Otoritas perlu menyiapkan perangkat aturan yang memadai agar media sosial tak memberi peluang orang bertindak jahat. Perusahaan teknologi diharapkan mengembangkan kemampuan untuk mencegah penyalahgunaan media sosial.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sejumlah perusahaan teknologi Amerika Serikat akhirnya mengambil tindakan tegas, menghentikan akun Presiden AS Donald J Trump.
Dengan penghentian itu, Trump tidak bisa lagi bebas mengumbar kebencian dan rasisme serta pembelokan informasi. Media sosial alternatif yang digunakan oleh kaum konservatif pendukung Trump juga dihentikan.
Selama ini, Trump kerap menggunakan media sosial untuk melontarkan kebencian dan rasisme. Tindakan ini kian sering dilakukan pasca-pemilihan presiden hingga mengeraskan keyakinan pendukungnya: Trump dicurangi. Mereka percaya dengan ucapan Trump. Kerusuhan di Capitol Hill menguatkan keyakinan, Trump seharusnya menang. Mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama.
Kerusuhan ternyata tidak bisa diterima oleh publik, bahkan oleh sejumlah pendukung yang berasal dari internal Partai Republik. Twitter menghentikan akun Trump selamanya. Facebook menghentikan sementara akunnya. Sejumlah perusahaan teknologi, seperti Amazon, Google, dan Apple, tidak memberi tempat untuk aplikasi media sosial alternatif yang selama ini digunakan pendukung Trump, seperti Parler. Media sosial alternatif itu digunakan kaum konservatif itu untuk lari dari pengaturan media sosial oleh perusahaan teknologi dan juga kembali menjadi tempat untuk mengumbar kebencian.
Keputusan sejumlah perusahaan teknologi itu layak diapresiasi karena diyakini bisa menghambat penyebaran kebencian yang membelah warga AS, meskipun beberapa kalangan menilai langkah itu terlambat. Kehancuran dan keterbelahan telah terjadi. Mereka juga menilai, sebaiknya tidak hanya akun Trump yang ditutup, masih banyak akun yang menyebar kebencian. Selama ini, Trump dan pendukungnya memahami penggunaan media sosial dan kerumunan untuk menggembleng militansi pendukungnya, sekalipun dengan kebencian.
Sudah lama berbagai kalangan mengeluhkan penyalahgunaan media sosial. Kerusuhan di Sri Lanka beberapa tahun lalu disebabkan oleh hoaks. Kabar bohong itu membesar karena penanganan media sosial yang terlambat. Penggerak revolusi di Mesir, Wael Ghonim, pada 2011 sekalipun mengatakan media sosial memudahkan menggerakkan orang untuk melakukan revolusi, tetapi ternyata setelah revolusi terjadi media sosial tak mampu menyatukan orang-orang yang terlibat.
Dari semua kejadian ini, otoritas dan juga perusahaan teknologi perlu bertindak agar penyalahgunaan media sosial tidak menjadi-jadi. Orang-orang berperilaku buruk telah memanfaatkan teknologi untuk beraksi. Media sosial yang selama ini digunakan untuk memudahkan komunikasi ternyata juga menyimpan masalah. Teknologi memunculkan paradoks.
Otoritas perlu menyiapkan perangkat aturan yang memadai agar media sosial tak memberi peluang orang bertindak jahat. Perusahaan teknologi diharapkan terus mengembangkan kemampuan untuk mencegah penyalahgunaan media sosial dan tak terlambat menangani masalah. Kita menanti media sosial jadi tempat yang sehat untuk berelasi dan berkomunikasi.