Jepang dan China, diikuti gabungan negara UE
Dibalik kesuksesan tingkat makro, yaitu dominasi teknologi tinggi dan bobot ekonomi AS, utang kumulatif AS mencapai 27 triliun dollar AS, sekitar 120 persen dari PDB-nya. Pemegang surat utang AS terbesar adalah Jepang dan China, diikuti gabungan negara UE.
Pada tingkat meso dan mikronya, kesenjangan membesar. Jarak ketertinggalan korporasi kecil dan penduduk miskin semakin besar. Penduduk di sentra-sentra industri teknologi tinggi cenderung lebih kaya dan berorientasi demokrat, sedangkan penduduk di sentra-sentra industri riil, seperti pedalaman Indiana dan Ohio cenderung kian miskin dan berorientasi republikan.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi yang Solid Gagal Kurangi Kesenjangan Pendapatan di AS
Di sisi lain, FANGAM cenderung berbasis servis digital dan sektor riil AS semakin termarginalkan. Sebagai contoh, produk-produk Apple, desain di Amerika, tapi proses produksi dilaksanakan di negara lain. Kecenderungan ini telah menjadi sumber kelemahan. Ketika pandemi, kapasitas manufaktur segmen teknologi rendah (low-tech) dan nilai tambah rendah (low value-added) seperti kertas tisu dan alat pelindung diri, termasuk yang sederhana seperti masker, terlihat lemah.
Dampak kumulatifnya, jalur pemulihan ekonomi AS diramalkan akan berbentuk seperti huruf K (K-shaped recovery). Artinya, ada dua lintasan pertumbuhan ekonomi yang semakin lama semakin menjauhi. Kelompok pertama akan bangkit dengan cepat dan menjadi kian kaya. Kelompok kedua, yaitu kalangan menengah dan menengah bawah akan kian miskin.
Kombinasi K-shaped recovery, membengkaknya utang Pemerintah AS, kesenjangan ekonomi penduduk, korporasi, dan wilayah, suburnya janji-janji politik populis, polarisasi kubu Demokrat-Republikan, dan pandemi yang berkelanjutan, bisa melahirkan krisis multidimensi. Tanpa langkah korektif, bisa jadi ini semua hanyalah permulaan degenerasi keadidayaan AS.
China diprediksi akan mengalami V-shaped recovery. Artinya, ekonominya akan bangkit dengan cepat dan berkesinambungan. Pada tataran korporasi, walaupun kita sering dengar korporasi high-tech raksasa China, pandemi menunjukkan ternyata China juga tetap menguasai low dan medium-tech.
Baca juga: Ekonomi China Bakal Kalahkan AS dan Menjadi Terbesar di Dunia pada 2028
Industri mampu memproduksi barang mulai dari mainan kucing, masker, sampai pesawat tempur. Di tengah pandemi, mereka malah mampu mengirim bantuan dan mengekspor barang seperti tisu, masker, kantong plastik, dan lain-lain, selain memenuhi kebutuhan domestiknya. Industri berorientasi servis digitalnya, Baidu, Alibaba, Tencent, Huawei, Xiaomi (BATHX) hampir sebesar FANGAM.
Kesolidan penguasaan low, medium, dan high-tech, pembangunan infrastruktur yang sangat masif, dan konsolidasi stabilitas politik kian menopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Bahkan, di saat dunia mengalami penambahan proporsi penduduk miskin, pada November 2020, Presiden Xi Jinping mengumumkan kesuksesan negaranya mengentaskan penduduk di bawah garis kemiskinan.
Pandemi sepertinya juga akan mempercepat turunnya bobot PDB AS dan UE, membuka celah China untuk naik.
Sebelum pandemi, jika kita lihat proporsi PDB AS, UE dan China terhadap PDB dunia, terlihat proporsi AS dan UE cenderung stagnan-turun, sedangkan China terlihat naik. Pandemi sepertinya juga akan mempercepat turunnya bobot PDB AS dan UE, membuka celah China untuk naik. Jika kali ini China mampu menghimpun tak hanya hard power, tapi juga soft power, tatanan dunia multipolar baru akan segera menjadi kenyataan.
Strategi Indonesia
Pada skenario multipolar ini, Indonesia mempunyai modal besar, sehingga Indonesia tidak hanya akan bangkit dari pandemi, tapi juga bisa mengambil keuntungan dari pergeseran konstelasi AS, UE, dan China.
Pertama, Pancasila dan konstitusi memberi landasan kuat orientasi politik bebas aktif dan peran menjaga perdamaian dunia. Kedua, sebagai negara demokratis dengan lokasi strategis di kawasan IndoPasifik, Indonesia bisa menjadi elemen penstabil yang kuat.
Pergeseran konstelasi akan mempertajam rivalitas kekuatan AS dan China di kawasan ASEAN. Politik luar negeri AS sudah mempersiapkan ini sejak Hillary Clinton menjabat sebagai menteri luar negeri dengan diplomasi “Pivot to Asia”-nya. Formasi Quad group yang terdiri dari Jepang, India, dan Australia akan terus mendukung kepentingan AS dan meredam pengaruh China.
Baca juga: AS-China, Mau Dibawa ke Mana
Situasi di Laut China Selatan (LCS), yang dilewati 60 persen perdagangan jalur maritim juga akan memanas. Negara kecil dengan kecenderungan aliansi AS, seperti Filipina, bisa dipergunakan AS untuk memantik destabilisasi kawasan LCS yang berpotensi mengganggu alur perdagangan China.
China pun tidak akan segan mempertahankan kepentingannya. Saat ini negara aliansi China cenderung berukuran kecil, seperti Kamboja, Myanmar, dan Laos. Oleh karena itu, China butuh teman lebih berbobot yaitu Indonesia. Di sini kita bisa bernegosiasi dan mengambil manfaat. China harus diajak investasi besar-besaran dan transfer teknologi, memperkuat industri Indonesia.
Selanjutnya, Indonesia juga perlu mulai pasang kuda-kuda, pembangunan infrastruktur perlu terus digenjot. Upaya pembangunan SDM perlu reformasi fundamental. Data menunjukkan sekitar 60 persen pekerja kita berpendidikan SD.
Jadi tak hanya alokasi insentif, peningkatan kapasitas pekerja perlu dititikberatkan dengan mereformasi kurikulum dan pendidikan vokasi yang melibatkan industri sebagai end users. Ini supaya tak ada lagi mismatch antara pelatihan dan keterampilan yang dibutuhkan end users. Dengan demikian, visi Presiden Jokowi di bidang SDM bisa terealisasi dan terakselerasi.
Industri riil
Saat ini seluruh dunia mencetak uang. Dana asing akan masuk. Ini harus diarahkan untuk diinvestasikan jangka panjang ke sektor riil, tidak hanya di pasar modal menjadi hot money dan masalah di masa depan. Kita telah punya UU Cipta Kerja yang harus dimanfaatkan untuk menarik investasi di sektor riil dan menumbuhkan lapangan pekerjaan baru yang mampu menampung pertambahan paling tidak tiga juta tenaga kerja baru per tahunnya.
Industri riil kita perlu dikembangkan di berbagai lini, mulai dari low tech sampai high tech. Belajar dari perbedaan AS dan China di kala pandemi, keberagaman industri ini perlu, karena dari keberagaman ini, industri China resilien di masa pandemi, dan mampu bangkit cepat.
Dua per tiga wilayah Indonesia adalah laut. Kelebihan yang tak dimiliki negara lain perlu dimanfaatkan. Pemberdayaan nelayan, industri-industri terkait kelautan, turisme, sampai deep-sea mining akan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Baca juga: Tren Perbaikan Pertumbuhan Ekonomi Berbalik Arah
Indonesia juga memiliki aset hutan yang luas. Dunia butuh ini sebagai paru-parunya. Peran ini bisa digunakan sebagai modal negosiasi dengan UE dan anggota-anggotanya. Pada kampanyenya, Joe Biden juga menyinyalkan orientasi arah politik luar negeri yang peduli lingkungan dan perubahan iklim. Jadi hutan Indonesia bisa dikelola dan dimanfaatkan lebih lanjut melalui negosiasi dan intensifikasi kerja sama dengan UE dan AS.
Di sisi pembiayaan, saat ini banyak bank sentral menurunkan bunganya, artinya dunia sedang memasuki era pinjaman murah. Indonesia harus bisa negosiasi untuk mendapat bunga murah dan restrukturisasi utang yang ada untuk mengambil kesempatan era pinjaman murah untuk menggenjot pembangunan.
Terakhir, di sisi eksekutif, orkestrasi pembangunan nasional perlu di perkuat. Contoh, secara kelembagaan, kapasitas dan otoritas Bappenas perlu diperkuat lagi. Kementerian dan lembaga negara lainnya diberi indeks kinerja kunci (KPI) yang bisa diukur dan dipertanggungjawabkan kemajuannya. Dengan demikian, Indonesia bisa mengambil keuntungan dari tatanan dunia baru, untuk solidifikasi pembangunan yang berkualitas dan merata.
Dato’ Sri Tahir, Pendiri Mayapada Group.